kedua mutawasith, orang-orang yang dianggap menengah, berada di tengah dalam mempelajari thariqat, tetapi hatinya belum suci semua daripada maksiat bathin, dan ketiga muntahi, orang-orang yang telah sangat lanjut, yang telah suci roh dan hatinya daripada ma'siat lahir dan bathin, dan telah suci pula ingatannya daripada selain Allah, yang biasanya dinamakan orang-orang arifin, telah sampai kepada ma'rifat.
Singkatnya, Perbedaan tingkat pendidikan mereka adalah :
Bagi tingkatan mubtadi, biasanya pendidikannya berupa pengantar menuju hakikat. Bagi tingkatan mutawasith, biasanya pendidikan mereka adalah pendalaman hakikat dan pengantar bagi ilmu laduni
Bagi tingkatan muntahi, biasanya pada tingkatan ini, mereka tidak lagi membutuhkan kitab. Mereka yang menulis kitab, karena mereka sudah berkecimpung dalam ilmu laduni.
Untuk golongan mubtadi dianjurkan membaca karangan-karangan Ghazali, seperti kitab "Bidayatul Hidayah", kitab "Minhajul Abidin" kitab "Arba'in fi Usuliddin", kitab "Sirus Salikin", yang merupakan keringkasan dari kitab Ihya karangan Ghazali, kitab "Ihya Ulumuddin", semuanya adalah karangan Imam Ghazali. Banyak lagi kitab-kitab Ghazali yang dianjurkan, baik dalam bentuk keringkasan maupun dalam bentuk perluasannya, mukhta- sar atau syarh dan hasyiah, karena kitab-kitab Ghazali itu banyak mendapat pujian dari ulama-ulama Sufi. Kata Syeikh Husen Faqih : "Kitab-kitab Imam Ghazali itu adalah laksana obat menghilangkan racun-racun yang ada pada orang jahil dan orang mubtadi terselip dalam jiwanya, selain daripada itu juga bermanfa'at untuk menjaga serta mengawasi ulama-ulama yang mengaji ilmu zahir (ilmu fiqh atau syari'at), begitu juga dapat menuntun orang-orang yang menjalankan ilmu tharekat, tidak kurang berfaedah bagi orang-orang yang muntahi, yang arifin, yang muqarrabin, yang mencari jalan kepada Tuhan, walaupun kepada golongan terakhir ini sangat dianjurkan memakai kitab-kitab Syaziliyah, karena lebih banyak mengandung ilmu rahasia yang pelik-pelik mengenai hati, atau kitab-kitab Ibn Arabi, karena di dalamnya banyak terdapat perkara-perkara yang bersangkutan dengan zauq, wujdan manazilah, maqamat dan ihwal.
Untuk tingkat pertama itu dianjurkan juga memakai kitab "Qutul Qulub", karangan Abu Thalib Al-Makki, kitab "Risalah Al-Qusyairi", karangan Abul Qasim Al-Qusyairi, lebih baik yang telah dikomentari oleh Zakaria Al-Ansari, begitu juga kitab "Al-Ghaniyah", karangan Abdul Qadir Al-Jilani, kitab "Awariful Ma'arif", oleh Umar Suhrawardi, Adabul Muridin" oleh Muhammad bin Habib Suhrawardi, "Mafatihul Fallah" oleh Ibn Atha'illah, "Futuhatul Ilahiyah" oleh Zakaria Al-Ansari, dan banyak lagi kitab-kitab lain karangan Sya'rani, Mabtuli, Qasim Al-Halabi, Ibn Umar, Al-Marsafi, Al-Qusyasyi, Al-Kurani, Al-Idrus, An-Naqsyabandi, Al-Haddad, Al-Bakri, mengenai thariqat, As-Samman Al- Madani, Abdur Rauf bin Ali Al-Jawi Al-Fansuri, yang bermacam- macam namanya dan bermacam-macam pula isinya, ada yang mengenai kejiwaan, ada yang mengenai akhlak, ada yang mengenai thariqat, ada yang mengenai khalawat, pelajaran dan mauizah dan sebagainya.
Di antara kitab-kitab yang dianjurkan dipelajari oleh golongan Sufi tingkat kedua mutawassith kebanyakan mengenai ilmu thariqgat, mengenai suluk, mengenai zikir dan wirid, mengenai roh dan kehidupan wali-wali, mengenai zauq dan maqam ma'rifat, mengenai tahqiq dan lain-lain yang leb.h pelik dan lebih sukar dari kitab-kitab untuk tingkat pertama. Misalnya "Kitab Hikam", karangan Ibn Atha'illah As-Sakandari Asy-Syazili, yang dikomentari oleh Ibn Ibad, begitu juga komentar atas kitab itu yang diperbuat oleh Ahmad Al-Marzuku dan komentar karangan An-Nagsyabandi dan Ahmad Al-Qusyasyi serta banyak komentar-komentar lain yang tebal-tebal dan sulit-sulit, selanjutnya juga dipergunakan karangan Ibn Atha'illah itu, yang bernama "At-Tanwir fi Isgatid Tadbir" dan karangannya, yang bernama "Latha'iful Minan", dengan segala syarah dan hasyiyahnya. Begitu juga dianjurkan mempergunakan kitab-kitab Hikam karangan Abi Madiyah, yang dikomentari oleh Ibn Allan, karangan Ibn Ruslan dengan komentar dari Syeikh Islam Zakaria Al-Ansari, yang bernama "Fathurrahman" dan dengan komentar Ahmad Ibn Allan, begitu juga dengan komentar An-Nablusi, selanjutnya kitab "Futuhul Ghaib", karangan Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani, kitab "Al-Kibrit" karangan Qutub Al-Idrus, kitab "AI-Masabir", karangan Suhrawardi, begitu juga kitab "Al-Jawahir wal Bawasit", karangan Syeikh Abdul Wahhab Asy-Sya'rani, "Risalah Qawaninul Ahkam wal Asyrat ilas Sufiyah", karangan Abul Mawahib Asy-Syazili, komentar "Qasidah", karangan Ibn Allah, kitab "Mi'rajul Arwah", karangan As-Saqqaf, kitab "Jawahirul Khams", karangan Al-Ghaus, dengan syarah-syarahnya, kitab "Fusulut Tahiyah", karangan Bafadhil, kitab "MiftahulMu'iyah fit Tharikah Nigsyabandiyah", karangan Abdul Ghani An-Nablusi dengan beberapa komentar dan silsilah, ki- tab "Dhiya'us Syamsi alal Fathil Qudsi", karangan Mustafa AI- Bakri, kitab "Asrarrul Ibadat", karangan Syeikh Muhammad Samman, dan kitab-kitab yang lain karangan ulama Sufi ini dengan bermacam-macam syarahnya.
Golongan yang ketiga, yang dinamakan golongan muntahi, golongan yang dianggap tingkat pengajarannya sudah sampai kepada ilmu hakikat, yang acap kali digelarkan dengan nama arifin, dianjurkan membaca kitab-kitab yang berisi ilmu laduni, ilmu ma'rifat terhadap Tuhan, ilmu yang sudah mencapai tingkat ainul ya- kin dan hakkul yakin, seperti kitab-kitab karangan Syeikh Muhyidin Ibn Arabi, seperti kitab "Fusulul Hikam", dengan syarah An-Nablusi, dan dengan syarah Syeikh Ali Al-Muhayimi, selanjutnya kitab Ibn Arabi, yang bernama "Mawaqi'un Nujum" dan Fatuhatul Makkiyah" dengan komentar yang aneka warnanya. Begitu juga dianjurkan membaca kitab-kitab "Insanul Kamil", karangan Syeikh Abdul Karim Al-Jairi, kitab "Sirrul Masun", karangan Imam Ghazali, begitu juga kitabnya yang bernama "Misykatul Anwar" dan "AI-Maqsadul Aqsha", dan kitab-kitab yang lain karangan Imam Ghazali mengenai masalah-masalah ilmu hakikat, sabar dan syukur, mahabban, mengenai tauhid, mengenai tawakkul dan lain-lainnya, yang meskipun sudah dibicarakan dalam kitab Ihya, tetapi diperluas dan diperdalam pembicaraannya dalam karangan-karangan yang tersendiri.
Di antara kitab-kitab yang dianjurkan juga untuk golongan ini ialah kitab "Tuhfatul Mursalan", yang membicarakan martabat tujuh, karangan Fadhullah Al-Hindi, dengan Syarah-syarahnya oleh Al-Kurdi, Al-Madani, yang membuat komentar bernama "Tahyatul Mas'alah", begitu juga kitab yang bernama "Idhahul Maqsud", mengenai ma'na wihdatul wujud, dan banyak lagi kitab kitab yang lain mengenai masalah cahaya suci karangan Sya'rani, mengenai kasyful hijab dan asrar, pembukaan hijab dan rahasia, mengenai masalah jin, mengenai cermin hakikat oleh Al-Qusyasyi, mengenai ruhul qudus oleh bermacam-macam wali, begitu juga kitab yang sangat dianjurkan, bernama "Jawahirul Haqa'iq, karangan Syeikh Syamsuddin bin Abdullah As-Samathrani, "Sumatra Aceh", mengenai masalah wihdatul wujud, di antara kitab yang bernama "Idhahul Bayan fi tahqiqi masa'ilil A'yan", karangan Abdur Rauf Al-Fansuri (dari Singkil Aceh, Sumatra), dan kitab-kitab lain yang sekian banyaknya mengenai ilmu hakikat, thariqat dan ma'rifat, yang tidak kita sebutkan di sini karena sangat memanjang pembicaraan.
Ditegaskan, bahwa mempelajari segala ilmu hakikat itu yaitu ilmu yang bersangkut-paut dengan zat, sifat dan af'al Tuhan dalam segala alamnya, dalam alam roh, dalam alam misal, dan dalam alam ajsam dengan masalah yang pelik-pelik dan sukar itu, ialah sesudah murid-murid itu mempunyai pengetahuan tentang Syari', yang zahir, seperti ilmu tauhid dan usuluddin, ilmu fiqh dan lain-lain, dan mempunyai ilmu syari'at seperti ilmu tasawuf dan akhlak. Orang Sufi menghukumkan haram mempelajari ilmu hakikat ini, sebelum seseorang mengetahui ilmu syari'at zahir dan bathin itu. Maka oleh karena itu banyak guru melarang murid-muridnya membaca kitab-kitab mengenai hakikat, sebelum datan pada waktunya.
Tetapi sesudah dianggap datang masanya, maka sangat dianjurkan membaca kitab-kitab itu, seperti yang pernah dikemukakan oleh Al-Jili, bahwa banyak sekali pada masanya orang-orang Arab, Persi, Hindi, dan Turki membaca kitab-kitab mengenai ilmu hakikat itu, dan jika pembacaannya itu akan membawa kepada amalnya, dan menggiatkan ia berbuat ibadat serta melawan hawa nafsunya, maka sampailah ia kepada tujuannya menjadi orang-orang tingkat arifin dan mursyid yang kamil. Apakah kitab-kitab itu harus dipelajari memakai guru? Pertanyaan ini dijawab oleh Syeikl Mustafa Al-Bakri dalam kitabnya "AI-Ka'sur Raqiq", bahwa ha yang demikian itu tidak perlu, mereka tidak perlu memakai guru, karena dalam tingkat muntahi ini orang-orang itu dianggap sudah layak membaca sendiri, karena mereka sudah merupakan orang salih, orang yang sudah mencapai martabat yang tinggi sebagaimana pernah diterangkan oleh Ibn Arabi dalam kitabnya "Mawaqi'in Nujum".
Orang Sufi menganggap suatu fadhilat, suatu amal yang tinggi nilainya mempelajari ilmu-ilmu Sufi itu, karena ketinggian nilai ilmu-ilmu itu kitab-kitabnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tolong komentarnya berhubungan dengan artikel yang ada
Komentar yang mengarah ke tindakan spam akan di hapus atau terjaring secara otomatis oleh spam filter.