Rd.Adi Kusuma
Rabu, 01 Agustus 2012
SHALAWAT PARA MALAIKAT BAGI ORANG YANG MAKAN SAHUR
Oleh
Dr. Fadhl Ilahi bin Syaikh Zhuhur Ilahi
Di antara orang-orang yang berbahagia dengan shalawat para Malaikat adalah orang yang makan sahur, dan di antara dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah:
1. Dua Imam, yaitu Imam Ibnu Hibban dan Imam ath-Thabrani meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِيْنَ.
‘Sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang makan sahur.’” [1]
Imam Ibnu Hibban memberikan bab untuk hadits ini dengan judul: “Ampunan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Permohonan Ampun Para Malaikat Bagi Orang-Orang yang Makan Sahur.” [2]
2. Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, beliau berkata: “Rasulullah Shallallahu bersabda:
"اَلسَّحُوْرُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ فَلاَ تَدَعُوْهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ, فَإِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِيْنَ."
‘Makan sahur adalah makanan yang penuh dengan keberkahan, maka janganlah engkau meninggalkannya, walaupun salah seorang di antara kalian hanya meminum seteguk air, karena sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang makan sahur.’” [3]
Dalam hadits ini ada sebuah pelajaran yang sangat jelas, yaitu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat gigih membuat umatnya gembira dengan shalawat Allah جَلَّ وَعَلاَ kepada mereka dan permohonan ampun bagi mereka dari para Malaikat dengan sebab makan sahur. Hal itu tampak dari sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Maka janganlah kalian meninggalkannya walaupun salah seorang di antara kalian hanya meminum seteguk air.” Maknanya: “Janganlah kalian meninggalkannya, sehingga walaupun tidak memungkinkan seorang dari kalian kecuali hanya meminum sedikit air (saja) dengan tujuan sahur, maka minumlah dengannya.” [4]
Syaikh Ahmad ‘Abdurrahman al-Banna memberikan komentar bagi hadits ini dengan ungkapan: “Shalawat Allah kepada mereka adalah kasih sayang-Nya kepada mereka, sedangkan shalawat para Ma-laikat kepada mereka adalah permohonan ampun untuk mereka, maka siapa saja yang tidak sahur, ia terhalang dari rahmat Allah Azza wa Jalla dan dari permohonan ampun para Malaikat untuk mereka pada waktu tersebut.” [5]
Ya Allah, janganlah engkau menjadikan kami orang-orang yang terhalang dari kasih sayang-Mu dan orang-orang yang terhalang dari permohonan ampun para Malaikat untuk kami. Kabulkanlah wahai Rabb Yang Mahamendengarkan do’a.
Jika hal tersebut merupakan shalawat dari Allah Ta’ala dan para Malaikat bagi orang yang makan sahur saja, maka bagaimana bagi orang yang menyem-purnakan puasanya karena Allah Azza wa Jalla? Satu makhluk pun sama sekali tidak dapat memperkirakannya di dunia. Benarlah apa yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau mengabarkan bahwa:
"قَالَ اللهُ: كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصَّوْمَ، فَإِنَّهُ لِيْ وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ."
“Allah berfirman: ‘Setiap amal manusia adalah untuknya kecuali puasa, karena puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku-lah yang langsung mem-balasnya.’” [6]
Dan masih banyak lagi hadits yang menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong umatnya melaksanakan sahur, di antaranya adalah:
1. Imam Muslim meriwayatkan dari ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ."
“Perbedaan antara puasa kita dan puasa Ahlul Kitab adalah pada makan sahur.” [7]
2. Asy-Syaikhani meriwayatkan dari Anas Radhiyallahu anhu, beliau berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً."
‘Makan sahurlah kalian, karena pada makan sahur itu ada keberkahan.’” [8]
3. Al-Imam an-Nasa-i meriwayatkan dari al-‘Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu anhu, beliau berkata: “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang mengajak untuk makan sahur pada bulan Ramadhan, beliau bersabda: ‘Marilah kita makan yang dipenuhi dengan keberkahan.’” [9]
Para ulama Salaf sangat mementingkan makan sahur, dan di antara dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam ad-Darimi dari Abu Qais, bekas budak ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu, beliau berkata: “‘Amr bin al-‘Ash memerintahkan membuat makanan sahur untuknya, akan tetapi dia tidak menentukan makanan tersebut, lalu kami berkata: ‘Engkau memerintahkan kami (membuat makanan untuk sahur), akan tetapi engkau tidak menentukan makanannya.’
Ia berkata: ‘Sesungguhnya aku sama sekali tidak memerintahkan kalian untuk membuat makanan karena aku menginginkannya, akan tetapi aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ."
‘Perbedaan antara puasa kita dan puasa Ahli Kitab adalah pada makan sahur.’” [10]
[Disalin dari buku Man Tushallii ‘alaihimul Malaa-ikatu wa Man Tal‘anuhum, Penulis Dr. Fadhl Ilahi bin Syaikh Zhuhur Ilahi, Judul dalam Bahasa Indonesia, Orang-Orang Yang Di Do'akan Malaikat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Al-Ihsaan fii Taqriibi Shahiih Ibni Hibban kitab ash-Shaum, bab as-Sahuur (VIII/246 no. 3467). Al-Hafizh al-Mundziri berkata: “ Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam kitab al-Ausath dan Ibnu Hibban di dalam Shahiihnya.” (At-Targhiib wat Tarhiib II/137). Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani, (Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib I/519). Syaikh Syu’aib al-Arna-uth berkata: “Hadits ini shahih.” (Catatan pinggir kitab al-Ihsaan VIII/246)
[2]. Al-Ihsaan fii Taqriibi Shahiih Ibni Hibban (VIII/245).
[3]. Al-Musnad (III/12 cet. Al-Maktab al-Islami). Al-Hafizh al-Mundziri berkata: “Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad yang kuat.” (At-Targhiib wat Tarhiib II/139)
[4]. Lihat kitab Buluughul Amaani (X/16).
[5]. Ibid.
[6]. Lihat Shahiih al-Bukhari kitab ash-Shaum bab Hal Yaquulu Innii Shaa-im idzaa Syutima? (IV/118 no. 1904).
[7]. Shahiih Muslim kitab ash-Shiyaam bab Fadhlus Sahuur wa Ta'-kiidu Istihbaabihi. (II/770-771 no. 1096 (46)).
[8]. Muttafaq ‘alaih. Shahiih al-Bukhari kitab ash-Shaum bab Barakatus Sahuur min Ghairi Iijaab (IV/139 no. 1923) dan Sha-hiih Muslim bab Fadhlus Sahuur wa Ta'kiid Istihbaabihi (II/ 770 no. 1095 (45)).
[9]. Sunan an-Nasa-i kitab ash-Shiyaam bab Da'watus Sahuur (IV/145), hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani (lihat kitab Shahiih Sunan an-Nasa-i II/465-466).
[10]. Sunan ad-Darimi kitab ash-Shiyaam bab Fii Fadhlis Sahuur (I/338-339 no. 1704).
Kekayaaan Bukan Tanda Kemuliaan, Kemiskinan Bukan Petunjuk Kehinaan
KEKAYAAN BUKAN TANDA KEMULIAAN, KEMISKINAN BUKAN PETUNJUK KEHINAAN
Assalamualaikum WR.Wb
فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ
وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ
فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ
Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan
diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: "Rabbku telah
memuliakanku". Adapun bila Rabbnya (Allâh) mengujinya, lalu membatasi
rezekinya (menjadikannya hidup dalam kekurangan), maka dia berkata:
"Rabbku menghinakanku" .Sekali-kali tidak (demikian),
…[al-Fajr/89:15-16]
PENJELASAN AYAT:
Kenikmatan dunia menjadi bidikan utama orang-orang yang tidak beriman
kepada Allâh Azza wa Jalla dan hari Kebangkitan (orang-orang kafir).
Mereka berjuang siang dan malam demi kesuksesan duniawi semata!.
Limpahan kekayaan dalam pandangan mereka merupakan pertanda kemuliaan
hidup dan sumber martabat. Dan sebaliknya, kurangnya materi, kemiskinan
dan kehidupan ekonomi yang sulit di mata mereka menjadi petunjuk
kehinaan, sekali lagi, dalam pandangan orang-orang materialis itu yang
lazim disebut dengan mâddiyyûn (jamak dari kata mâddi) dalam bahasa
Arab.
SALAH SATU SIFAT BAWAAN MANUSIA DAN ORANG KAFIR
Atas dasar itu, sebagian Ulama mengatakan bahwa melalui ayat di atas,
Allâh Azza wa Jalla mengabarkan salah satu sifat orang kafir dan musyrik
saat menerima limpahan harta dan tatkala kekurangan materi dan
terhimpit kesulitan ekonomi.[1] Sebagian Ulama lain menyebutkan bahwa
itu merupakan sifat bawaan setiap manusia yang bersumber dari sifat jahl
(kebodohan, ketidaktahuan tentang hakekat masalah) dan zhulm
(kezhaliman).[2]
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ
Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan
diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: "Rabbku telah
memuliakanku".
Pada ayat ini, Allâh Azza wa Jalla mengingkari manusia yang memiliki
keyakinan jika diberi keluasan rezeki itu pertanda penganugerahan
kemuliaan dari Allâh k bagi dirinya. Faktanya, tidak demikian adanya.
Akan tetapi, merupakan ujian dan cobaan bagi mereka dari Allâh Azza wa
Jalla, [3] dan menguak apakah ia bersabar atau berkeluh-kesah, apakah ia
bersyukur atau mengingkari nikmat. [4] Hal ini seperti firman Allâh
Azza wa Jalla :
أَيَحْسَبُونَ أَنَّمَا نُمِدُّهُمْ بِهِ مِنْ مَالٍ وَبَنِينَ نُسَارِعُ لَهُمْ فِي الْخَيْرَاتِ ۚ بَلْ لَا يَشْعُرُونَ
Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang kami berikan kepada
mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan
kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar
[al-Mukminûn/23:55-56]
Sebaliknya pada ayat berikutnya:
وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ
Adapun bila Rabbnya (Allâh) mengujinya, lalu membatasi rezekinya
(menjadikannya hidup dalam kekurangan), maka dia berkata: "Rabbku
menghinakanku"
Tatkala Allâh Azza wa Jalla menguji manusia dengan menyempitkan
rezekinya, sebagian orang beranggapan hal tersebut merupakan bentuk
kehinaan yang harus ia terima.
Imam al-Qurthubi rahimahullah menegaskan salah satu sifat orang kafir,
“Kemuliaan dan kehinaan pada pandangan orang kafir berdasarkan banyak
sedikitnya kekayaan yang dimiliki seseorang”.[5]
KEKAYAAN BUKAN PERTANDA KEMULIAAN, KEKURANGAN BUKAN PERTANDA KEHINAAN
Allâh Azza wa Jalla tidak pernah menjadikan kekayaan dan kekurangan yang
meliputi kondisi seseorang sebagai bentuk penilaian kemuliaan atau
kerendahan derajatnya di sisi Allâh Azza wa Jalla . Namun, itu semua
merupakan ujian dan cobaan yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepada umat
manusia yang tidak lepas dari takdir dan qodho-Nya.
Perhatikan firman Allâh Azza wa Jalla berikut:
قُلْ إِنَّ رَبِّي يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Katakanlah: "Sesungguhnya Rabbku melapangkan rezeki bagi siapa yang
dikehendaki-Nya dan menyempitkan (bagi siapa yang dikehendaki-Nya), akan
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. [Saba/34:36]
Allâh Azza wa Jalla memberikan kekayaan kepada orang yang Dia Azza wa
Jalla cintai dan orang yang tidak Dia Azza wa Jalla cintai, menyempitkan
rezeki orang yang Dia Azza wa Jalla cintai dan orang yang tidak Dia
Azza wa Jalla cintai. Pada ketentuan-ketentuan Allâh ini terdapat hikmah
yang luhur lagi sempurna yang tidak diketahui selain-Nya. Akan tetapi,
kebanyakan orang tidak menyadarinya.
Sedangkan firman Allâh Azza wa Jalla : (كَلاَّ) adalah bentuk kata
bantahan guna menjelaskan bahwa kenyataannya tidak seperti yang kalian
katakan dan tidak seperti pandangan manusia umumnya. Bantahan kepada
orang-orang yang mengukur segala sesuatu dengan materi. Dalam kata ini
terdapat unsur meluruskan pandangan yang keliru di atas, dan bahwa
pemberian dan menahan rezeki tidak terkait dengan pemuliaan bagi
seseorang maupun penghinaan baginya. Akan tetapi, itu semua merupakan
ujian dari Allâh k kepada hamba-Nya. [6]
Imam Ibnu Katsîr rahimahullah mengatakan, “Masalahnya tidak seperti yang
ia perkirakan. Tidak seperti pandangan yang pertama, juga tidak seperti
pandangan yang kedua. (Sebab) Allâh Azza wa Jalla memberikan kekayaan
kepada orang yang Allâh Azza wa Jalla cintai dan yang tidak Allâh Azza
wa Jalla cintai, menyempitkan rezeki pada orang yang Allâh Azza wa Jalla
cintai dan yang tidak Dia Azza wa Jalla cintai. Landasan dalam masalah
ini ialah ketaatan kepada Allâh dalam dua kondisi tersebut, jika
berlimpah harta, hendaknya bersyukur kepada Allâh k atas nikmat itu,
bila mengalami kekurangan, hendaknya bersabar”.[7]
Syaikh ‘Abdur Rahmân as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Kekayaan dan
kemiskinan, keluasan dan sempitnya rezeki adalah cobaan dari Allâh Azza
wa Jalla dan ujian untuk menguji para hamba-Nya, supaya dapat diketahui
siapa saja yang bersyukur dan bersabar, kemudian Allâh Azza wa Jalla
akan membalasnya dengan pahala yang besar. Barang siapa yang tidak
demikian (tidak bersyukur atau bersabar), maka akan dibalas dengan siksa
pedih”.[8]
Sementara itu, Syaikh ‘Athiyyah Sâlim rahimahullah juga berkata, “Allâh
Azza wa Jalla menjelaskan bahwa Dia Azza wa Jalla memberi dan menahan
(pemberian) sebagai ujian bagi seorang hamba”.[9]
Perhatikanlah firman Allâh Azza wa Jalla berikut:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu
dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya).
Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.[al-Anbiyâ/21:35]
Dan juga firman Allâh Azza wa Jalla :
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai
cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allâh-lah pahala yang besar
[al-Anfâl/8:28]
Sebagaimana menguji manusia dengan musibah (hal-hal yang tidak
mengenakkan), Allâh Azza wa Jalla juga menguji manusia dengan
kenikmatan.
PENTINGNYA INTROSPEKSI DIRI
Seorang Mukmin ketika mendapatkan kenikmatan dari Allâh Azza wa Jalla
berupa kekayaan, ia akan mensyukuri Rabbnya, dan ia memandang itu murni
merupakan kemurahan dan curahan kebaikan Allâh terhadap dirinya, bukan
merupakan bentuk kemuliaan yang Allâh berikan kepada orang yang berhak.
Dan sebaliknya, jika mengalami cobaan kesulitan ekonomi, rejeki seret,
seorang Mukmin akan bersabar dan mengharapkan pahala dari Allâh Azza wa
Jalla seraya berintrospeksi diri, kejadian ini tiada lain karena
dosa-dosaku. Allâh Azza wa Jalla tidak sedang menghinaku dan tidak
sedang menganiaya diriku.
Dalam dua ayat ini termuat satu petunjuk pentingnya seseorang menyadari
saat menerima limpahan rezeki atau terhimpit ekonominya. Misalnya,
mengatakan, “Mengapa Allâh Azza wa Jalla memberiku rezeki melimpah? Apa
yang dikehendaki dariku? Pastilah aku harus bersyukur kepada-Nya.
Mengapa Allâh Azza wa Jalla mengujiku dengan kekurangan harta dan
penyakit? Pastilah Allâh Azza wa Jalla menghendaki agar aku bersabar.
Jadi, hendaklah selalu melakukan introspeksi diri dalam dua kondisi
tersebut. Sikap demikian akan menjauhkan manusia dari dua sifat
buruknya, kebodohan dan aniaya. Sebab limpahan kekayaan dan sempitnya
rezeki terjadi berdasarkan hikmah dan keadilan Allâh Azza wa Jalla [10].
Manusia pun harus tetap memuji Allâh Azza wa Jalla dalam kedua kondisi
tersebut. [11]
PELAJARAN DARI AYAT:
- Pandangan materialisme berasal dari kaum kafir
- Pandangan materialisme bersumber dari hubbun dun-ya (cinta dunia)
- Pandangan materialisme bukan pandangan baru, sebab pandangan ini sudah
bercokol pada hati kaum musyrikin Quraisy sejak 14 abad lalu.
- Allâh Azza wa Jalla membenci kekufuran dan kufur nikmat
- Allâh Azza wa Jalla mencintai perbuatan syukur
- Pentingnya introspeksi diri dalam semua keadaan.
- Pentingnya mendalami Islam karena akan mengenalkan kebenaran dan hakekat seluruh perkara. Wallâhu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XV/Syaban 1432/2011M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Jâmi’ul Bayân an Ay al-Qur`ân, Imam ath-Thabari 15/227, Al-Jâmi li
Ahkâmil Qur`ân, Imam al-Qurthubi 20/47, Tatimmatu Adhwâul Bayân , Syaikh
‘Athiyyah Sâlim 9/217, Aisarut Tafâsir , Syaikh Abu Bakr al-Jazâiri,
2/1471
[2]. Taisîrul Karîmir Rahmân, Syaikh as-Sa’di, hlm. 1009, Tafsîr Juz ‘Amma , Syaikh al-‘Utsaimîn hlm. 200
[3]. Tafsîr al-Qur`ânil ‘Azhîm , Imam Ibnu Katsîr 8/398
[4]. Fathul Qadîr, asy-Syaukâni, 5/621
[5]. Al-Jâmi li Ahkâmil Qur`ân 20/47
[6]. Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 1009, Tatimmatu Adhwâul Bayân 9/217, Aisarut Tafâsir 2/1471
[7]. Tafsîr al-Qur`anil ‘Azhîm 8/398
[8]. Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 1009
[9]. Tatimmatu Adhwâul Bayân 9/217
[10]. Tafsîr Juz ‘Amma hlm. 201
[11]. Jâmi’ul Bayân an Ay al-Qur`ân 15/229
BEBERAPA KEUTAMAAN DAN KEBERKAHAN HARI SENIN DAN KAMIS
Oleh
Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i
Di antara keutamaan dan keberkahannya, bahwa pintu-pintu Surga dibuka pada dua hari tersebut, yaitu Senin dan Kamis. Pada saat inilah orang-orang Mukmin diampuni, kecuali dua orang Mukmin yang sedang bermusuhan. Dalil yang menguatkan hal ini adalah hadits yang termaktub dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
"تُفْتَحُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَ الاثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ لاَ يُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا إِلاَّ رَجُلاً كَانَتْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ، فَيُقَالُ: أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا، أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا، أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا."
"Pintu-pintu Surga dibuka pada hari Senin dan Kamis. Maka semua hamba yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun akan diampuni dosa-dosanya, kecuali seseorang yang antara dia dan saudaranya terjadi permusuhan. [1] Lalu dikatakan, ‘Tundalah [2] pengampunan terhadap kedua orang ini sampai keduanya berdamai, tundalah pengampunan terhadap kedua orang ini sampai keduanya berdamai, tundalah pengam-punan terhadap kedua orang ini sampai keduanya berdamai.” [3]
Keutamaan dan keberkahan berikutnya, bahwa amal-amal manusia diperiksa di hadapan Allah Tabaaraka wa Ta’aalaa pada kedua hari ini. Sebagaimana yang terdapat dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda,
"تُعْرَضُ أَعْمَالُ النَّاسِ فِي كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّتَيْنِ يَوْمَ اْلاثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ مُؤْمِنٍ إِلاَّ عَبْدًا بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ."
“Amal-amal manusia diperiksa di hadapan Allah dalam setiap pekan (Jumu’ah) dua kali, yaitu pada hari Senin dan Kamis. Maka semua hamba yang beriman terampuni dosanya, kecuali seorang hamba yang antara dia dan saudaranya terjadi permusuhan...” [Al-Hadits] [4]
Karena itu, selayaknya bagi seorang Muslim untuk menjauhkan diri dari memusuhi saudaranya sesama Muslim, atau memutuskan hubungan dengannya, ataupun tidak memperdulikannya dan sifat-sifat tercela lainnya, sehingga kebaikan yang besar dari Allah Ta’ala ini tidak luput darinya.
2. Keutamaan hari Senin dan Kamis yang lainnya, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat antusias berpuasa pada kedua hari ini.
Sebagaimana yang terdapat dalam sebagian kitab hadits dari ‘Aisyah Rahiyallahu anhuma, ia mengatakan,
"كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صَوْمَ اْلإِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ."
”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat antusias dan bersungguh-sungguh dalam melakukan puasa pada hari Senin dan Kamis ”.[5]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan alasan puasanya pada kedua hari ini dengan sabdanya,
"تُعْرَضُ الأَعْمَالُ يَوْمَ اْلإِثْنَيْنِ وَالْخَمِيْسِ فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ."
“Amal-amal manusia diperiksa pada setip hari Senin dan Kamis, maka aku menyukai amal perbuatanku diperiksa sedangkan aku dalam keadaan berpuasa.” [HR. At-Tirmidzi dan lainnya] [6]
Dan dalam Shahih Muslim dari hadits Abu Qatadah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang puasa hari Senin, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
"ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيْهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَيَّ فِيْهِ."
“Hari tersebut merupakan hari aku dilahirkan, dan hari aku diutus atau diturunkannya al-Qur-an kepadaku pada hari tersebut.” [7]
Ash-Shan’ani rahimahullah berkata, “Dan tidak ada kontradiksi antara dua alasan tersebut.” [8]
Berdasarkan argumentasi dari hadits-hadits ini, maka disunnahkan bagi seorang Muslim untuk berpuasa pada dua hari ini, sebagai puasa tathawwu’ (sunnah).
3. Keutamaan lain yang dimiliki hari Kamis, bahwa kebanyakan perjalanan (safar) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terjadi pada hari Kamis ini.
Beliau menyukai keluar untuk bepergian pada hari Kamis. Sebagaimana tercantum dalam Shahih al-Bukhari bahwa Ka’ab bin Malik Radhiyallahu anhu mengatakan:
"لَقَلَّمَا كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ إِذَا خَرَجَ فِي سَفَرٍ إِلاَّ يَوْمَ الْخَمِيْسِ."
“Sangat jarang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar (untuk melakukan perjalanan) kecuali pada hari Kamis.”
Dalam riwayat lain yang juga dari Ka’ab bin Malik Radhiyallahu anhu:
"أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ يَوْمَ الْخَمِيْسِ فِي غَزْوَةِ تَبُوْكَ وَكَانَ يُحِبُّ أَنْ يَخْرُجَ يَوْمَ الْخَمِيْسِ."
“Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada hari Kamis di peperangan Tabuk, dan (memang) beliau suka keluar (untuk melakukan perjalanan) pada hari Kamis.” [9]
[Disalin dari buku At Tabaruk Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu, Judul dalam Bahasa Indonesia Amalan Dan Waktu Yang Diberkahi, Penulis Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. An-Nihaayah karya Ibnul Atsir (IV/449).
[2]. Maksudnya, akhirkanlah keduanya. Syarhun Nawawi li Shahiihi Muslim (XVI/123)
[3]. Shahih Muslim (IV/1987) Kitabul Birr was Sihilah wal Aadaab.
[4]. Shahih Muslim (IV/1988) Kitabul Birr was Shilah wal Aadaab.
[5]. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam at-Tirmudzi dalam Sunannya (III/121) Kitabush Shaum, an-Nasa-i dalam Sunannya (IV/202) Kitaabush Shaum, Ibnu Majah dalam Sunannya (I/553) Kitaabush Shiyaam dan Imam Ahmad dalam Musnadnya (VI/106).
[6]. Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dalam Sunannya (III/122) Kitaabus Shaum bab Maa Jaa’a fii Shaum Yaumil Itsnain wal Khamiis dari Abu Hura-irah. At-Tirmidzi mengatakan, “Hadits ini Hasan Gharib.” Namun menurut Abu Dawud hadits ini memiliki syahid (penguat). Lihat Sunan Abi Dawud Ma’a Badzlil Majhuud (XI/304) Kitabush Shaum bab Shaum Yaumil Itsnain wal Khamiis.
[7]. Ini merupakan bagian dari hadits Abu Qatadah al-Anshari Radhiyallahu anhu yang diriwa-yatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya (II/819) Kitaabush Shiyaam.
[8]. Lihat Subulus Salaam, karya ash-Shan’ani (II/330).
[9]. Shahih al-Bukhari (IV/6) Kitaabul Jihad was Sair.
Langganan:
Postingan (Atom)