Rd.Adi Kusuma
Minggu, 05 Agustus 2012
RAHASIA DI BALIK KEMATIAN ALI BIN ABU THALIB
Ia sang penakluk benteng Khaibar yang
konon hanya bisa diangkat oleh 15 orang. Jika Rasulullah adalah kota
ilmu, maka ia adalah pintu gerbangnya. Meski begitu, ia terkenal zuhud,
yang ikhlas berbagi sepotong roti, sesuatu yang hanya dimilikinya untuk
dimakan pada suatu pagi dengan seorang peminta yang datang ke rumahnya
dengan perut kelaparan. Ia adalah Ali bin Abi Thalib, si pemilik Dzul
Faqar, pedang bermata dua. Ia sepupu Rasulullah sekaligus mantunya,
suami Fatimah dan ayah Hasan dan Husain.Dengan segala keutamaan itu,sungguh tragis memang jika peristiwa kematiannya merupakan sejarah yang berlumur darah.
Tujuh Belas Ramadhan (TBR) merupakan
jalinan rumit kisah cinta antara Qutham, Said, Khaulah, dan Abdurrahman
bin Muljam. Qutham anak seorang Khawarij. Menuntut darah Ali bin Abi
Thalib adalah cita-citanya semenjak ayah dan saudaranya terbunuh oleh
tentara khalifah ke-4 itu pada peperangan Nahrawan di Sungai Dajlah
(Tigris) dekat Baghdad. Sedang Said berdarah Umawy, yang juga menuntut
darah Ali atas kasus terbunuhnya khalifah Usman bin Affan. Said memuja
Qutham, seperti kumbang menemukan bunganya. Apalagi keduanya memiliki
cita-cita yang sama. Pemuda itu kemudian membuat surat perjanjian untuk
menikahi Qutham dengan darah Ali sebagai maharnya.
Khaulah anak seorang pembuat senjata di
Mesir yang dekat dengan Amr bin Ash, ahli strategi Muawiyah dalam
peristiwa Tahkim yang memenangkan anak Abu Sufyan itu secara politis
atas Ali. Ayah Khaulah seorang khawarij pula, yang mendukung upaya
pembunuhan atas mantu Rasulullah itu. Ia bahkan telah membuat pedang
seribu dinar bertabur racun seribu dinar untuk Abdurrahman bin Muljam.
Pemuda inilah yang akan melaksanakan tugas eksekusi itu. Khaulah sangat
paham rahasia ini, karena sudah menjadi janji orangtuanya bahwa darah
Ali akan menjadi mahar pernikahan Ibnu Muljam dengan dirinya. Padahal,
Khaulah, berseberangan dengan Ayahnya. Ia berpihak pada Ali dan bertekad
membantu menyelamatkannya.
Said berdiri di persimpangan jalan ketika
dalam wasiatnya, Abu Rihab menyuruhnya menghapus dendam kesumat itu.
Bahkan kakeknya itu meminta Said membantu menyelamatkan Ali dari
pembunuhan oleh sekelompok orang. Ini bertentangan dengan perjanjian
yang telah dibuatnya dengan Qutham. Akhirnya, dengan berat hati, ia
mengikuti wasiat kakeknya. Said menyampaikan perubahan drastis itu
kepada Qutham dengan taruhan pernikahannya. Namun, di luar dugaannya,
Qutham ternyata justru mendukungnya untuk menyelamatkan Ali dan bahkan
cita-cita itu kini menjadi persyaratan mahar yang baru baginya. Tentu
saja hal ini sangat menggembirakan Said.
Maka meluncurlah dari mulut Said rencana
jahat yang sempat didengarnya di Makkah menjelang kakeknya wafat.
Sekelompok orang akan membunuh tiga orang sekaligus yang membuat
carut-marut umat saat itu pada malam 17 Ramadan. Mereka adalah Ali di
Kufah, Amr bin Ash di Fusthath, Mesir, dan Muawiyah di Syams.
Qutham kemudian meminta Said pergi ke
Mesir untuk menemui kelompok penolong Ali dan mencari tahu siapa saja
yang bakal melaksanakan eksekusi itu. Bersama Abdullah, saudaranya, Said
pergi ke Fusthath, Mesir. Nahasnya, Abdullah tertangkap tentara Amr
ketika bertemu dengan penolong-penolong Ali di sebuah tempat bernama Ain
Syams. Mereka yang tertangkap ditenggelamkan di sebuah teluk untuk
menghilangkan jejak.
Said berhasil lolos dari sergapan ini
atas bantuan Khaulah. Sebaliknya, Khaulah berhasil lolos dari belenggu
Ayahnya atas bantuan Said. Dari mulut Khaulah, Said tahu nama Ibnu
Muljam yang tengah dalam perjalanan ke Kufah. Dan dari mulut Said,
Khaulah tahu bahwa target pembunuhan 17 Ramadhan tidak hanya Ali, tetapi
juga Amr dan Muawiyah.
Keduanya kemudian berbagi tugas. Khaulah
meminta Said secepatnya kembali ke Kufah untuk memberitahukan rencana
jahat itu pada Ali sebelum saatnya tiba. Sedangkan Khaulah akan berusaha
memberitahu Amr dengan caranya. Maka berangkatlah Said ke Kufah untuk
mengejar waktu.
Sesampai di Kufah, Ibnu Muljam
dipertemukan dengan Qutham oleh pembantu setianya. Melihat kecantikan
gadis itu dan cita-cita yang sama untuk menuntut darah Ali – yang
ditutup rapat gadis itu dari Said, Ibnu Muljam meminang gadis itu. Ini
tentu pinangan baru setelah Said. Dan tentu saja, darah Ali menjadi
maharnya.Maka lengkaplah sudah konspirasi itu.
Malam 17 Ramadhan pun tiba. Said sudah
sampai di Kufah pada malam itu. Tanpa menunda-nunda lagi, ia bergegas ke
rumah Ali. Sampai di masjid Ali, tidak ada seorang pun yang ia temui
kecuali Qinbar, penjaga Ali yang tengah duduk di sana. Ketika tahu yang
di hadapannya adalah Said, Qinbar langsung meringkus pemuda itu dengan
bantuan penjaga Ali yang berada di dalam rumah. Said kaget mengetahui
situasi itu, tetapi ia tidak berkutik ketika Qinbar memperlihatkan
secarik surat perjanjian yang tidak lain perjanjian pernikahannya dengan
Qutham untuk dengan mahar darah Ali. Surat perjanjian itu ternyata
tidak pernah dilenyapkan Qutham, dan itulah yang menghambat Said untuk
menyampaikan berita penting itu kepada Ali.
Maka pembunuhan itu pun terjadilah. Ali
ditikam dengan pedang beracun oleh Ibnu Muljam tepat di kening ketika
Subuh tiba. Khalifah itupun wafat. Sedangkan Ibnu Muljam dibunuh oleh
sahabat dan penjaga-penjaga Ali. Said akhirnya dibebaskan dengan
meninggalkan penyesalan pada setiap orang.
Adalah Abdurahman ibnu Muljam yang
menikam Ali dengan pedang beracun pada suatu Subuh di masjid Kufah
tanggal 17 Ramadhan tahun 40 H. Pada saat yang sama dua orang kawan
sekomplotannya melakukan upaya pembunuhan di tempat lain. Barak bin
Abdullah ash-Shorimi membunuh Muawiyah bin Abi Sufyan di Syams dan Amr
bin Bakr at-Tamimi membunuh Amr bin Ash di Mesir. Ketiga orang ini, Ali,
Muawiyah dan Amr adalah para tokoh di balik pertikaian politik pasca
kematian khalifah Usman yang juga berlumuran darah. Imam Ali terluka
yang berujung pada kematiannya. Muawiyah hanya terluka dan kemudian
sembuh. Sedangkan pembunuhan terhadap Amr salah sasaran. Ketiga pembunuh
itu, Ibnu Muljam, Barak dan Amr bin Bakr adalah anggota kelompok
Khawarij, yang pada mulanya pendukung Imam Ali untuk menjadi khalifah,
tetapi pada akhirnya membencinya karena suami Fatimah itu menerima
Tahkim setelah perang Shiffin.
Langganan:
Postingan (Atom)