Suatu ketika Rasulullah saw. mengadu kepada Tuhan: “Aku akan
meninggalkan dunia ini, Aku akan meninggalkan umatku. Siapakah yang akan
menuntun mereka setelahku? Bagaimana nasib mereka sesudahku?”, Allah
lalu menurunkan firman-Nya :
" وآتيناك سبعا من المثاني والقرآن العظيم "
Jangan khawatir, Aku telah mengaruniakanmu Assab’ul-matsani dan
al-Qur’an yang agung. Dengan keduanya maka umat islam sesudahmu akan
selamat dari kesesatan (bila mereka berpegang kepadanya).
Assab’ul-matsani dan al-Qur’an, dua pegangan yang menyelamatkan kita
dari kesesatan, dua perkara yang telah membuat Rasul tenang
meninggalkan umat. Apakah Assab’ul-matsani itu? dan apakah al-Qur’an
itu? Mungkin semua kita tahu apa itu al-Qur’an, sebuah kitab suci yang
mengandung tuntunan-tuntunan Tuhan kepada para hamba-Nya, yang tentunya
bila diamalkan dengan baik maka selamatlah kita.
Namun tentunya Qur’an saja tidak akan cukup? Lalu bagaimana dengan
Assab’ul-matsani? apakah semua kita mengetahuinya? dan sudahkah kita
mengamalkannya atau berpegang kepadanya? Dan mengapa Assab’ul-matsani
menempati posisi pertama sebelum al-Qur’an? sedikit tidak itu
menunjukkan bahwa Assab’ul-matsani merupakan pegangan yang sangat
urgen, yang tanpanya keisalaman seseorang menjadi samar dan diragukan.
Ironinya, para ahli tafsir berbeda pendapat dalam menafsirkan
firman-Nya “Sab’an minal-matsani”. Ada yang mengatakan bahwa
Assab’ul-matsani itu adalah surat Fatihah dengan alasan karena surat
Fatihah adalah induknya al-Qur’an dan secara kebetulan jumlah ayatnya
pun tujuh ayat.
Ada pula yang menafsirkannya dengan tujuh surat terpanjang dalam
al-Qur’an, yaitu: Surat-surat Baqarah, Ali Imran. Annisa’, al-Ma’idah,
al-An’am, al-A’raf dan al-Anfal (bersama Attaubah).
Ada yang berpendapat bahwa Assab’ul-matsani adalah al-Qur’an itu sendiri.
Dan masih banyak lagi penafsiran lain tentang apa itu Assab’ul-matsani.
Sebagaimana mereka juga berbeda pendapat tentang; kapan malam
Lailatul-qadr, apa itu Ism a’zam, apa itu Shalat wustha, kapan waktunya
Sa’atul-ijabah, siapa itu wali Allah, apa itu Kaba’ir, dan lain
sebagainya. Agaknya para ulama’ memang tak pernah lepas dari perbedaan.
Apapun sebabnya, kita tetap meyakini adanya hikmah yang tersirat. Dan
apapun faktanya, kita tetap harus mencari yang benar lalu menerimanya
dan juga membelanya. Yang salah, kita maafkan bersama, mungkin saja
bukan rizki mereka. Yang berijtihad dengan baik dan benar, tetap akan
dapat pahala. Sementara mereka yang menjadikan hawa nafsu sebagai alat
penafsir utama, tanpa landasan ilahi yang bisa diterima “Wa man lam
yaj’alillahu lahu nuran fama lahu min nur”, maka laknat sudah
menyelimuti mereka. Belum mendapat nur dan restu dari Allah, sudah
seenak-enaknya menafsirkan firman Allah.
Bila kita teliti dengan seksama, kita akan melihat sejumlah penafsiran
di atas ternyata belum mampu memberikan sebuah kepuasan, sebab walau
tampak berbeda namun sebetulnya sama dan tak berbeda, semuanya
menisbatkan Assab’ul-matsani itu kepada al-Qur’an itu sendiri, baik itu
surat Fatihah, tujuh surat terpanjang maupun yang lainnya, semua itu
adalah al-Qur’an (bagian dari al-Qur’an). Sebuah tanda tanya yang harus
terungkap adalah: Bukankah Allah swt. telah menyebutkan “Aku telah
mengaruniakanmu Assab’ul-matsani dan al-Qur’an yang agung”? bila Allah
telah menyebut al-Qur’an setelah Assab’ul-matsani maka sudah tentu
Assab’ul-matsani adalah perkara lain selain al-Qur’an. Tidakkah kita
menyadari hal itu?
Bila Assab’ul-matsani adalah surat Fatihah, bukankah surat Fatihah
merupakan bagian dari al-Qur’an itu sendiri? bukankah Allah telah
menyebut al-Qur’an sesudahnya “wal-Qur’an al-azim”? yang mana surat
Fatihah sudah terkandung di dalamnya? Ataukah surat Fatihah itu bukan
bagian dari al-Qur’an?
Apabila Assab’ul-matsani itu adalah al-Qur’an atau sebagian dari isi
al-Qur’an, tidakkah cukup Allah mengatakan: Aku telah memberimu
al-Qur’an (saja, tanpa menyebut Assab’ul-matsani)? bukankah al-Qur’an
telah mencakup semua surat-suratnya termasuk Fatihah dan tujuh surat
terpanjang?
Lalu mengapa Assab’ul-matsani disebutkan oleh Allah? Walhasil,
Assab’ul-matsani adalah perakra lain selain al-Qur’an. Bukan al-Qur’an,
bukan pula beberapa surat atau ayatnya. Kalau anda masih bersikeras
mengatakan Assab’ul-matsani itu adalah surat Fatihah, maka anda telah
berani memisahkannya dari al-Qur’an! dan anda telah menodai
kemukjizatan firman-Nya yang terlepas dari segala kecacatan, bahasa dan
sastranya.
“Sab’an minal-matsani” terdiri dari tiga kata; Sab’an, Min dan
al-Matsani. Sab’an berarti tujuh. Min berarti dari. Sementara
al-Matsani adalah bentuk jama’ dari Matsna yang artinya dua-dua. Dengan
demikian maka Matsani berarti empat-empat (berkelompok-kelompok,
setiap kelompok terdiri dari empat).
Kelompok-kelompok itu amat banyak, namun Allah hanya menyebutkan /
mengutus tujuh kelompok saja dari kelompok-kelompok itu (sebagai
pemimpin matsani yang lain) “Sab’an minal-matsani”; Tujuh kelompok dari
kelompok-kelompok al-Matsani.
Tujuh kelompok itulah yang disebut dan dimaksud dengan Assab’ul-matsani, yang mana setiap kelompok terdiri dari empat orang.
Tujuh kelompok itulah yang bertugas melayani Rasul dan umat sejak awal penciptaan sampai kiamat menjelang.
Tujuh kelompok itulah yang akan menunjuki umat ke jalan yang benar.
Tujuh kelompok itulah yang akan membimbing umat dalam mengamalkan al-Qur’an.
Tujuh kelompok itulah yang akan meneruskan dan mewarisi perjuangan Rasul saw.
Tujuh kelompok itulah yang akan melayani sandal Rasul saw. demi menjunjung tinggi siyadah beliau.
Tujuh kelompok itulah yang bila diikuti, dipegang dan ditaati umat maka selamatlah mereka dari kesesatan.
Tujuh kelompok itulah pelayan-pelayan Rasul dan umat sampai hari kiamat (maupun sesudahnya).
Allah berfirman: “Wa atainaka sab’an minal-matsani wal-Qur’anal-azim”;
Aku telah mengutus demi kamu hai Muhammad tujuh kelompok matsani yang
akan melayanimu dan melayani umatmu, Akupun telah menurunkan al-Qur’an
agar menjadi pegangan kedua bagi umatmu.
Mengapa al-Qur’an dinomorduakan oleh Allah swt.? Jawabannya adalah
karena seorang penunjuk lebih diutamakan dari pada sebuah buku
petunjuk. Allah swt. berfirman:
" قد جاءكم من الله نور وكتاب مبين "
Telah datang kepadamu: (1) seorang Rasul, dan (2) al-Qur’an. Maka Rasul
itu lebih penting dari pada al-Qur’an, sebab al-Qur’an (buku petunjuk)
tidak akan difahami dengan benar tanpa Rasul (seorang penunjuk).
Allah swt. juga berfirman:
" فالذين آمنوا به وعزروه ونصروه واتبعوا النور الذي أنزل معه أولئك هم المفلحون "
Orang-orang yang beruntung adalah apabila mereka: (1) beriman kepada
Nabi Muhammad, (2) memuliakannya (3) membelanya, kemudian (4) mengikuti
kitab suci yang dibawanya. Maka haruslah kita mencari seorang
penunjuk, kemudian mencintainya, menghormatinya, membelanya,
mengagung-agungkannya dan mentaatinya, setelah itu barulah kita
mengikuti buku petunjuk yang ia bawa.
Dari itulah Allah swt. mendahulukan Assab’ul-matsani sebelum al-Qur’an.
Bukan karena al-Qur’an itu tidak penting, melainkan karena tanpa
seorang penerang dan penunjuk maka al-Qur’an tak dapat difahami dengan
benar dan tak dapat diamalkan dengan baik.
Lalu… siapakah Assab’ul-matsani itu? siapa saja kelompok-kelompok itu?
Maulana Syekh Mukhtar ra. menyebutkan bahwasanya tujuh kelompok (Assab’ul-matsani) tersebut adalah sebagai berikut :
1. Empat pemimpin para mala’ikat Kurubiyyin / Alin / Haffin hawlal-arsy.
2. Empat pemimpin para mala’ikat Falakiyyin : Jibril, Mika’il, Israfil dan Izra’il Alaihimussalam.
3. Empat pemimpin para nabi dan rasul yang disebut dengan Ulul-azmi :
Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa dan Nabi Isa Alaihimussalam.
4. Empat Pemimpin para sahabat Rasul yang disebut dengan Khulafa’
rasyidin : Saidina Abu Bakr, Saidina Umar bin Khaththab, Saidina Utsman
bin Affan dan Saidina Ali bin Abi Thalib Radliallahu anhum ajma’in.
5. Empat pemimpin para penulis wahyu (al-Qur’an) yang disebut dengan
al-Abadilah / Abadilatul-Qur’an : Saidina Abdullah bin Umar, Saidina
Abdullah bin Azzubair, Saidina Abdullah bin Mas’ud dan Sadina Abdullah
bin Abbas Radliallahu anhum ajma’in.
6. Empat pemimpin para imam syari’at (mazhab fiqh) yang disebut dengan
al-A’immah al-Arba’ah / A’immatul-mazahibil-arba’ah : Imam Abu Hanifah,
Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris Asysyafi’i dan Imam Ahmad
bin Hanbal Radliallahu anhum ajma’in.
7. Empat pemimpin para imam tarekat (tasawuf), pemimpin para
auliya’ullah yang disebut dengan al-Aqthab al-Arba’ah (empat wali
kutub) / A’immatuththariqah wal-haqiqah : Syekh Ahmad Arrifa’i, Syekh
Abdul-Qadir al-Jailani, Syekh Ahmad al-Badawi dan Syekh Ibrahim
Addusuqi Radliallahu anhum ajma’in.
Tujuh kelompok di atas-lah Assab’ul-matsani itu, yang memimpin semua
matsani yang lain, yang semuanya berjumlah 28 orang sebanyak
huruf-huruf dalam bahasa arab.
Ketujuh kelompok itu dipimpin oleh tiga penguasa tertinggi yaitu: Imam
al-Hasan, Imam al-Husain dan Imam al-Mahdi Radliallahu anhum.
Allah swt. berfirman: “Ha Mim, Ain Sin Qaf”. Ha Mim telah diulang dalam
al-Qur’an sebanyak tujuh kali yang mana hal tersebut mengisyaratkan
kepada Assab’ul-matsani di atas, sedangkan Ain Sin Qaf hanya disebut
satu kali saja dalam al-Qur’an, yang mana ketiga huruf itu
mengisyaratkan kepada tiga pemimpin Assab’ul-matsani (Imam al-Hasan,
Imam al-Husain dan Imam al-Mahdi Radiallahu anhum ajma’in).
Sementara pemimpin tertinggi (Ra’is Akbar) yang mengepalai dan mengasuh
mereka semua adalah: Rasulullah wa Habibullah Sayyiduna wa Maulana
Muhamamd Shallallahu alaihi wa sallam.
Dalam sebuah hadits Rasul menyebutkan bahwa Assab’ul-matsani itu adalah
surat Fatihah. Itu benar, namun yang dimaksud oleh hadits tersebut
adalah bahwasanya Assab’ul-matsani (tujuh kelompok) itu telah
diisyaratkan oleh salah satu ayat dalam surat Fatihah, tepatnya pada
firman-Nya :
" اهدنا الصراط المستقيم صراط الذين أنعمت عليهم "
Ya Allah, tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang
yang Engkau karuniai nikmat. Mereka itulah Assba’ul-matsani,
sebagaimana firman Allah :
" الذين أنعم الله عليهم من النبيين والصديقين والشهداء والصالحين وحسن أولئك رفيقا "
Orang-orang yang dikaruniai nikmat oleh Allah adalah: Para nabi, para
shiddiqin, para syuhada’ dan orang-orang shalih, mereka itulah
sebaik-baik teman. Mereka itulah Assab’ul-matsani.
Di antara makna lain dari kata Matsani adalah : bentuk jama’ dari
Matsniyyah yang artinya: besi yang dibengkokkan. Itu mengisyaratkan
bahwa Assab’ul-matsani adalah orang-orang atau kelompok-kelompok yang
telah sampai kepada Allah swt. lalu dikembalikan oleh-Nya ke bumi untuk
membimbing umat kepada-Nya.
Kata Matsani juga berasal kata dari Tsana’ yang artinya pujian,
tentunya tujuh kelompok di atas telah mendapat pujian suci dari Tuhan
mereka, Allah Subhanahu wata’ala.
Di antara tujuh kelompok di atas, nampaknya kelompok terakhir-lah yang
cukup asing bagi umat. Para mala’ikat kurubyyin, mala’ikat falakiyyin,
nabi ulul-azmi, khulafa’ rasyidin, empat abadilah dan imam mazhab
empat… sudah cukup populer. Sedangkan empat wali kutub tertinggi yang
mengepalai semua auliya’ Allah di muka bumi ini dan mengimami tarekat
dan hakekat sampai muncul Imam al-Mahdi, tidak begitu banyak diketahui
atau dikenal orang. Mungkin saja karena salah satu ciri khas para wali
adalah: tersembunyi. Namun walau demikian mereka cukup masyhur di
kalangan orang-orang yang telah mendapatkan petunjuk Allah, yakni
mereka para pecinta tasawuf dan pengikut tarekat. Mereka adalah pecinta
Rasul dan Ahlul-bait.
Oleh karena itu, dalam hal ini penulis ingin mengutip perkataan Syekh
Abul-Huda Ashshayyadi ra. dalam kitabnya Qiladatul-Jawahir yang berbunyi
sebagai berikut :
قد
اشتهر في المشرق والمغرب بين المسلمين شأن الأربعة الأقطاب المعظمين، أعني
شيخنا ومفزعنا السيد أحمد الكبير الحسيني الرفاعي، وسيدنا السيد الشيخ
عبد القادر الجيلاني الحسني، وسيدنا السيد الشيخ أحمد البدوي الحسيني،
وسيدنا السيد الشيخ إبراهيم الدسوقي الحسيني . فهؤلاء الأربعة بلا ريب
خلاصة بقية السلف، وأئمة جميع الخلف، وأعلام الأولياء، وأولياء الصلحاء،
وأشياخ الخرقة والطريقة، وأقطاب الطريقة والحقيقة . ثبتت لدى المسلمين
غوثيتهم وولايتهم، ووجبت عند الموحدين حرمتهم ورعايتهم، وهم رضي الله عنهم
بمنزلة واحدة في النسب والمرتبة، إلا أن الأقوال تنوعت فيهم وفي مشاربهم
وأحوالهم ومذاهبهم، وقد وفق الله لكل واحد منهم من أتباعه من جمع آثاره
وذكر أخلاقه وأطواره
Beliau juga telah membuat sebuah nazam (sya’ir) tentang empat wali kutub, bunyinya :
والأوليا اذكرهم بخير أنهم # تبعوا الرسول بصحبة الآدابِ
خدموا شريعته وما اتبعوا الهوى # متمسكين بأشرف الأسبابِ
صحت ولايتهم بشاهد حالهم # فعلوا وصاروا وجهة الطلابِ
لهم الكرامات التي ظهرت بنا # كالشمس ما حجبت ببرد سحابِ
شهدت بها مذ شوهدت أهل الملا # وهي اختصاص الواهب السلابِ
ظهروا ببرهان الرسول تسلسلا # حتى لعهد الأربع الأقطابِ
ابن الرفاعي ثم عبد القادر الـ # ـجبلي وإبراهيم والعطابِ
قال الرفاعيون أحمد شيخنا # سلك الطريق بدق أنجح بابِ
ورأى الخضوع طريقة وحقيقة # تقضي بترك الزهور والإعجابِ
وسرى على سنن الحبيب ملازما # أحواله في السلب والإيجابِ
فلذاك قدمناه تقديما به # قام الدليل لنا بلا إسهابِ
والقادرية ثم فرقة أحمد آل # بدوي كل قال ذاك جوابِي
وكذاك أتباع الدسوقي ثم من # ينمى لغير طريقة ورحابِ
جزموا بصدق الأتباع لشيخهم # فراوه أعلا الأوليا الأنجابِ
فإذا توضحت الحقائق للذي # يدري بغير مسائل وجوابِ
ما كان من قول وفعل وارد # عن شيخ إرشاد رفيع جنابِ
زنه بميزان الشريعة واعتمد # في الأمر نص المصطفى الأوابِ
واعمل لحسن الظن بالتأويل في # ما دق من شطح لسد البابِ
وإذا نأى التأويل فانكر نسبة الـ # ـمنقول واحفظ حرمة الأحبابِ
واسلك طريق الهاشمي محمد # فسواه مردود بكل كتابِ
صلى عليه الله ما لمع الضحى # والآل والأزواج والأصحابِ
Masing-masing dari empat wali kutub itu mendirikan sebuah tarekat
ra’isi (induk) yang memimpin semua tarekat sufi yang lain, Syekh Ahmad
Arrifa’i ra. mendirikan Tarekat Rifa’iah, Syekh Abdul-Qadir al-Jailani
ra. mendirikan Tarekat Qadiriah, Syekh Ahmad al-Badawi ra. mendirikan
Tarekat Ahmadiah, dan Syekh Ibrahim Addusuqi ra. mendirikan Tarekat
Burhamiah. Empat tarekat sufi tersebut lahir dari dua tarekat ibu-bapak
yakni Tarekat Naqsyabandiah dan Tarekat Khalwatiah. Kedua tarekat
ibu-bapak itu bersumber dari Saidina Abu Bakr ra. dan Saidina Ali ra.
yang kemudian digabung oleh Imam al-Junaid ra. lalu bercabang lagi
menjadi empat tarekat induk yang dipimpin oleh empat wali kutub. Pada
zaman sekarang ini semua tarekat sufi yang ada mesti melalui salah satu
dari empat wali kutub atau semuanya dalam silsilah terekat
masing-masing, kalau tidak, maka tarekat tersebut masih diragukan
keabsahannya.
Untuk mengenal lebih jauh empat wali kutub masyhur di atas maka pembaca boleh menelaah kitab-kitab di bawah ini :
1. Qiladatul-Jawahir fi Dzikril-Gautsirrifa'i wa Atba'ihil-Akabir oleh Syekh Abul-Huda Ashshayyadi ra.
2. Al-Ayatuzzahirah fi Manaqibil-Auliya' wal-Aqthabil-Arba'ah oleh Syekh Mahmud al-Ghirbawi.
3. Farhatul-Ahbab fi Akhbaril-Arba'atil-Aqthab oleh Syekh Muhammad bin Hasan al-Khalidi ra.
4. dan lain-lain.
Berbicara so’al tugas para wali kutub tertinggi itu, kita dapat melihat
peran-peran para imam mazhab yang empat dalam membimbing umat dalam
hal syari’at. Oleh karena islam terdiri dari tiga martabat; islam, iman
dan ihsan, maka para imam mazhab bertugas untuk memperbaharui dan
mempermudah urusan syari’at umat (islam) yang kemudian para wali kutub
bertugas untuk memperbaharui dan mempermudah perjalanan spiritual /
tarekat umat (iman), yang akhirnya dengan kemantapan dua martabat itu
hamba dengan mudah mencapai hakekat (ihsan). Syari’at dan tarekat
tidaklah berbeda atau saling bertentangan, melainkan ia merupakan
tangga-tangga yang harus dilalui oleh setiap hamba secara bertahap demi
meraih derajat yang mulia di sisi Allah dan demi sebuah kesempurnaan
dalam pengabdian kepada-Nya (kamalul-iman). Keislaman seseorang tentu
menjadi tidak sempurna bila dijalani tanpa dua asas tersebut. Bermazhab
untuk kesempurnaan zahir dan bertarekat untuk kesempurnaan batin.
Sebagaimana seorang hamba layaknya bermazhab (bermazhabkan salah satu
dari mazhab fiqh yang empat), maka di sisi lain ia juga mesti
bertarekat, dengan mengikuti / menganut salah satu tarekat dari empat
tarekat sufi di atas. Atau mengikuti tarekat lain yang menjadi cabang
dari salah satu tarekat induk tersebut.
Bila keluar dari mazhab yang empat dalam bersyari’at, dan keluar dari
tarekat induk yang empat dalam bertarekat, maka tidak akan diterima
oleh-Nya. Pintu ijtihad mutlak sudah tertutup, dan izin untuk
mendirikan tarekat (induk) sudah berakhir.
Apakah Rasul pernah bermazhab? Apakah Rasul pernah bertarekat? Tentu
tidak, sebab beliau merupakan sumber dan asal semua mazhab dan tarekat
yang ada. Tidaklah mungkin seorang Rasul menganut mazhab muridnya,
tidaklah mungkin beliau mengikuti tarekat pewarisnya. Justru para imam
dan wali kutub-lah yang mengikuti beliau dan melalui tuntunan dan restu
beliaulah mereka membuat mazhab dan tarekat agar diikuti oleh umat
sesudahnya.
Dari itu penulis menasehati mereka yang mengatakan; Tidak ada mazhab
dalam islam. Ketahuilah bahwa empat mazhab dan empat tarekat itu telah
direstui dan diutus oleh Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu kala demi
kemudahan umat dalam menjalankan syari’at-Nya. Tanpa mereka, semuanya
tidak akan pernah stabil. Ingin membuat mazhab sendiri atau tarekat
sendiri, ingin menjalankan syari’at islam tanpa melalui mereka, ingin
bersuluk menuju Allah tenpa melalui jalan mereka, ingin kembali langsung
kepada Qur’an dan Sunnah tanpa melalui hasil ijtihad mereka, maka
dijamin tidak akan menghasilkan buah yang memuaskan. Bukankah kita
sendiri yang selalu berdo’a; “Ihdinashshirathal-mustaqim,
shirathalladzina an’amta alaihim” Ya Allah tunjukilah kami jalan yang
lurus, yaitu jalan mereka yang Engkau karuniai nikmat (para nabi, para
rasul, para sahabat, para imam mazhab dan para wali kutub)?
Sebagaimana Rasul telah mengutus Saidina Mu’az bin Jabal ra. ke Yaman
sebagai makan (tempat) untuk menjadi penunjuk jalan / membawa hidayah,
maka beliau-pun mengutus seorang hadi (penunjuk jalan) pada setiap
zaman (waktu) sesuadah beliau wafat? agar umat beliau dapat menemukan
hidayah-Nya… kapanpun, dan dimanapun.
Allah berfirman:
" من يهد الله فهو المهتد ومن يضلل فلن تجد له وليا مرشدا "
Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat
petunjuk, dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka kamu hai Muhammad
tak akan mampu mempertemukannya dengan seorang wali mursyid (seorang
penunjuk).
Tanpa seorang wali mursyid maka tenggelamlah hamba dalam lautan
kesesatan. Qur’an dan Sunnah tidak akan pernah cukup tanpa seorang wali
mursyid yang akan menuntun dan membimbing. Melalui restu dan petunjuk
Allah maka Rasul-pun segera mempertemukan kita dengan wali mursyid yang
menjadi pewarisnya, semoga Allah memberi hidayah kepada kita… amin.
Dengan niat yang suci, hati yang bersih dari segala sifat sombong dan
angkuh, serta cinta yang mendalam kepada Rasul dan para auliya’ maka
perjalanan menuju wali mursyid tidaklah jauh, sehingga hidayah Allah
dapat kita nikmati dengan penuh ria.
Setelah empat wali kutub itu mendirikan tarekat induk masing-masing dan
menanam bibit-bibit hidayah dan mahabbah dalam hati para pengikut
setia, maka ajal-pun tak lupa menjemput mereka ke Rafiq A’la, yang
kemudian muncullah para penerus-penerus sejati yang akan terus
membimbing umat ke jalan-Nya, jalan penuh reda dan cinta. Para penerus
sejati itulah para imam mujaddid setiap zaman, mereka adalah Auliya’
Mursyidun dan Ulama’ yang menjadi pewaris-pewaris Rasul, yang amat
takut kepada Allah dan tahu rahasia-rahasia asma’ Allah.
Akhir kata… Disamping mengikuti tuntunan Qur’an dan Sunnah, semoga kita
tidak lupa pula mengikuti dan berpegang teguh kepada Assab’ul-matsani
(beserta para penerus) yang telah diutus oleh-Nya. Semoga kita tetap
berlindung di bawah naungan mereka, agar selamat dari dunia sampai
akhir masa… amin.
Mengikuti mereka adalah merupakan tuntutan Allah dalam Qur’an-Nya
kepada kita, dan juga merupakan seruan Rasul dalam haditsnya “Udldlu
alaiha binnawajiz”. Mereka adalah utusan-utusan-Nya, mereka adalah
kekasih-kekasih-Nya, mereka adalah prantara-prantara kita menuju-Nya,
mereka adalah pewaris-pewaris Rasul-Nya, dan mereka adalah para
pembaharu dan imam masa.
Inilah suguhan ilmu para Auliya’-Nya…. yang diraih langsung dari-Nya…
Subhanahu wa t’ala. Percaya atau tidak, diterima atau tidak, Allah
telah berfirman :
" وقل الحق من ربكم فمن شاء فليؤمن ومن شاء فليكفر "
Katakanlah yang benar, yang telah kamu terima dari Tuhanmu. Selanjutnya………………………………… terserah mereka!
Referensi :
1. Pengajian-pengajian Maulana Syekh Mukhtar ra. (Syekh Tarekat Burhamiah)
2. Kitab Tabri’atuzzimmah oleh Syekh Muhammad Utsman Abduh al-Burhani ra.
3. Kitab Qiladatul-Jawahir oleh Syekh Abul-Huda Ashshayyadi al-Khalidi Arrifa’i ra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tolong komentarnya berhubungan dengan artikel yang ada
Komentar yang mengarah ke tindakan spam akan di hapus atau terjaring secara otomatis oleh spam filter.