Syekh Abdul Qadir Al Jailani
Sebagai bekal untuk Sobat-sobat Pejalan Cahaya di belahan dunia manapun
berada kini, yg selalu setia mendampingi diri, bersama dalam menapaki
tangga ruhani, lahir dan batin. Semoga Allah SWT Senantiasa Memperkuat
lingkaran cahayaNya dalam diri kita & ukhuwah bashariah kita, aamin
...
Risalah Al Ghautsiyyah adalah sebentuk dialog batiniah antara Allah SWT
dan Syekh Abdul Qadir Al Jailani, yang diterima melalui ilham qalbi dan
penyingkapan ruhani [kasyf ma’nawi].
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Segala puji bagi Allah, Sang Penghapus Duka. Shalawat atas manusia
terbaik, Muhammad. Berkatalah sang penolong agung, yang terasing dari
selain Allah dan amat intim dengan Allah.
Allah SWT Berkata : “Wahai penolong agung!”
Aku menjawab : “Aku mendengar panggilan-Mu, Wahai Tuhannya si penolong.”
Dia Berkata : “Setiap tahapan antara alam Naasut dan alam Malakut adalah
syariat; setiap tahapan antara alam Malakut dan Jabarut adalah tarekat;
dan setiap tahapan antara alam Jabarut dan alam Lahut adalah hakikat.” 1
Lalu Dia berkata kepadaku : “Wahai penolong agung ! Aku tidak pernah
mewujudkan Diri-Ku dalam sesuatu sebagaimana perwujudanKu dalam diri
manusia.”
Lalu aku bertanya : “Wahai Tuhanku, apakah Engkau memiliki tempat ?”,
Maka Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, Akulah Pencipta
tempat, dan Aku tidak memiliki tempat.”
Lalu aku bertanya : “Wahai Tuhanku, apakah Engkau makan dan minum ?”,
Maka Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, makanan dan minuman
kaum fakir adalah makanan dan minuman-Ku.”2
Lalu aku berkata : “Wahai Tuhanku, dari apa Engkau ciptakan malaikat ?”.
Dia Berkata kepadaku : “Aku Ciptakan malaikat dari cahaya manusia, dan
Aku Ciptakan manusia dari cahaya-Ku.”
Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, Aku Jadikan manusia
sebagai kendaraan-Ku, dan Aku jadikan seluruh isi alam sebagai kendaraan
baginya.”3
Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, betapa indahnya Aku
sebagai Pencari ! Betapa indahnya manusia sebagai yang dicari ! Betapa
indahnya manusia sebagai pengendara, dan betapa indahnya alam sebagai
kendaraan baginya.”4
Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, manusia adalah
rahasia-Ku dan Aku adalah Rahasianya. Jika manusia menyadari
kedudukannya di sisi-Ku, maka ia akan berucap pada setiap hembusan
nafasnya, ‘milik siapakah kekuasaan pada hari ini ?’.”5
Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, tidaklah manusia
makan sesuatu, atau minum sesuatu, dan tidaklah ia berdiri atau duduk,
berbicara atau diam, tidak pula ia melakukan suatu perbuatan, menuju
sesuatu atau menjauhi sesuatu, kecuali Aku Ada [Berperan] di situ,
Bersemayam dalam dirinya dan Menggerakkannya.”6
Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, tubuh manusia,
jiwanya, hatinya, ruhnya, pendengarannya, penglihatannya, tangannya,
kakinya, dan lidahnya, semua itu Aku Persembahkan kepadanya oleh
Diri-Ku, untuk Diri-Ku. Dia tak lain adalah Aku, dan Aku Bukanlah selain
dia.”
Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, jika engkau melihat
seseorang terbakai oleh api kefakiran dan hancur karena banyaknya
kebutuhan, maka dekatilah ia, karena tidak ada penghalang antara Diri-Ku
dan dirinya.”7
Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, janganlah engkau
makan sesuatu atau minum sesuatu dan janganlah engkau tidur, kecuali
dengan kehadiran hati yang sadar dan mata yang awas.”
Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, barangsiapa terhalang
dari perjalanan-Ku di dalam batin, maka ia akan diuji dengan perjalanan
lahir, dan ia tidak akan semakin dekat dari-Ku melainkan justru semakin
menjauh dalam perjalanan batin.”
Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, kemanunggalan ruhani
merupakan keadaan yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Siapa
yang percaya dengannya sebelum mengalaminya sendiri, maka ia telah
kafir. Dan barang siapa menginginkan ibadah setelah mencapai keadaan
wushul, maka ia telah menyekutukan Allah SWT.”8
Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, barangsiapa
memperoleh kebahagiaan azali, maka selamat atasnya, dia tidak akan
terhina selamanya. Dan barang siapa memperoleh kesengsaraan azali, maka
celaka baginya, dia tidak akan diterima sama sekali setelah itu.”
Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, Aku Jadikan kefakiran
dan kebutuhan sebagai kendaraan manusia. Barangsiapa menaikinya, maka
ia telah sampai di tempatnya sebelum menyeberangi gurun dan lembah.”9
Lalu Dia Berkatak kepadaku : “Wahai penolong agung, bila manusia
mengetahui apa yang terjadi setelah kematian, tentu ia tidak
menginginkan hidup di dunia ini. Dan ia akan berkata di setiap saat dan
kesempatan, ‘Tuhan, matikan aku !’.”10
Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, semua makhluk pada
hari kiamat akan dihadapkan kepadaKu dalam keadaan tuli, bisu dan buta,
lalu merasa rugi dan menangis. Demikian pula di dalam kubur.”
Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, cinta merupakan tirai
yang membatasi antara sang pencinta dan yang dicintai. Bila sang
pencinta telah padam dari cintanya, berarti ia telah sampai kepada Sang
Kekasih.”11
Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, Aku Melihat Ruh-ruh
menunggu di dalam jasad-jasad mereka setelah ucapanNya, ‘Bukankah Aku
ini Tuhanmu ?’ sampai hari kiamat.”
Lalu sang penolong berkata : “Aku melihat Tuhan Yang Maha Agung dan Dia
Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, barangsiapa bertanya kepadaKu
tentang melihat setelah mengetahui, berrti ia terhalang dari pengetahuan
tentang melihat. Barangsiapa mengira bahwa melihat tidak sama dengan
mengetahui, maka berarti ia telah terperdaya oleh melihat Allah SWT.’”12
Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, orang fakir dalam
pandangan-Ku bukanlah orang yang tidak memiliki apa-apa, melainkan orang
fakir adalah ia yang memegang kendali atas segala sesuatu. Bila ia
berkata kepada sesuatu, ‘jadilah !’ maka terjadilah ia.”13
Lalu Dia Berkata kepadaku : “Tak ada persahabatan dan kenikmatan di
dalam surga setelah kemunculan-Ku di sana, dan tak ada kesendirian dan
kebakaran di dalam neraka setelah sapaan-Ku kepada para penghuninya.”14
Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, Aku Yang Paling Mulia
di antara semua yang mulia, dan Aku Yang Paling Penyayang di antara
semua penyayang.”
Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, tidurlah di sisi-Ku
tidak seperti tidurnya orang-orang awam, maka engkau akan melihatKu.”
Terhadap hal ini aku bertanya : “Wahai Tuhanku, bagaimana aku tidur
disisi-Mu ?”. Dia Berkata : “Dengan menjauhkan jasmani dari kesenangan,
menjauhkan nafsu dari syahwat, menjauhkan hati dari pikiran dan perasaan
buruk, dan menjauhkan ruh dari pandangan yang melalaikan, lalu
meleburkan dzatmu di dalam Dzat.”
Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, katakan kepada
sahabatmu dan pencintamu, siapa di antara kalian yang menginginkan
kedekatan dengan-Ku, maka hendaklah ia memilih kefakiran, lalu kefakiran
dari kefakiran. Bila kefakiran itu telah sempurna, maka tak ada lagi
apapun selain Aku.”15
Lalu Dia Berkata : “Wahai penolong agung, berbahagialah jika engkau
mengasihi makhluk-makhluk-Ku, dan beruntunglah jika engkau memaaafkan
makhluk-makhluk-Ku.”
Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, katakan kepada
pencintamu dan sahabatmu, ambillah manfaat dari do’a kaum fakir, karena
mereka bersama-Ku dan Aku Bersama mereka.”
Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, Aku Bersama segala
sesuatu, Tempat Tinggalnya, Pengawasnya, dan kepada-Ku tempat
kembalinya.”
Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, jangan peduli pada
surga dan apa yang ada di sana, maka engkau akan melihat Aku tanpa
perantara. Dan jangan peduli pada neraka serta apa yang ada di sana,
maka engkau akan melihat Aku tanpa perantara.”16
Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, para penghuni surga
disibukkan oleh surga, dan para penghuni neraka disibukkan oleh-Ku.”
Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, sebagian penghuni
surga berlindung dari kenikmatan, sebagaimana penghuni neraka berlindung
dari jilatan api.”17
Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, barangsiapa
disibukkan dengan selain Aku, maka temannya adalah sabuk [tanda
kekafiran] pada hari kiamat.”
Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, orang-orang yang
dekat mencari pertolongan dari kedekatan, sebagaimana orang-orang yang
jauh mencari pertolongan dari kejauhan.”
Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, sesungguhnya Aku
Memiliki hamba-hamba yang bukan nabi maupun rasul, yang kedudukan mereka
tidak diketahui oleh siapapun dari penghuni dunia maupun penghuni
akhirat, dari penghuni surga ataupun neraka, tidak juga malaikat Malik
ataupun Ridwan, dan Aku Tidak Menjadikan mereka untuk surga maupun untuk
neraka, tidak untuk pahala ataupun siksa, tidak untuk bidadari, istana
maupun pelayan-pelayan mudanya. Maka beruntunglah orang yang mempercayai
mereka meski belum mengenal mereka.”
Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, engkau adalah salah
satu dari mereka. Dan di antara tanda-tanda mereka di dunia adalah
tubuh-tubuh mereka terbakar karena sedikitnya makan dan minum; nafsu
mereka telah hangus dari syahwat, hati mereka telah hangus dari pikiran
dan perasaan buruk, ruh-ruh mereka juga telah hangus dari pandangan yang
melalaikan. Mereka adalah pemilik keabadian yang terbakar oleh cahaya
perjumpaan [dengan Tuhan].”
Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, bila seseorang yang
haus datang kepadamu di hari yang amat panas, sedangkan engkau memiliki
air dingin dan engkau sedang tidak membutuhkan air, jika engkau menahan
air itu baginya, maka engkau adalah orang yang paling kikir. Bagaimana
Aku Menolak mereka dari rahmat-Ku padahal Aku Telah Menetapkan atas
Diri-Ku, bahwa Aku Paling Pengasih di antara yang mengasihi.”
Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, tak seorang pun dari
ahli maksiat yang jauh dari-Ku, dan tak seorangpun dari ahli ketaatan
yang dekat dari-Ku.”18
Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, bila seseorang dekat
kepada-Ku, maka ia adalah dari kalangan maksiat, karena ia merasa
memiliki kekurangan dan penyesalan.”
Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, merasa memiliki
kekurangan merupakan sumber cahaya, dan mengagumi cahaya diri sendiri
merupakan sumber kegelapan.”
Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, ahli maksiat akan
tertutupi oleh kemaksiatannya, dan ahli taat akan tertutupi oleh
ketaatannya. Dan Aku Memiliki hamba-hamba selain mereka, yang tidak
ditimpa kesedihan maksiat dan keresahan ketaatan.”
Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, sampaikan kabar
gembira kepada para pendosa tentang adanya keutamaan dan kemurahan, dan
sampaikan berita kepada para pengagum diri sendiri tentang adanya
keadilan dan pembalasan.”
Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, ahli ketaatan selalu
mengingat kenikmatan, dan ahli maksiat selalu mengingat Yang Maha
Pengasih.”
Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, Aku Dekat dengan
pelaku maksiat setelah ia berhenti dari kemaksiatannya, dan Aku Jauh
dari orang yang taat setelah ia berhenti dari ketaatannya.”
Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, Aku Menciptakan orang
awam namun mereka tidak mampu memandang cahaya kebesaran-Ku, maka Aku
Meletakkan tirai kegelapan di antara Diri-Ku dan mereka. Dan Aku
Menciptakan orang-orang khusus namun mereka tidak mampu mendekati-Ku dan
mereka sebagai tirai penghalang.”
Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, katakan kepada para
sahabatmu, siapa di antara mereka yang ingin sampai kepada-Ku, maka ia
harus keluar dari segala sesuatu selain Aku.”
Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, keluarlah dari batas
dunia, maka engkau akan sampai ke akhirat. Dan keluarlah dari batas
akhirat, maka engkau akan sampai kepada-Ku.”
Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, keluarlah engkau dari
raga dan jiwamu, lalu keluarlah dari hati dan ruhmu, lalu keluarlah
dari hukum dan perintah, maka engkau akan sampai kepada-Ku.”
Maka aku bertanya : “Wahai Tuhanku, shalat sepert apa yang paling dekat
dengan-Mu ?.” Dia Berkata : “Shalat yang di dalamnya tiada apapun
kecuali Aku, dan orang yang melakukannya lenyap dari shalatnya dan
tenggelam karenanya.”19
Lalu aku berkata : “Wahai Tuhanku, puasa seperti apa yang paling utama
di sisi-Mu ?.” Dia Berkata : “Puasa yang di dalamnya tiada apa pun
selain Aku, dan orang yang melakukannya lenyap darinya."
Lalu aku berkata : “Wahai Tuhanku, amal apa yang paling utama di sisi-Mu
?.” Dia Berkata : “Amal yang di dalamnya tiada apa pun selain Aku, baik
itu [harapan] surga ataupun [ketakutan] neraka, dan pelakunya lenyap
darinya."
Lalu aku berkata : “Wahai Tuhanku, tangisan seperti apa yang paling
utama di sisi-Mu ?.” Dia Berkata : “Tangisan orang-orang yang tertawa."
Lalu aku berkata : “Wahai Tuhanku, tertawa seperti apa yang paling utama
di sisi-Mu ?.” Dia Berkata : “Tertawanya orang-orang yang menangis
karena bertobat.” Lalu aku berkata : “Wahai Tuhanku, tobat seperti apa
yang paling utama di sisi-Mu ?.” Dia Menjawab : “Tobatnya orang-orang
yang suci.” Lalu aku bertanya : “Wahai Tuhanku, kesucian seperti apa
yang paling utama di sisi-Mu ?.” Dia Menjawab : “Kesucian orang-orang
yang bertobat.”
Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, pencari ilmu di
mata-Ku tidak mempunyai jalan kecuali setelah ia mengakui kebodohannya,
karena jika ia tidak melepaskan ilmu yang ada padanya, ia akan menjadi
setan.”20
Berkatalah sang penolong agung : “Aku bertemu Tuhanku SWT dan aku
bertanya kepada-Nya, ‘Wahai Tuhan, apa makna kerinduan [‘isyq] ?’, Dia
Menjawab : ‘Wahai penolong agung, [artinya] engkau mesti merindukan-Ku
dan mengosongkan hatimu dari selain Aku.’” Lalu Dia Berkata kepadaku :
“Wahai penolong agung, jika engkau mengerti bentuk kerinduan maka engkau
harus lenyap dari kerinduan, karena ia merupakan penghalang antara si
perindu dan yang dirindukan.”
Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, bila engkau berniat
melakukan tobat, maka pertama kali engkau harus bertobat dari nafsu,
lalu mengeluarkan pikiran dan perasaan buruk dari hati dengan mengusir
kegelisahan dosa, maka engkau akan sampai kepada-Ku. Dan hendaknya
engkau bersabar, karena bila tidak bersabar berarti engkau hanya
bermain-main belaka.”
Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, bila engkau ingin
memasuki wilayah-Ku, maka hendaknya engkau tidak berpaling kepada alam
mulk, alam malakut, maupun alam jabarut. Karena alam mulk adalah
setannya orang berilmu, dan malakut adalah setannya ahli makrifat, dan
jabarut adalah setannya orang yang sadar. Siapa yang puas dengan salah
satu dari ketiganya, maka ia akan terusir dari sisi-Ku.”
Dan Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, perjuangan spiritual
[mujahadah] adalah salah satu lautan di samudera penyaksian [musyahadah]
dan tela dipilih oleh orang-orang yang sadar. Barangsiapa hendak masuk
ke samudera musyahadah, maka ia harus memilih mujahadah, karena
mujahadah merupakan benih dari musyahadah dan musyahadah tanpa mujahadah
adalah mustahil. Barangsiapa telah memilih mujahadah, maka ia akan
mengalami musyahadah, dikehendaki atau tidak dikehendaki.”21
Dan Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, para pencari jalan
spiritual tidak dapat berjalan tanpa mujahadah, sebagaimana mereka tak
dapat melakukannya tanpa Aku.”
Dan Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, sesungguhnya hamba
yang paling Ku Cintai adalah hamba yang mempunyai ayah dan anak tetapi
hatinya kosong dari keduanya. Jika ayahnya meninggal, ia tidak sedih
karenanya, dan jika anaknya pun meninggal, ia pun tidak gundah
karenanya. Jika seorang hamba telah mencapai tingkat seperti ini, maka
di sisi-Ku tanpa ayah dan tanpa anak, dan tak ada bandingan baginya.”22
Dan Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, siapa yang tidak
merasakan lenyapnya seorang ayah karena kecintaan kepada-Ku dan
lenyapnya seorang anak karena kecintaan kepada-Ku, maka ia tak akan
merasakan lezatnya Kesendirian dan Ketunggalan.”
Dia juga Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, bila engkau ingin
memandang-Ku di setiap tempat, maka engkau harus memilih hati resah yang
kosong dari selain Aku.” Lalu aku bertanya : “Tuhanku, apa ilmunya ilmu
itu ?.” Dia Menjawab : “Ilmunya ilmu adalah ketidaktahuan akan ilmu.”
Dan Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, berbahagialah seorang
hamba yang hatinya condong kepada mujahadah, dan celakalah bagi hamba
yang hatinya condong kepada syahwat.”
Lalu aku bertanya kepada Tuhanku SWT tentang mi’raj. Dia Berkata :
“Mi’raj adalah naik meninggalkan segala sesuatu kecuali Aku, dan
kesempurnaan mi’raj adalah pandangan tidak berpaling dan tidak pula
melampauinya [ QS 53 : 17].” Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong
agung, tidak ada shalat bagi orang yang tidak melakukan mi’raj
kepada-Ku.”23
Lalu Dia Berkata kepadaku : “Wahai penolong agung, orang yang kehilangan shalatnya adalah orang yang tidak mi’raj kepada-Ku.”
Keterangan :
1. Alam Naasut adalah alam manusia, di dalamnya yang tampak adalah
urusan-urusan kemanusiaan yang lembut dan bersifat ruhaniah. Alam
Malakut adalah alam dimana para malaikat berkiprah melaksanakan
tugas-tugas yang diberikan oleh Allah SWT. Alam Jabarut adalah alam gaib
tempat urusan-urusan ilahiah yang menunjukkan hakikat daya paksa,
kekerasan, kecepatan tindak pembalasan, dan ketidakbutuhan kepada segala
sesuatu. Alam Lahut adalah alam gaib yang di dalamnya hanya tampak
urusan-urusan ilahiah murni.
2. Yang dimaksud fakir disini bukanlah orang yang membutuhkan harta benda, melainkan orang yang merasa butuh kepada Allah SWT.
3. Kendaraan di sini berarti sarana untuk menyampaikan seseorang kepada
tujuan. Untuk tujuan tertentu, Allah SWT memanfaatkan manusia sebagai
saranaNya, sementara manusia memanfaatkan alam sebagai sarana untuk
mencapai tujuannya.
4. Allah SWT sebagai pencari sarana, memilih manusia – makhluk yang
paling mulia – sebagai kendaraanNya. Betapa Agungnya Dia dan betapa
terhormatnya manusia yang telah dipilihNya. Dan merupakan keagungan pula
bagi alam karena telah dijadikan oleh manusia sebagai kendaraan yang
membawanya kepada tujuannya.
5. Jika manusia mengetahui secara hakiki betapa tinggi kedudukannya dan
betapa dekat ia dengan Allah SWT, maka ia akan merasa bahwa suatu saat
nanti – karena kedekatan itu – Allah akan memberikan kekuasaanNya
kepadanya. Karena itulah ia akan senantiasa menanti, kapan saat
penyerahan itu tiba, dengan kalimat : “Milik siapakah kekuasaan pada
hari ini ?.”
6. Allah SWT selalu berperan dalam setiap gerak dan diamnya manusia.
7. Orang yang telah menyadari kefakiran dan kebutuhannya di hadapan
Allah SWT, berarti ia telah memahami posisi dirinya terhadap Tuhannya.
Sehingga tiada lagi penghalang antara dirinya dan Allah SWT.
8. Penyatuan ruhani antara makhluk dan Khaliq tidak akan dapat
diungkapkan dengan kata-kata. Jika seseorang belum mengalaminya sendiri,
maka ia akan cenderung mengingkarinya. Dan orang yang mengaku telah
mengalaminya padahal belum, maka ia telah kafir. Orang yang telah
mencapai keadaan ini, tiada yang ia inginkan selain perjumpaan dengan
Allah. Jika ia menginginkan hal lain, meski itu berupa ibadah sekalipun,
dalam maqam ini, ia dianggap telah menyekutukan Allah dengan
keinginannya yang lain.
9. Kefakiran dan kebutuhan merupakan sarana yang membawa manusia kepada
kesadaran akan jati dirinya dan kebesaran Allah SWT. Orang yang telah
sampai pada kesadaran semacam ini berarti telah sampai pada posisinya
yang tepat tanpa harus menempuh perjalanan yang berliku-liku.
10. Kematian merupakan saat disingkapkannya hakikat segala sesuatu, dan
perjumpaan dengan Tuhan adalah saat yang paling dinantikan oleh orang
yang merindukanNya.
11. Cinta tiada lain kecuali keinginan sang pencinta untuk berjumpa dan
bersatu dengan yang dicintai. Bila keduanya telah bertemu, maka cinta
itu sendiri akan lenyap, dan keberadaan cinta itu justru akan menjadi
penghalang antara keduanya.
12. Yang dimaksud mengetahui adalah melihat dengan mata hati. Jadi, di sini melihat sama dengan mengetahui.
13. Fakir dalam pandangan Allah SWT bukanlah orang yang tidak memiliki
harta benda, melainkan orang yang merasa butuh kepada Allah SWT, dan
tidak memiliki perhatian kepada apapun selain Allah SWT. Orang seperti
ini, kehendaknya sama dengan kehendak Allah SWT, sehingga apa yang ia
inginkan untuk terwujud akan terwujud.
14. Keinginan dan kenikmatan terbesar manusia di alam akhirat itu
hanyalah perjumpaan dengan Allah SWT. Maka kenikmatan di dalam surga dan
kesengsaraan di dalam neraka tidak akan terasa jika dihadapkan pada
kenikmatan perjumpaan dengan Allah SWT, meski itu hanya dalam bentuk
sapaan belaka.
15. Kefakiran adalah suatu keadaan butuh. Jika seseorang tidak
membutuhkan apa pun selain Allah, maka kefakirannya telah sempurna.
Baginya, Yang Wujud hanyalah Allah SWT, tak ada selainNya.
16. Ini seperti ungkapan Rabi’ah Al Andawiyah : “Aku menyembah Allah
bukan karena mengharap surga atau takut akan neraka, melainkan karena
Dia memang layak untuk disembah dan karena aku mencintai-Nya.”
17. Penghuni surga berlindung dari kenikmatan agar mereka tidak terlena
sehingga lupa akan kenikmatan yang paling besar, yakni perjumpaan dengan
Allah SWT.
18. Maksudnya, walaupun seseorang termasuk ahli maksiat, Allah tetap
dekat dengannya sehingga jika ia mau bertobat, Allah pasti menerimanya.
Dan janganlah seorang yang taat menyombongkan diri atas ketaatannya,
karena dengan begitu ia justru akan semakin jauh dari Allah. Memiliki
perasaan kekurangan dan penyesalan itulah yang menyebabkan seseorang
dekat kepada Allah.
19. Lenyap dari shalat bermakna bahwa niat dan perhatian si pelaku
shalat hanya tertuju kepada Allah SWT. Fokusnya bukan lagi penampilan
fisik maupun gerakan-gerakan, melainkan kepada makna batiniah shalat
itu.
20. Ilmu yang sesungguhnya adalah yang ada di sisi Allah SWT, sementara
ilmu yang kita miliki hanyalah semu dan palsu. Selama manusia tidak
melepas kepalsuan itu, ia tidak akan menemukan ilmu sejati. Ilmu sejati
tidak akan berlawanan dengan perbuatan. Setan adalah contoh pemilik ilmu
yang perbuatannya berlawanan dengan ilmu yang dimilikinya.
21. Mujahadah adalah perjuangan spiritual dengan cara menekan
keinginan-keinginan jasmani, nafsu, dan jiwa, agar tunduk di bawah
kendali ruh kita. Musyahadah adalah penyaksian akan kebesaran dan
keagungan Allah SWT melalui tanda-tanda keagungan-Nya di alam ini.
22. Kecintaan seseorang kepada anak atau orang tua semestinya tidak
melebihi kecintaannya kepada Allah SWT. Ia harus menyadari bahwa orang
tua maupun anak adalah anugerah Allah SWT yang bersifat sementara, dan
cepat atau lambat ia akan berpisah dengan mereka. Maka seharusnya
perpisahan itu tidak membuatnya gundah dan gelisah mengingat hal itu
terjadi karena kehendak Allah SWT [ QS 80 : 34-37]
23. Dalam sebuah hadist, Nabi SAW berkata : “Shalat adalah mi’raj kaum
mukmin.” Mi’raj berarti naiknya ruh menghadap Allah SWT meski jasad kita
tetap berada di alam ini. Jika shalat seseorang belum membawanya kepada
keadaan seperti ini, berarti ia belum melakukan shalat dengan sempurna
1. AL-HABIB HUSEIN BIN MUHSIN AL-AYDRUS
2. SYARIFAH SALMA BINTI HUSEIN AL-AYDRUS
3. MBAH PANGERAN SYARIF (DATUK BANJIR) BIN SYEIKH ABDURROHMAN (LUBANG BUAYA)
4. AL-HABIB UMAR BIN MUHAMMAD BIN HASAN BIN HUD AL-ATHOS (Al-Khaerot)
5. AL-HABIB ‘ALI BIN HUSEIN AL-ATHOS (Al-Hawi)
6. AL-HABIB AHMAD BIN ABDULLAH BIN HASAN AL-ATHOS (Al-Khaerot)
7. AL-HABIB ‘IDRUS BIN HUSEIN AL-HAMID AL-KHOIROT (Kramat Al-Khaerot)
8. PANGERAN JAYAKARTA BIN PANGERAN SUNGRASA WIJAYA KARTA BIN TUBAGUS ANGKE (Klender)
9. PANGERAN LAHUT (Klender)
10. PANGERAN SEGIRI BIN SULTAN AGUNG TIRTAYASA (Klender)
11. PANGERAN SURYA (KLENDER)
12. RATU ROFIAH (KLENDER)
13. SYEIKH KOMPI UBAN (KRAMAT CIPINANG)
14. SYEIKH DATUK GEONG (KRAMAT JATI)
15. SYEIKH DATUK BANJAR (KRAMAT JATI)
16. KYAI QOSIM BIN KYAI TOHIR (PULO)
17. AL-HABIB UMAR (KRAMAT KOMPI MAS SEMPER)
18. AL-HABIB MUHAMMAD SYARIF BIN ALWI BIN HASAN BIN ALI ASSEGAF (KOMPI JENGGOT)
19. SYEIKH KOMPI TIMUR (KRAMAT SUNTER)
20. SYEIKH KOMPI BARAT (KRAMAT SUNTER)
21. SYEIKH KOMPI RESO (KRAMAT SUNTER)
22. SYEIKH KOMPI PENGANTIN (KRAMAT YOS SUDARSO)
23. AL-HABIB SYARIF BIN ‘ALI BIN HUSEIN BIN UTSMAN (CUCU SUNAN GUNUNG JATI 19, KRAMAT MENGKOK) SEMPER
24. SAYYID ALI (KRAMAT BATU TIMBUL/TUMBUH SEMPER)
25. PANGERAN PUGER BIN MUHAMMAD BIN SULTAN HASANUDIN (KRAMAT DEWA KEMBAR)
26. AL-HABIB SALIM BIN SYEIKH ABU BAKAR (DEWA KEMBAR)
27. AL-HABIB SAYYID HUSEIN BIN HASAN BIN SYEIKH ABU BAKAR (KRAMAT DEWA KEMBAR)
28. AL-HABIB ‘ALI BIN AHMAD ABDULLOH AL-HABSYI/MBAH SAYYID ARELI DATO KEMBANG (KRAMAT ANCOL)
29. SYARIFAH ENENG (KRAMAT ANCOL)
30. AL-HABIB HANUN BIN SYEIKH ABU BAKAR (KRAMAT ANCOL)
31. HABABAH SYARIFAH REGOAN BINTI HANUN BINTI SYEIKH ABU BAKAR (KRAMAT ANCOL)
32. AL-HABIB HASAN BIN MUHAMMAD AL-HADDAD (MBAH PRIUK)
33. AL-HABIB SYARIF MUHSIN BIN ‘ALI BIN ISHAQ BIN YAHYA (KRAMAT CILINCING)
34. AL-HABIB SYEIKH ABDUL HALIM BIN YAHYA (KRAMAT AL-ALAM MARUNDA)
35. AL-HABIB MUHAMMAD BIN UMAR AL-QUDSY (KRAMAT KAMPUNG BANDAN)
36. AL-HABIB ‘ALI BIN ABDURROHMAN BA’ALAWY (KRAMAT KAMPUNG BANDAN)
37. AL-HABIB ABDURROHMAN BIN ALWI ASSATIRI (KRAMAT KAMPUNG BANDAN)
38. SYARIFAH FATIMAH KECIL BINTI HUSEIN AL-AYDRUS (KRAMAT PEKOJAN)
39. AL-HABIB HUSEIN BIN ABU BAKAR AL-AYDRUS (KRAMAT LUAR BATANG)
40. AL-HABIB MUHAMMAD BIN SYEIKH BIN HUSEIN AL-BAHAR (KRAMAT TUNGGAK)
41. MU’ALLIM SYAFI’I HADZAMI BIN SHOLEH RO’IDI (KEBAYORAN)
42. AL-HABIB UTSMAN BIN ABDULLOH BIN AQIL BIN YAHYA BIN AL’ALAWY (PONDOK BAMBU)
43. PANGERAN SYARIF HAMID AL-QODRI BIN AL-HABIB SULTON SYARIF ABDUL ROHMAN AL-QODRY BIN MAULANA SYARIF HUSEIN (KRAMAT ANGKE)
44. SYARIFAH AMINAH BINTI PANGERAN SYARIF HUSEIN AL-HABSYI (KRAMAT ANGKE)
45. AL-HABIB SHOLEH AL-HABSYI (KRAMAT ANGKE)
46. KOMPI NA SYEIKH (KRAMAT ANGKE)
47. SYEIKH JA’FAR (KRAMAT ANGKE)
48. SYEIKH LIONG (KRAMAT ANGKE)
49. SYARIFAH MARIAM (KRAMAT ANGKE)
50. PANGERAN TUBAGUS ANJANI (KRAMAT ANGKE)
51. AL-HABIB SAYYID ABU BAKAR BIN SAYYID ALWI BAHSAN JAMALULLAIL (KRAMAT MANGGA DUA)
52. AL-HABIB ALWI BIN AHMAD JAMALULLAIL (KRAMAT MANGGA DUA)
53. AL-HABIB ABU BAKAR BIN ABDULLOH AL-AYDRUS (KRAMAT WACUNG)
54. SYARIFAH HUDZAIFAH BINTI ABDULLOH AL-AYDRUS (KRAMAT WACUNG)
55. PANGERAN WIJAYA KUSUMA (KRAMAT KEDOYA)
56. PANGERAN PAPAK ADIPATI TANJUNG JAYA (KRAMAT PEDONGKELAN)
57. AL-HABIB UMAR BIN HAMID BIN HASAN BIN ABDULLOH BIN AHMAD BIIN HASAN BIN SHOHIBUL ROTIB AL-HADDAD (KRAMAT PESING)
58. AL-HABIB ABBAS BIN ABU BAKAR BIN HUSEIN BIN AHMAD BIN ABDULLOH AL-AYDRUS (KRAMAT RAYA BOKOR)
59. AL-HABIB UTSMAN BIN MUHAMMAD BIN AHMAD BANAHSAN (KRAMAT ABIDIN)
60. AL-HABIB UMAR BIN UTSMAN BIN MUHAMMAD BANAHSAN (KRAMAT ABIDIN)
61. SHOHIBUL KAROMAH WAL BAROKAH AL-HABIB ABU BAKAR BIN ALWI BIN ABDULLOH AL-AYDRUS (KRAMAT ABIDIN PONDOK BAMBU)
62. SAYYID HABIB HUSEIN BIN UMAR BIN ‘ALI BIN SYAHAB (KRAMAT PECENONGAN)
63. AL-HABIB ALI BIN SHOLEH ABDURROHMAN AL-QODRY RADEN ATENG KERTADRIA (KRAMAT JAYAKARTA)
64. AL-HABABAH SYARIFAH FATHIMAH (KRAMAT SAWAH BESAR)
65. AL-HABIB HASAN BIN ‘IDRUS AL-BAHAR (KRAMAT SALEMBA)
66. AL-HABIB ABDUL QODIR BIN MUHAMMAD AL-BAHAR (KRAMAT SALEMBA)
67. AL-HABIB UMAR BIN ‘IDRUS AL-BAHAR (KRAMAT SALEMBA)
68. AL-HABIB ‘ALI BIN ABDURROHMAN AL-HABSYI (KWITANG)
69. AL-HABIB MUHAMMAD BIN ‘ALI BIN ABDURROHMAN AL-HABSYI KWITANG)
70. SYARIFAH NI’MAH BINTI ZEIN BIN AHMAD BIN SYAHAB (KWITANG)
71. AL-HABIB ABDURROHMAN BIN ABDULLOH AL-HABSYI (KRAMAT CIKINI)
72. SYARIFAH AL-HABSYI (KRAMAT CIKINI)
73. SYEIKH UPU DAENG H.ARIF UDIN (KRAMAT SENEN, WAFAT TAHUN 17)
74. AL-HABIB ZEIN BIN MUHAMMAD AL-HADDAD (KRAMAT PRIUK)
75. AL-HABIB AHMAD ZEIN AL-HADDAD (KRAMAT PRIUK)
76. AL-HABIB ‘ALI BIN ZEIN AL-HADDAD (KRAMAT PRIUK)
77. AL-HABIB UMAR BIN JA’FAR AL-HADDAD (PASAR MINGGU)
78. AL-HABIB ‘ALI BIN HASAN BIN UMAR AL-HADDAD (PASAR MINGGU)
79. AL-HABIB THOHA BIN JA’FAR AL-HADDAD (PASAR MINGGU)
80. AL-HABIB ABDURROHMAN BIN HASAN BIN SHAHAB (KALIBATA)
81. AL-HABIB ABDULLOH BIN JA’FAR BIN THOHA AL-HADDAD (KALIBATA)
82. AL-HABIB AHMAD BIN ‘ALWI BIN AHMAD BIN HASAN BIN ‘ABDULLOH AL-HADDAD / HABIB KUNCUNG (KALIBATA)
83. AL-HABIB ABDULLOH BIN JA’FAR BIN THOHA AL-HADDAD (KALIBATA)
84. AL-HABIB ABDULLOH BIN HUSEIN ASSAMI AL-ATHOS
85. AL-HABIB THOHA BIN MUHAMMAD BIN ABDULLOH BIN JA’FAR BIN THOHA BIN ABDULLOH BIN THOHA BIN UMAR BIN ALWI AL-HADDAD (KALIBATA)
86. SYEIKH RAHMATULLOH (KEBAYORAN)
87. DATUK BIRU (KRAMAT RAWA BANGKE)
88. AL-HABIB ZEIN BIN ABDULLOH AL-AYDRUS (AL-HAWI)
89. AL-HABIB SALIM BIN JINDAN (AL-HAWI)
90. WAN SYARIFAH FATHIMAH BINTI ABDULLOH AL’AIDID (KRAMAT PETOGOGAN)
91. AL-HABIB ‘ALI BIN AHMAD BIN ZEIN AL’AIDID (KRAMAT PULAU PANGGANG, KECAMATAN PULAU SERIBU, JAKARTA / KRAMAT TIMUR)
92. AL-HABIB HUSEIN BIN AQIL BIN AHMAD BIN SOFI ASSEGAF (KRAMAT BARAT PULAU PANGGANG)
93. AL-HABIB MUSTOFA BIN IDRUS BIN HASAN AL-BAHAR (KRAMAT LUBANG BUAYA)
94. SAYYID AHMAD BIN HAMZAH AL-ATHOS (KRAMAT PEKOJAN)
95. AL-HABIB ZEIN BIN MUHAMMAD AL-HADDAD (KRAMAT PRIUK)
96. AL-HABIB AHMAD ZEIN AL-HADDAD (KRAMAT PRIUK)
97. AL-HABIB ‘ALI BIN ZEIN ALHADDAD (KRAMAT PRIUK)
98. AL-HABIB MUHAMMAD BIN ABDUL QODIR AL-HADDAD (KRAMAT PRIUK)
99. AL-HABIB SALIM BIN THOHA JA’FAR AL-HADDAD (PASAR MINGGU)
100. AL-HABIB UMAR BIN JA’FAR AL-HADDAD (PASAR MINGGU)
101. AL-HABIB ‘ALI BIN HASAN BIN UMAR AL-HADDAD (PASAR MINGGU)
102. RA KANJENG ADIPATI DALAM NEGERI 1 SOSRODININGRAT (KRAMAT JAYAKARTA)
103. RA AJENG SULARTI (KRAMAT JAYAKARTA)
104. SYEIKH MANSYUR (KRAMAT LIO-PASAR PAGI)
105. HABIB ALWI BIN HUSEIN AL-HABSYI (KRAMAT PEDAENGAN-CAKUNG)
106. HABIB MUHAMMAD BIN ALWI AL-HABSYI (KRAMAT PEDAENGAN-CAKUNG)
107. PANGERAN USMAN (KRAMAT PEDAENGAN-CAKUNG)
108. AL-HABIB SALIM BIN ABDULLOH AL-QODRY / PANGERAN SALIM (KRAMAT PULO GEBANG
Syeikh ABu Nashr as-Sarraj-Rahimahullah berkata : Saya mendengar Ahmad
bin Ali al Wajihi berkata: Saya mendengar Abu Muhammad al Jariri -
rahimahullah - berkata, “Duduk untuk bermudzakaroh (belajar ilmu) akan
menutup pintu manfaat, sedangkan duduk untuk saling memberi nasihat akan
membuka pintu manfaat.”
Abu Yazid - rahimahullah - berkata, “Barangsiapa tidak bisa mengambil
manfaat dari diamnya orang yang berbicara maka ia tidak akan bisa
mengambil manfaat dari pembicaraannya.”
Al Junaid - rahimahullah - berkata, “Mereka (kaum Sufi) sangat tidak suka bila lisan melampaui keyakinan hati.”
Disebutkan bahwa Abu Muhammad al Jariri berkata, “Keadilan dan adab
ialah hendaknya orang yang mulia tidak membicarakan ilmu ini (tasawuf
sehingga Ia ditanya.” Abu Ja’far al-Faraji, sahabat karib Abu Turab
an-Nakhsyabi - rahimahullah - berkata, “Aku tinggal diam selama dua
puluh tahun tidak bertanya suatu persoalan kecuali bila aku mantapkan
terlebih dahulu sebelum aku menyatakan dengan lisanku.”
Abu Hafsh - rahimahullah - berkata, “Tidak dibenarkan berbicara kecuali
bagi seseorang yang apabila ia diam malah mendapatkan siksa.”
la juga berkata, ‘Ada seseorang datang pada Abu Abdillah Ahmad bin Yahya
al Jalla’ - rahimahullah - yang menanyakan tentang masalah tawakal.
Saat itu ada sekelompok orang (jamaah), maka ia tidak menjawabnya dan
masuk ke dalam kamarnya, kemudian la keluar lagi dengan membawa seikat
kain yang berisi empat dananiq (mata uang) yang diberikan kepada mereka.
Kemudian la berkata kepada mereka, `Dengan uang ini silakan kalian
membeli sesuatu.’ Kemudian ia baru mau menjawab apa yang ditanyakan
orang tersebut. Kemudian ia ditanya, `Mengapa ia melakukan hal itu?’
Maka la menjawab, Aku malu pada Allah untuk menjawab masalah tawakal
sedangkan aku masih memiliki empat dananiq’.”
Dikisahkan dari Abu Abdillah al-Hushri yang berkata: Saya pernah berkata
kepada Ibnu Yazdaniar ketika la sedang mencari ilmu, `Aku tidak melihat
apa yang ada pada semua makhluk kecuali kabar tentang gaib dan sangat
mungkin Anda adalah yang gaib.” Kemudian la berkata, “Coba ulangi apa
yang Anda katakan.” Lalu saya menjawabnya, “Saya tidak akan
mengulanginya.”
Ibrahim al-Khawwash - rahimahullah - berkata, “Ilmu ini tidak layak
kecuali bagi mereka yang mampu mengungkapkan wajd (suka cita ruhani)nya
dan berbicara tentang perbuatannya.”
Abu Ja’far ash-Shaidalani - rahimahullah - berkata: Ada seseorang
bertanya suatu masalah kepada Abu Said al-Kharraz - rahimahullah. la
hanya memberi isyarat tentang masalah yang ditanyakan. Abu Said kemudian
berkata, “Kami telah mencapai kedudukan anda dan sepakat dengan apa
yang Anda inginkan tanpa harus dengan isyarat dari Anda. Sebab orang
yang banyak memberi isyarat pada Allah adalah orang yang paling jauh
dari¬Nya.”
Al-Junaid - rahimahullah - berkata, “Andaikan aku tahu, bahwa di kolong
langit ini ada ilmu yang lebih mulia daripada ilmu kami ini (tasawuf),
niscaya aku akan berusaha mencarinya dan menemui orang yang memilikinya,
sehingga aku mendengar dari mereka tentang ilmu tersebut. Dan andaikan
aku tahu, bahwa ada waktu yang lebih mulia daripada waktu kami ini
ketika berkumpul dengan para sahabat dan guru kami, dan ketika kami
menanyakan berbagai masalah dan mencari ilmu ini, tentu aku akan bangkit
mencarinya.”
Al Junaid - rahimahullah - berkata, “Bagiku tidak ada kelompok manusia
dan kaum yang berkumpul untuk mencari ilmu yang lebih mulia dari
kelompok ini.
Tidak pula ada ilmu yang lebih mulia dari ilmu mereka. Andaikan tidak
demikian, maka aku tak mungkin duduk dan berteman dengan mereka. Namun
karena mereka dalam pandanganku adalah seperti apa yang aku ucapkan maka
aku lakukan semua itu.”
Abu Ali ar-Rudzabari - rahimahullah - berkata, “Ilmu kami ini adalah
ilmu isyarat. Apabila menjadi suatu ungkapan maka akan ringan bobotnya.”
Abu Said al-Kharraz - rahimahullah - berkata, “Aku diberi tahu tentang
Abu Hatim al-Aththar dan keutamaannya, dimana ia tinggal di Basrah.
Kemudian dari Mesir, aku berangkat menuju Basrah. Sampai di sana
kemudian aku masuk masjid Jami` Basrah. Ternyata la duduk di masjid ini,
yang di sekelilingnya banyak orang dari sahabat-sahabatnya. la
berbicara kepada mereka tentang ilmu. Pertama kali yang aku dengar dari
pembicaraannya setelah la melihatku ialah, Aku duduk hanya untuk
seseorang. Lalu di mana seseorang tersebut? Dan siapa untukku dengan
seseorang tersebut? Kemudian la memberi isyarat padaku, `Orang tersebut
adalah Anda.’ Kemudian la berkata, `Menampakkan apa yang menjadikan
mereka ahli, membantu mereka apa yang diwajibkan kepada mereka,
menjadikan gaib apa yang dihadirkan pada mereka. . Maka hanya untuk-Nya
mereka berbuat, dari-Nya dan kepada-Nya mereka kembali’.”
Dikisahkan dari al Junaid - rahimahullah - yang mengatakan, “Andaikan
ilmu kami ini dibuang ke tempat sampah, maka setiap orang hanya akan
mengambil sesuai dengan ukurannya.”
Dikisahkan dari asy-Syibli, pada suatu hari la pernah berkata kepada
anggota majelisnya, “Kalian adalah leontin dari kalung, dimana
mimbar-mimbar dari cahaya dipasang untuk kalian dan para malaikat merasa
bahagia dengan kalian.” Kemudian ada seseorang bertanya kepadanya, “Apa
yang menjadikan para malaikat merasa bahagia?” la menjawab, “Karena
mereka berbicara tentang ilmu ini (tasawuf).”
Saya mendengar Ja’far al-Khuldi berkata: Saya mendengar al-Junaid berkata:
Sari as-Saqathi - rahimahullah - pernah berkata, “Sebagaimana yang saya
dengar, bahwa ada sekelompok orang di masjid Jami` yang duduk di
sekeliling Anda.”
Saya jawab, “Ya, benar! Mereka adalah saudara-saudara kami, dimana kami saling
ber-mudzakarah (belajar) ilmu. Masing-masing di antara kami saling
mengambil manfaat antara yang satu dengan yang lain.” Kemudian ia
berkata, “Alangkah jauhnya wahai Abu al-Qasim (nama panggilan al
Junaid), saya sekarang telah menjadi tempat bagi para
penganggur.”[pagebreak]
Dikisahkan dari al Junaid - rahitnahullah - yang mengatakan, “Jika Sari
as-Saqathi - rahimahullah - ingin mengajariku sesuatu maka la menanyakan
suatu masalah. Suatu hari la pernah bertanya, `Wahai anak muda, apa
syukur itu?’ Maka aku menjawabnya, `Syukur ialah Anda tidak bermaksiat
kepada Allah atas segala nikmat yang diberikan kepada Anda.’ Akhirnya ia
menganggap baik atas jawabanku. la memintaku untuk mengulang jawabanku
tentang syukur sembari berkata, `Bagaimana jawabanmu tentang syukur?
Coba ulangi jawabanmu!’ Aku kemudian mengulanginya.”
Syekh Abu Nashr as-Sarraj berkata: Aku dapatkan kisah ini lewat tulisan Abu Ali ar-Rudzabari dari al Junaid.
Diceritakan dari Sahl bin Abdullah - rahimahullah - bahwa ia pernah
ditanya tentang masalah-masalah ilmu (tasawuf). Namun la tidak mau
menjawabnya. Setelah beberapa waktu, ia berbicara tentang ilmu tersebut
dan tampak sangat menguasai dengan balk. Kemudian ia ditanya tentang
alasan, mengapa waktu itu la tidak mau berbicara tentang ilmu tersebut.
Lalu la menjawab, “Pada saat itu Dzun-Nun masih hidup, sehingga aku
sangat tidak suka bicara tentang ilmu ini (tasawuf) ketika la masih
hidup. Karena aku sangat menghormatinya.”
Abu Sulaiman ad-Darani - rahimahullah - berkata, “Andaikan di Mekkah ini
aku tahu ada seseorang yang bisa memberiku ilmu ma’rifat sekalipun
hanya satu kata, niscaya aku akan mendatanginya dengan berjalan kaki,
sekalipun jarakyang harus ditempuh seribu farsah, sehingga aku bisa
medengar langsung darinya.”
Abu Bakar az-Zaqqaq berkata, ‘Aku mendengar satu kalimat dari al Junaid
tentang fana’ sejak empat puluh tahun yang lalu, dimana kalimat tersebut
selalu membangkitkanku, sedangkan aku setelah itu dalam ketidaktahuan.”
Saya mendengar ad-Duqqi berkata: Saya mendengar kisah ini dari az-Zaqqaq.
Saya mendengar ad-Duqqi berkata: Dikatakan kepada Abu Abdillah al Jalla’
- rahimahullah, “Mengapa ayah Anda disebut dengan al Jalla’?” la
menjawab, “Bukan karena kata al Jalla’ ini mengandung arti pembersih
karat besi, akan tetapi jika la berbicara kepada hati nurani akan
memperlihatkan karat bekas dosa-dosa yang dilakukan.”
Al-Harits al-Muhasibi - rahimahullah - berkata, “Sesuatu yang paling
mulia di dunia ini adalah orang alim yang mengamal¬kan ilmunya dan orang
arif yang berbicara tentang hakikatnya.”
Saya mendengar Ibnu ‘Ulwan berkata, “Jika ada seorang ber¬tanya kepada
al Junaid tentang suatu masalah, sedangkan la tidak termasuk dalam
kondisi spiritual dari masalah yang ditanyakannya, maka la akan berkata:
‘Tidak ada daya upaya dan kekuatan apa pun kecuali dengan Allah.’
Dan jika orang itu mengulangi lagi pertanyaannya maka ia akan menjawabnya:
’Cukuplah Allah penolong kami dan Dialah sebaik-baik Dzat Yang menjadi Wakil’.” (Q.s. Ali Imran: 173).
Dikisahkan bahwa Abu Amr az-Zujajii - rahimahullah - berkata, “Jika Anda
sedang duduk mendengar seorang syekh berbicara tentang suatu ilmu,
sementara Anda mau kencing dan hampir tidak bisa ditahan, maka andaikan
Anda kencing di tempat Anda duduk akan lebih balk daripada Anda bangkit
dari tempat duduk Anda meninggalkan majelis. Sebab kencing masih bisa
dicuci dengan air sedangkan apa yang terlewatkan dari ilmu yang ia
ajarkan tak mungkin Anda memperoleh kembali untuk selamanya.”
Al-Junaid - rahimahullah - berkata: Saya pernah berkata kepada Ibnu
al-Kurraini - rahimahullah, “Jika ada seseorang yang berbicara tentang
suatu ilmu yang la sendiri tidak mampu mengamalkannya. Maka yang lebih
Anda sukai, kalau kondisinya demi¬kian diam ataukah berbicara?” Kemudian
la menundukkan kepala, dan kemudian mengangkatnya kembali sembari
berkata, “Jika Anda ahlinya maka bicaralah!”
Asy-Syibli - rahimahullah - berkata, “Bagaimana pendapat Anda tentang
suatu ilmu, yaitu ilmu para ulama yang menimbulkan dugaan?”
Sementara itu Sari as-Saqathi - rahimahullah - berkata, “Barangsiapa
menghiasi dirinya dengan ilmu, maka kebaikannya adalah kejelekan.”
Syekh Abu Nashr as-Sarraj - rahimahullah - berkata: Dari masing-masing
kisah ini memiliki keterangan dan kesimpulan yang cukup jelas bagi
mereka yang sanggup memahaminya.
Hakikat Nur Muhammad adalah Ar-Ruuhul A’dzom, dengan dimensi lain
disebut sebagai Akal Pertama dan Hakikat Muhammadiyah atau An-Nafs
al-Wahidah (Jiwa yang tunggal), yaitu yang pertama kali diciptakan oleh
Allah swt. Atau disebut sebagai Khaliqah Akbar (ciptaan agung), disebut
pula dengan Al-Jauhar an-Nurany (Inti cahaya). Jika dilihat dari segi
inti segalanya disebut dengan jiwa yang tunggal, dan jika dipandang dari
segi kecahayaan disebut sebagai Akal Pertama. Dalam fenomena semestanya
memiliki sejumlah nama dan symbol, seperti Akal pertama, Al-Qolam yang
luhur, An-Nuur, Jiwa yang tunggal dan Lauhul Mahfudz.
Syeikh Abdul Qadir al-Jilany mengutip hadits qudsy, ketika Allah
menciptakan Ruh Muhammad dari Cahaya KemahaindahanNya, “Aku jadikan
Muhammad dari Cahaya WajahKu.”
Sebagaimana disabdakan oleh Nabi saw, “Awal ciptaan Allah adalah ruhku.
Awal yang dicipta oleh Allah adalah cahayaku, dan awal yang dicipta
Allah adalah Al-Qolam, dan awal yang dicipta Allah adalah Akal.” (Hr.
Abu Dawud).
Yang dimaksud dari keseluruhan (ruh, cahaya, qolam dan akal) adalah
Hakikah Muhammadiyah. Disebut “cahaya” karena awal ciptaan itu bersih
dari kegelapan Jalaliyah, sebagaimana firmanNya: “Telah dating padamu
Nur dan Kitab dari Allah.” (al-Maidah 15)
Lalu disebut sebagai “akal” karena posisinya mengenal semesta global.
Dan sebut sebagai al-Qolam (pena), karena sebagai faktor transmitor
pengetahuan, seperti pena yang memindahkan pengetahuan dari huruf-huruf.
Ruh Muhammadi adalah adalah simpul dari semesta ciptaanNya, sedangkan
awal dan asal semesta ini, sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Aku ini
dari Allah dan semua orang beriman dari diriku.”
Dari rasulullah saw, itulah semua ruh diciptakan di alam Lahut dalam
bentuk hakikat paling sempurna. Dan Alam Lahut itu disebut dengan
Al-Qathanul Ashly (Negeri primordial). Setelah berlangsung selama 4000
tahun, Allah swt menciptakan Arasy dari Cahaya Mata Muhammad saw, dan
seluruh semesta ini berasal darinya. Kemudian dari Alam Lahut tadi
diturunkan secara bertahap hingga di alam paling rendah yakni alam
jasad, seperti dalam firmanNya, “Kemudian Kami turunkan secara bertahap
sampai alam paling bawah. “ (At-Tiin: 5)
Pertama kali diturunkan dari Alam Lahut ke Alam Jabarut, dan Allah
memberi pakaian dengan Nur Jabarut dengan pakaian dari dua tempat mulia
yang disebut dengan Ar-Ruh as-Sulthany.
Dengan pakaian tersebut Allah menurunkan lagi ke Alam Malakut, lalu
diberi pakaian dengan Cahaya Malakut yang dinamakan Ar-Ruh ar-Ruwany.
Kemudian Allah menurunkan ke Alam Mulki dan diberi pakaian dengan Cahaya
Al-Mulki, yang disebut dengan Ar-Ruh al-Jismany (ruh jasad), baru
kemudian Allah menciptakan berbagai jasad, sebagaimana firmanNya :
“Darinya Kami ciptakan….” (Thaha 55), lalu Allah swt, memerintahkan
ruh-ruh tersebut masuk dalam jasad, maka masuklah ruh itu denganperintah
Allah Ta’ala, seperti difirmankan, “Dan Aku meniup di dalamknya dari
RuhKu…”.
Ketika ruh-ruh tersebut berkait dengan jasad fisik, ia lupa pada
janjinya kepada Allah di Hari Perjanjian (yaumul miitsaaq), di saat
Allah swt berfirman, “Bukankah Aku ini Tuhanmu….” (Al-A’raf 172), hingga
kealpaannya membuatnya ia tidak mau kembali ke Negeri Asal (Al-Wathanul
Asly).
Kemudian Allah swt, melimpahkan rahmatNya, lalu diturunkanlah Kitab
Samawi untuk mengingatkan pada mereka yang alpa atas Negeri Sejatinya,
sebagaimana firmanNya, “Ingatkan mereka akan Hari-hari Allah…”(Ibrahim
14), yakni hari-hari pertemuan dengan Allah swt dengan para arwah.
Para Nabi saw, semuanya dating ke dunia, dan pergi menuju akhirat
disebabkan oleh peringatan itu. Sedikit jumlahnya yang sadar, kembali
dan rindu atas Negeri Sejatinya. Sampai akhirnya Kenabian melimpah pada
Ruh Agung al-Muhammady, sebagai pamungkas para Nabi (semoga sholawat
dan salam paling utama dan kehormatan paling sempurna terlimpah padanya
dan kepada para Nabi dan Rasul lainnya).
Allah mengutus mereka untuk menyadarkan mereka yang alpa, darui tidur
kealpaannya menuju kesadaran jiwanya. Mereka diutus untuk mengajak
manusia bertemu dengan Kemahaindahan Allah azza wa-Jalla. “Katakan,
inilah jalanku, aku mengajakmu kepada Allah dengan matahati, aku dan
orang yang mengikutiku…(Yusuf: 108).
Matahati itulah disebut sebagai “mata ruh”, dibuka di Maqom Fuad bagi
para Auliya’. Dan itu tyidak bisa diraih menurut pengetahuan eksoterik
(lahiriyah) namun dengan Ilmu esoteris (bathiniyah) Laduniyah,
sebagaimana firmanNya: “Dan Kami ajarkan padanya ilmu dari
SisiKu…”(Al-Kahfi 65).
Maka sudah jadi kewajiban bagi manusia untuk mendapatkan matahati itu
dari Ahli Batin dengan cara mengambil Talqin dari seorang Wali yang
Mursyid, yang diambil dari Alam Lahut.
Nah, kita renungkan sendiri proses-proses luhur nan agung seperti itu.
Dan kita harus segera bertaubat meraih ampunan Allah serta bersegera
memasuki thariqah, agar kita kembali kepada Tuhan kita.
Sedangkan Lathifah Robbaniyah adalah hakikat-hakikat kelembutan Ilahi
yang dilimpahkan dalam batin manusia, melalui NurNya, dan berujung
menjadi aktivitas Ilahiyah dalam akhlak mulia manusia. Pertama kali
melimpah pada Sirr (Rahasia Batin) kemudian memancar pada Qalbu, dan
menggerakkan Ubudiyah sang hamba.
Apa yang merupakan tanda pertama dari seorang wali? Jika seseorang
adalah wali, dia tidak berdusta. Tanyakan dirimu sendiri, jika kalian
benar-benar bisa menyembuhkan orang maka kalian harus berada pada
tingkatan seorang “teman Allah”. 5 Tingkat pertama seorang wali adalah
untuk mendengar pujian-pujian para malaikat kepada Allah SWT. “Ketika
dia mendengar puji-pujian para malaikat.” Saat seseorang bisa melakukan
itu, maka kita menerima kewalian dan kekuatan untuk penyembuhan adalah
benar adanya.
Jangan menipu dirimu sendiri. Jika kalian menipu diri kalian sendiri,
kalian menipu Allah SWT. Allah berfirman dalam kitab suci Al Qur’an,
“Dia bersamamu dimanapun kamu berada.”6 Oleh karenanya, Dia tahu jika
kalian menipu atau tidak. Sekarang tanyakan diri kalian – apakah kalian
mendengarkan puji-pujian para malaikat? Tidak? Lalu, bagaimana mungkin
kalian mengaku bisa menyembuhkan? Oleh karena itu pastikanlah
pengetahuan seperti apa yang kalian miliki – apakah pengetahuan ini
asli?
Menghampiri Syaikh dengan “Sepotong Kain”
Suatu ketika Grandsyaikh berkata dalam ceramahnya, “Terkadang seorang
murid akan datang menemuiku dengan membawa sepotong kain yang cantik –
dan bertanya, ‘Syaikh, kami akan membuat kain ini menjadi sebuah kemeja,
ini bagus kan?’ Tentu saja aku akan mengatakan, ‘Ya, ini bagus untuk
dibikin kemeja.’ Aku tidak bisa mengatakan kalau itu tidak bagus!
Kemudian mereka berlalu dan berkata, ‘Wah! Syaikh berkata kalau ini
bagus.’ Selesai. Kalian harus mempercayainya. Tetapi ada kesalahan –
sebelum kalian menjahitnya, kalian harus membawa kain itu pada saya dan
berkata, ‘Syaikh-ku, bagaimana aku harus menjahitnya? Bagaimana aku
melakukannya? Bagaimana aku memotongnya?’ Lalu aku akan memotong kain
itu, kemudian mereka menjahitnya. Maka inilah keputusanku. Jangan
datang, mempunyai segala sesuatu telah tersedia lalu bertanya padaku
‘Apakah ini bagus?’ Tentu saja aku akan mengatakan kalau itu bagus,
sekalipun itu jelek, karena kita tidak ingin mengecewakan seseorang.”
Tariqah/tarekat7 adalah diplomasi; mengajarkan padamu bagaimana menjadi
seorang diplomat. Tariqah sangat sensitif, sangat menyenangkan. Tariqah
tetap merupakan tingkatan tertinggi dari Shariah.8 Dan tingkatan
tertinggi adalah bersama dengan semua orang. Maka perhatikan perbuatanmu
untuk melihat apakah perbuatanmu itu benar.
Kalian bernafas 24,000 kali setiap harinya – setiap nafas adalah satu
perbuatan, apakah perbuatan itu baik atau jelek. Sudahkah kalian
menghisab dan memeriksa apa yang telah kalian lakukan sepanjang hari dan
malam? Tidak! Tidak ada satu orangpun yang melakukan itu!
Bagaimanapun juga, para wali melakukan itu. Setiap perbuatan yang mereka
lakukan, mereka memohon ampunan. Dalam setiap tarikan nafas mereka
berkata, “Ya Allah, ampuni saya.” 9 Mengapa mereka selalu memohon
ampunan Allah SWT?
Para wali berkeinginan untuk selalu bertobat dari perbuatan yang
tersembunyi, yang mereka lakukan tanpa mereka sadari. Itu sebabnya Nabi
SAW berkata, “Yang paling aku takuti dari umatku adalah sirik yang
tersembunyi.” Ini berarti setiap kali kalian bernafas ada sirik
tersembunyi didalamnya,10 jika kalian tidak cukup berhati-hati untuk
menghindarinya.
Sekarang kita mendengar hal ini semua, namun ketika kita melalui pintu itu maka kita akan melupakan semuanya.
Wa min Allah at Tawfiq
Nama asli Abu Nawas adalah Abu Ali al-Hasan bin Hani al-Hakami. Dia
dilahirkan pada 145 H (747 M ) di kota Ahvaz di negeri Persia (Iran
sekarang), dengan darah dari ayah Arab dan ibu Persia mengalir di
tubuhnya. Ayahnya, Hani al-Hakam, merupakan anggota legiun militer
Marwan II. Sementara ibunya bernama Jalban, wanita Persia yang bekerja
sebagai pencuci kain wol. Sejak kecil ia sudah yatim. Sang ibu kemudian
membawanya ke Bashrah, Irak. Di kota inilah Abu Nawas belajar berbagai
ilmu pengetahuan. Masa mudanya penuh perilaku kontroversial yang membuat
Abu Nawas tampil sebagai tokoh yang unik dalam khazanah sastra Arab
Islam. Meski begitu, sajak-sajaknya juga sarat dengan nilai sprirtual,
di samping cita rasa kemanusiaan dan keadilan.
Abu Nawas belajar sastra Arab kepada Abu Zaid al-Anshari dan Abu
Ubaidah. Ia juga belajar Al-Quran kepada Ya’qub al-Hadrami. Sementara
dalam Ilmu Hadis, ia belajar kepada Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin
Sulaiman, Yahya bin Said al-Qattan, dan Azhar bin Sa’ad as-Samman.
Pertemuannya dengan penyair dari Kufah, Walibah bin Habab al-Asadi,
telah memperhalus gaya bahasanya dan membawanya ke puncak kesusastraan
Arab.
Walibah sangat tertarik pada bakat Abu Nawas yang kemudian membawanya
kembali ke Ahwaz, lalu ke Kufah. Di Kufah bakat Abu Nawas digembleng.
Ahmar menyuruh Abu Nawas berdiam di pedalaman, hidup bersama orang-orang
Arab Badui untuk memperdalam dan memperhalus bahasa Arab. Kemudian ia
pindah ke Baghdad. Di pusat peradaban Dinasti Abbasyiah inilah ia
berkumpul dengan para penyair. Berkat kehebatannya menulis puisi, Abu
Nawas dapat berkenalan dengan para bangsawan.
Namun karena kedekatannya dengan para bangsawan inilah puisi-puisinya
pada masa itu berubah, yakni cenderung memuja dan menjilat penguasa.
Dalam Al-Wasith fil Adabil ‘Arabi wa Tarikhihi, Abu Nawas digambarkan
sebagai penyair multivisi, penuh canda, berlidah tajam, pengkhayal
ulung, dan tokoh terkemuka sastrawan angkatan baru. Namun sayang,
karya-karya ilmiahnya justru jarang dikenal di dunia intelektual. Ia
hanya dipandang sebagai orang yang suka bertingkah lucu dan tidak lazim.
Kepandaiannya menulis puisi menarik perhatian Khalifah Harun al-Rasyid.
Melalui musikus istana, Ishaq al-Wawsuli, Abu Nawas dipanggil untuk
menjadi penyair istana (sya’irul bilad). Sikapnya yang jenaka menjadikan
perjalanan hidupnya benar-benar penuh warna. Kegemarannya bermain
kata-kata dengan selera humor yang tinggi seakan menjadi legenda
tersendiri dalam khazanah peradaban dunia.
Kedekatannya dengan kekuasaan juga pernah menjerumuskannya ke dalam
penjara. Pasalnya, suatu ketika Abu Nawas membaca puisi Kafilah Bani
Mudhar yang dianggap menyinggung Khalifah. Tentu saja Khalifah murka,
lantas memenjarakannya. Setelah bebas, ia berpaling dari Khalifah dan
mengabdi kepada Perdana Menteri Barmak. Ia meninggalkan Baghdad setelah
keluarga Barmak jatuh pada tahun 803 M. Setelah itu ia pergi ke Mesir
dan menggubah puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid
al-Ajami.
Tetapi, ia kembali lagi ke Baghdad setelah Harun al-Rasyid meninggal dan
digantikan oleh Al-Amin. Sejak mendekam di penjara, syair-syair Abu
Nawas berubah, menjadi religius. Jika sebelumnya ia sangat pongah dengan
kehidupan duniawi yang penuh glamor dan hura-hura, kini ia lebih pasrah
kepada kekuasaan Allah.
Memang, pencapaiannya dalam menulis puisi diilhami kegemarannya
melakukan maksiat. Tetapi, justru di jalan gelap itulah, Abu Nawas
menemukan nilai-nilai ketuhanan. Sajak-sajak tobatnya bisa ditafisrkan
sebagai jalan panjang menuju Tuhan. Meski dekat dengan Sultan Harun
al-Rasyid, Abu Nawas tak selamanya hidup dalam kegemerlapan duniawi. Ia
pernah hidup dalam kegelapan – tetapi yang justru membawa keberkahan
tersendiri.
Seorang sahabatnya, Abu Hifan bin Yusuf bin Dayah, memberi kesaksian,
akhir hayat Abu Nawas sangat diwarnai dengan kegiatan ibadah. Beberapa
sajaknya menguatkan hal itu. Salah satu bait puisinya yang sangat indah
merupakan ungkapan rasa sesal yang amat dalam akan masa lalunya.
Mengenai tahun meningalnya, banyak versi yang saling berbeda. Ada yang
menyebutkan tahun 190 H/806 M, ada pula yang 195H/810 M, atau 196 H/811
M. Sementara yang lain tahun 198 H/813 M dan tahun 199 H/814 M. Konon
Abu Nawas meninggal karena dianiaya oleh seseorang yang disuruh oleh
keluarga Nawbakhti – yang menaruh dendam kepadanya. Ia dimakamkan di
Syunizi di jantung Kota Baghdad.
Berikut salah satu kisah Jenaka Abu Nawas. Demi Tata Krama Kepada Raja
Konon di Zaman Raja Harun Al Rasyid dulu tidak ada yang namanya WC, yang
ada cuma sungai atau kali untuk buang hajat. Suatu ketika sang raja
merasa perutnya sedang sakit, dan sudah tidak bisa lagi untuk diajak
kompromi. Seketika itu juga raja meminta para pengawal untuk
mendampinginya ke sungai demi menuntaskan hajatnya.
Kebetulan sungai disitu mengalir ke arah selatan. Dan Sudah masyhur di
kalangan masyarakat , jika sang raja sedang buag hajat di sungai, maka
rakyat dilarang keras berak di sebelah utaranya raja, karena di
khawatirkan kotoran tersebut akan mengalir ke arah selatan dan mengenai
badan sang raja. Dan kalau ada yang melanggar, maka akan mendapatkan
hukuman berat dari sang raja.
Namun kali ini, peraturan tersebut tidak di indahkan oleh sang tokoh
kocak Abu Nawas, Abu Nawas dengan santainya juga ikut berak di sebelah
utara agak jauh dari posisi sang raja, sehingga sang raja tidak
melihatnya. Disaat asyik buang hajat, tiba – tiba saja ada suatu benda
yang menyenggol pantat sang raja, tanpa berpikir panjang, benda tersebut
langsung dipegang dan dilihat oleh sang raja, alangkah terkejutnya,
ternyata benda tersebut adalah kotoran manusia.
kontan saja hal itu membuat sang raja naik pitam. seketika itu juga raja
menyuruh para pengawalnya untuk menelusuri sungai di sebelah utara,dan
menangkap orang yang berak . Benar saja, di sebelah utara agak jauh
dari posisi sang raja, terlihat sosok abu nawas sedang berak dengan
santainya. Saat itu juga para pengawal langsung menangkap dan membawanya
ke hadapan raja untuk di hukum.
Ketika di hadapkan pada raja, Abu Nawas memprotes pada raja kenapa dia di tangkap dan akan dihukum.
Raja pun menjawab : ”Apakah kamu tidak tahu wahai Abu Nawas, perbuatanmu
itu telah melecehkan privasiku, kamu telah menginjak – injak harga
diriku, kamu memang tidak punya tata krama !!! bentak sang raja. “Berani
– beraninya kamu berak di sebelah utaraku, sehingga kotoranmu mengenai
badanku, selama ini tidak pernah seorangpun dari rakyatku berani
melakukan perbuatan sepertimu” wahai Abu Nawas” Tambah sang raja dengan
nada sangat kesal. “Kini kamu harus menerima hukuman dariku”
“Maaf, tunggu sebentar wahai raja ” sela Abu nawas. “Ada apa? tanya
raja, “kali ini tidak ada lagi ampun bagimu Abu nawas” “Tunggu sebentar,
tolong beri saya kesempatan untuk menjelaskannya. “Saya melakukan itu
semua, karena saya sangat menghormati engkau wahai raja” mendegar hal
itu, raja harun Al Rasyid langsung sedikit tertegun dengan apa yang
disampaikan oleh abu nawas.
“Lho perbuatan seperti itu , kamu bilang malah untuk menghormati aku???”
tanya raja dengan ekspresi agak sedikit keheranan. “Ya benar raja ”
jawab abu nawas dengan tegasnya. Rajapun semakin keheranan dan penasaran
dengan abu nawas. “Baiklah kali ini aku kasih kamu kesempatan untuk
menjelaskan alasannya, jika alasanmu tidak masuk akal maka aku tidak
segan – segan untuk memperberat hukumanmu.”
“Baiklah raja, begini alasannya. Raja tahu, selama ini jika raja tengah
mengadakan perjalanan dengan rakyat atau bersama pengawal , tidak ada
satupun dari rakyat atau pengawal raja yang berani mendahului jalannya
raja, begitu juga dengan saya, ketika saya ikut rombongan raja , posisi
saya ketika berjalan tidak berani mendahului raja, itu saya lakuakan
karena saya menjaga tata krama dan sopan santun kepada raja”
“Ya bagus, lha terus apa hubungannya dengan perbuatanmu yang sekarang
ini??” tanya raja dengan nada semakin penasaran dengan akal cerdik abu
nawas. “Begini raja, saya menghormati engkau tidak setengah – setengah,
melainkan saya menghormati engkau dengan sepenuh hati . Ketika saya
buang hajat , saya memilih di sebelah utara raja, dan sama sekali , saya
tidak berani berak berada di sebelah selatan raja. Hal ini saya
lakukan karena saya kuatir, jika saya berak di sebelah selatan raja,
maka nanti kotoran saya berlaku tidak sopan kepada kotoran raja,
karena sudah berani berjalan mendahuli kotoran raja.
sehingga saya memilih berak di sebelah utara, agar supaya kotoran saya
tidak sampai mendahului kotoran raja. Ini semua saya lakuakan tidak
lain, hanya demi Tata krama saya kepada kotoran raja. Terus terang wahai
baginda, kotoran saya tidak berani mendahului kotoran raja, karena hal
itu merupakan perbuatan su’ul adab. Ketika raja berjalan, saya tidak
berani mendahului jalan raja, begitu juga ketika kotoran raja mengalir,
maka kotoran saya pun tidak berani mendahului kotoran raja.
Ini semua saya lakuakn karena Sopan santun dan tata krama saya yang
sepenuh hati kepada raja.” “Malah yang seharusnya diberi hukuman bukan
saya wahai raja , melainkan rakyat engkau yang tidak punya tata krama,
karena mereka berani berak di sebelah selatanmu, sehingga kotoran mereka
mendahului kotoranmu. “ Mendengar penjelasan Abu nawas, raja pun
tersennyum. dia tidak jadi marah dan menghukum Abu nawas, tetapi oleh
sang raja Abu Nawas malah diberi hadiah karena alasannya masuk akal.
Sejak kejadian itu, raja pun menginstruksikan kepada rakyatnya untuk
berak di sebelah utara sang raja, demi menjaga kesopanan kepada kotoran
sang raja.
Khalifah Harun al-Rasyid tertunduk malu
Syahdan, Khalifah Harun al-Rasyid marah besar kepada shahibnya yang
karib dan setia, yaitu Abu Nawas. Ia ingin menghukum mati Abu Nawas
setelah menerima laporan bahwa Abu Nawas mengeluarkan fatwa: “tidak mau
ruku’ dan sujud dalam shalat.” … Lebih-lebih lagi, Harun al-Rasyid
mendengar Abu Nawas berkata bahwa, … “khalifah yang suka fitnah!” …
Menurut pembantu-pembantunya, Abu Nawas telah layak dipancung karena
melanggar syariat Islam dengan menebar fitnah. Khalifah mulai
terpancing. Tapi untung, ada seorang pembatunya yang nampaknya
biasa-biasa saja (orangnya sangat besahaja) memberi saran, … hendaknya
Khalifah melakukan tabayun (konfirmasi) terlebih dahulu kepada Abu
Nawas. Tak berapa lama, … Abu Nawas pun dipanggil dan digeret menghadap
Khalifah, … Kini, ia menjadi pesakitan. “Hai Abu Nawas, benar kamu
berpendapat tidak ruku’ dan sujud dalam salat?” .. tanya Khalifah dengan
keras.
Abu Nawas menjawab dengan tenang, “Benar Saudaraku.”
Khalifah kembali bertanya dengan nada suara yang lebih tinggi, “Benar
kamu berkata kepada masyarakat bahwa aku, Harun al-Rasyid adalah seorang
khalifah yang suka fitnah?”
Abu Nawas menjawab, … “Benar Saudaraku.”
Khalifah berteriak dengan suara yang menggelegar, “Kamu memang pantas
dihukum mati, karena melanggar syariat Islam dan menerbarkan fitnah
tentang khalifah!”
Abu Nawas tersenyum seraya berkata, … “Saudaraku, memang aku tidak
menolak bahwa aku telah mengeluarkan dua pendapat tadi, tapi sepertinya,
kabar yang sampai padamu tidak lengkap, … kata-kataku diplintir, …
dijagal, … seolah-olah aku berkata salah.”
Khalifah berkata dengan ketus, … “Apa maksudmu, jangan membela diri, kau telah mengaku dan mengatakan kabar itu benar adanya!”
Abu Nawas beranjak dari duduknya, dan menjelaskan dengan tenang, …
“Saudaraku, aku memang berkata ruku’ dan sujud tidak perlu dalam shalat,
tapi dalam shalat apa? … Waktu itu, aku menjelaskan tata-cara shalat
jenazah yang memang tidak perlu ruku’ dan sujud.”
… “Bagaimana soal aku yang suka fitnah?”, … tanya Khalifah.
Abu Nawas menjawab dengan senyuman, … “Kala itu, aku sedang menjelaskan
tafsir ayat 28 surat al-Anfal, yang berbunyi “ketahuilah bahwa kekayaan
dan anak-anakmu hanyalah fitnah (ujian) bagimu.” Sebagai khalifah dan
seorang ayah, kamu sangat menyukai kekayaan dan anak-anakmu, berarti
kamu suka “fitnah” (ujian) itu.” … Mendengar penjelasan Abu Nawas yang
juga kritikan, Khalifah Harun al-Rasyid tertunduk malu, menyesal dan
sadar.
Rupa-rupanya kedekatan Abu Nawas dengan khalifah Harun al-Rasyid
menyulut rasa iri dan dengki di antara pembatu-pembatu khalifah lainnya.
Kedekatan hubungan ini nampak ketika Abu Nawas memanggil Khalifah Harun
al-Rasyid dengan kata “ya akhi” (saudaraku). Hubungan di antara mereka
bukan lagi seperti hubungan antara tuan dan hamba. Pembantu-pembantu
khalifah yang hasud ingin memisahkan hubungan akrab tersebut dengan
memutar-balikkan berita.
Perjalanan Abu Nawas dalam Pencarian Allah
Abu Nawas memang sudah terganggu akal fikirannya. Banyak persoalan
mengenai mengenal diri masih belum terjawab. Makin banyak dia berusaha
makin banyak lagi persoalan yang timbul. Sahabat handai sudah mula
berkata-kata yang Abu Nawas kurang siuman.
Namun begitu Abu Nawas tidak mengindahkan mereka. Yang penting dia akan
sampai ke matlamatnya yaitu mengenal diri dan Tuhannya. Kini Abu Nawas
terus berusaha dan cuba menempatkan dirinya sebagai fakir iaitu orang
yang berjalan mencari Tuhan.
Setiap hari dia berbaju putih dari kain yang agak kasar. Mengikat kepala
dengan serban putih, berseluar putih dan bahkan segala-galanya putih.
Kemana-mana dia berjalan kaki. Dia tahan tidak makan kerana dia
beranggapan apabila kurang makan maka dia kan dapat mengawal nafsunya.
Nafsu perlu dikawal untuk perjalanan bertemu Tuhan katanya. Setiap orang
yang dijumpainya diajaknya senyum. Tingkah lakunya tidak ubah seperti
cerita sufi di zaman Andalusia.
“Saya mesti bersih kerana Allah itu juga bersih. Saya juga mesti didalam
keadaan berwuduk, sebab Allah adalah Maha Suci. Dan Allah juga Maha
Pengasih, sebab itulah aku melihat orang dengan senyuman”.
Melihat tingkah lakunya yang demikian, maka orang-orang yang tidak
mengerti sudah menilai Abu Nawas sebagai seorang sufi. Atau
setidak-tidaknya orang berkata bahawa dia seorang ahli tasawwuf. Padahal
dia baru bertarekat berjalan sendiri tanpa dibimbing oleh seorang Guru
Mursyid atau Syeikh, apalagi tidak merujuk kepada Al Qur’an dan Hadith
sebagai pegangan utama. Sudah pasti dia akan sesat jalan. Bahkan
fikirannya terganggu seperti orang yang kurang siuman.
Didalam perjalanan ini, ada juga orang yang meminum air tongkat gurunya
dan bahkan ada yang menginap tujuh hari tujuh malam di makam guru. Itu
pun sudah dilakukan oleh Abu Nawas. Abu Nawas sudah semakin jauh dari
tujuan asalnya. Namun begitu, Abu Nawas masih tetap pada pendiriannya
bahawa menginap di makam para Wali sebagaimana orang lain melakukannya
mungkin ada kebenarannya.
Dengan tiba-tiba dia berteriak, “Memang gila !”. Orang-orang yang berada
disekelilingnya terperanjat dan melihat kepadanya. “Apanya yang gila
Abu ?” Tanya mereka yang sama-sama menginap di makam wali itu. “Cuba
kamu lihat ayat ini”, tunjuk Abu Nawas kepada mereka tentang sepotong
ayat dari tafsif Al Qur’an yang dipinjamnya dari penjaga kunci makam
tersebut.
“Dan sesungguhnya Kami menciptakan manusia dan kami mengetahui apa-apa
yang dibisikkan oleh hatinya. Dan kami lebih dekat kepadanya daripada
urat lehernya”. (Qaf, 50:16)
“Jadi kenapa ?”, tanya mereka yang hadir. “Memang kamu semua lembab
fikiran ! Kan ayat ini mengatakan bahawa pada setiap umat manusia ada
Allah. Pada saya ada Allah, pada kamu juga ada Allah. Bukankah Allah
menjadi Maha Banyak. Padahal semua guru mengatakan bahawa Allah itu Maha
Esa”.
Mereka semua tercengang dan terdiam. Didalam hati masing-masing mereka
berkata betul juga kata orang gila ini. Yang lain-lainnya ada juga
berpendapat tidak mungkin Allah itu banyak. Kalau Allah itu banyak, maka
Allah akan bergaduh sesama sendiri. Bukankah Nabi Ibrahim pernah
bertanya soalan yang sama kepada bapanya. Yang hadir semua berfikir dan
ada yang akan bertanya kepada gurunya nanti.
Bagi Abu Nawas bertambah lagi satu penyakit dalam dirinya. Pertanyaan
yang tersimpan dan tidak terjawab akan membuatkan seseorang semakin
terganggu saraf pemikirannya. Namun begitu yang semakin parah adalah
apabila orang awam sudah mula menghormati Abu Nawas sebagai seorang
Syeikh. Kata mereka memang orang-orang yang hampir dengan Tuhan tidak
boleh difahami dan selalu bersikap eksentrik.
Ketika Abu Nawas asyik termenung memikirkan persoalannya, tiba-tiba dari
sebelah kanan datang seseorang berbisik kepada Abu Nawas. “Bermohonlah
kepada Allah untuk mendapatkan kemudahan dan bimbingan. Mudah-mudahan
nanti seorang Guru akan datang untuk menjawab pertanyaan yang
merungsingkan kamu”. Kemudian orang itu terus menghilang.
Ambillah pelajaran yang betul dari perjalanan Abu Nawas ini. Gilaplah cermin diri kita untuk kembali kepada Tuhan.
Salah satu cerita menarik berkenaan dengan Abu Nawas adalah saat
menejelang sakaratulmautnya. Konon, sebelum mati ia minta keluarganya
mengkafaninya dengan kain bekas yang lusuh. Agar kelak jika Malaikat
Munkar dan Nakir datang ke kuburnya, Abu Nawas dapat menolak dan
mengatakan. "Tuhan, kedua malaikat itu tidak melihat kain kafan saya
yang sudah compang-camping dan lapuk ini. Itu artinya saya penghuni
kubur yang sudah lama."
Tentu ini hanyalah sebuah lelucon menurut pandangan orang yang awam
tetapi bukanlah sebuah lelucon bagi seorang Wali Allah, dan memang kita
selama ini hanya menyelami misteri kehidupan dan perjalanan tohoh sufi
yang penuh liku dan sarat hikmah ini dalam lelucon dan tawa
Salah satu Syairnya :
Syair Al 'Itiraf [Pengakuan] Abu Nawas
Ya Tuhanku, tidak pantas bagiku menjadi penghuni surga-Mu
Namun, aku tidak kuat dengan panasnya api neraka
Terimalah taubatku dan ampunilah dosa-dosaku
Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dosa-dosa besar
Dosaku seperti jumlah pasir
Maka terimalah pengakuan taubatku Wahai Pemilik Keagungan
Dan umurku berkurang setiap hari
Dan dosaku bertambah, bagaimana aku menanggungnya
Ya Tuhanku, hamba-Mu yang berdosa ini datang kepada-Mu
Mengakui dosa-dosaku dan telah memohon pada-Mu
Seandainya Engkau mengampuni
Memang Engkaulah Pemilik Ampunan
Dan seandainya Engkau menolak taubatku
Kepada siapa lagi aku memohon ampunan selain hanya kepada-MU
Yakni, ia merasa menyesal sekali atas perbuatannya yang sia-sia. Salat
lima waktu tak pernah dihiraukan. Dan hanya kepada Allah, Yang Maha
Tinggi ia berdoa mohon pengampunan, seperti yang telah Allah berikan
kepada Nabi Yunus.
Keyakinan agamanya banyak dibahas orang. Mereka menilai penyair ini dari
puisi-puisinya yang beraneka ragam. Hampir semua yang dialaminya dan
yang begejolak dalam pikirannya tertuang secara gamblang dalam
puisi-puisinya. Orang menilai, bahwa keimanannya kepada Allah kuat
sekali, begitu juga terhadap pengampunan-Nya lebih besar:
Begitu besar dosaku
Setelah kubandingkan dengan sifat kepengampunan-Mu
Ya Allah
Pengampunan-Mu lebih besar.
Mengenai harapan akan pengampunan Allah sajak berikut ini terkenal sekali, dijalin dalam kata-kata yang sangat mengharukan:
Tuhanku, kalau pun dasaku sudah begitu besar, begitu banyak
Aku pun tahu, sifat pengampunan-Mu lebih besar
Kalau yang berharap kepada-Mu hanya orang yang saleh
Kepada siapa orang yang berdosa ini akan berlindung?
Seruanku hanya kepadamu, ya Allah
Dengan sepenuh hati, seperti perintah-Mu
Kalaupun tanganku ini Kautolak
Siapalagi yang akan mengampuniku?
Tak ada jalan lain bagiku kepada-Mu
Hanya harapan dan pengampunan-Mu yang begitu indah
Di samping semua itu, aku seorang muslim (berserah diri).
Puisi-puisi zuhud-nya atau puisi keagamaan Abu Nawas memang tidak begitu
banyak jumlahnya, dan dibuat pada masa tuanya. Tetapi dari segi
kedalamannya dinilai banyak kritikus sastra melebihi puisi-puisi
keagamaan para penyair lain yang sejaman dengannya. Sebagi penyair, baik
dalam puisi mujun atau puisi zuhud, dari segi ungkapan, penggunaan
kata, dan kedalaman isi, dalam sejarah sastra Islam