Post By.Manggala Sukma
Kendati telah wafat sejak sekitar 77 tahun silam, keberadaannya
terasa di Kampung Babussalam, Tanjung Pura, Langkat, Sumatra Utara.
Peziarah mengalir ke makamnya di kampung yang didirikannya. Syekh Abdul
Wahab Rokan memang dikenal sebagai ulama ternama di Sumatera.
Lahir pada 19 Rabiul Akhir 1230 H (28 September 1811) di Kampung
Danau Runda, Rantau Binuang Sakti, Negeri Tinggi, Rokan Tengah, Kab.
Rokan hulu, Riau, Wahab tumbuh di lingkungan keluarga yang menjunjung
agamanya. Nenek buyutnya, H Abdullah Tembusai, dikenal sebagai alim
ulama besar yang disegani.
Salah seorang putra Abdullah Tembusai, bernama M Yasin menikah dengan
Intan. Buah perkawinan itu melahirkan di antaranya Abdul Manaf. Putra
tertuanya ini, kemudian menikah dan melahirkan Syekh Wahab Rokan.
Dengan titisan darah demikian, Wahab sejak kecil terdidik, terutama
untuk pelajaran agama. Demi menghapal AlQuran, Wahab kecil tak jarang
bermalam, di rumah gurunya. Ia pun patuh pada guru, bahkan kerap
mencucikan pakaian orang yang mendidiknya itu.
Keistimewaan telah tampak sejak Wahab masih bocah. Suatu ketika, saat
orang terlelap pada dinihari, Wahab masih menekuni AlQuran. Mendadak
muncul seorang tua mengajarinya membaca aLQuran. Setelah rampung satu
khatam, orang tua itu menghilang.
Kesholehannya ini tak jarang mengalami godaan. Saat ia melanjutkan
pendidikan di Tembusai, seorang wanita menggodanya, bahkan mengunci
pintu tempat Wahab berada. Wahab terus melantunkan doa sehingga terlepas
dari jebakan wanita yang tergila-gila padanya. Begitu pun, suatu ketika
saat mandi di sungai, seorang gadis melarikan sarungnya.
Godaan itu tak membuat imannya meleleh. Bahkan, ia kian kukuh
mendalami ilmu agama. Setelah dari Tambusai, ia pun ke Malaysia, untuk
mendalami ilmu agama kepada Syekh H.M Yusuf asal Minangkabau. Wahab yang
tumbuh menjadi pemuda berdagang untuk menopang kehidupannya.
Menariknya, berkat kesholehannya, ia menyuruh pembeli menimbang sendiri
barang yang dibeli. Ini demi menghindarkan kecurangan.
Melanjutkan pendidikan ke MAkkah, ia belajar kepada beberapa guru, di
antaranya Zaini Dahlan (mufti mazhab Syafi'i), Syekh Zainuddin Rawa.
Terakhir, ia mendalami ilmu Thariqat kepada Syekh Sulaiman Zuhdi di
puncak Jabal Abi Kubis. Sulaiman Zuhdi dikenal sebagai penganut Thariqat Naqsyabandiah.
Menyimak ketekunan muridnya, suatu ketika Sulaiman Zuhdi, resmi
mengangkat Wahab sebagai khalifah besar. Penabalan itu diiringi dengan
bai’ah dan pemberian silsilah Thariqat Naqsyabandiyah yang berasal dari
Nabi Muhammad SAW hingga kepada Sulaiman Zuhdi yang kemudian diteruskan
kepada Wahab. Ijazahnya ditandai dengan dua cap. Ia pun mendapat gelar
Al Khalidi Naqsyabandi.
Setelah kurang lebih enam tahun di MAkkah, ia kembali ke Riau. Di
sana, ia yang saat itu berusia 58, mendirikan Kampung Mesjid. Dari sana,
ia mengembangkan syi'ar agama dan Thariqat yang dianutnya, hingga Sumatra
Utara dan Malaysia. Namanya pun semerbak. Raja di berbagai kerajaan di
Riau dan Sumatra Utara mengundangnya.
Suatu ketika, Sultan Musa Al-Muazzamsyah dari Kerajaan Langkat,
gundah. Putranya sakit parah dan akhirnya wafat. Rasa kehilangan ini tak
terperikan. Syekh H.M Nur yang — sahabat karib Wahab saat di MAkkah —
menjadi pemuka agama di kerajaan, menyarankan agar Sultan bersuluk di
bawah bimbingan Wahab. Sultan menyetujui dan mengundang Wahab.
Wahab pun datang ke Langkat. Ia mengajarkan Thariqat Naqsyahbandi dan
bersuluk kepada Sultan. Setelah berulang bersuluk, Sultan Musa — yang
belakangan melepaskan tahtanya dan memilih menekuni agama — memenuhi
saran Wahab, menunaikan ibadah haji, sekaligus bersuluk kepada Sulaiman
Zuhdi di Jabal Kubis.
Berkat kekariban hubungan guru-murid, Sultan Musa menyerahkan
sebidang tanah di tepi Sungai Batang Serangan, sekitar 1 km dari Tanjung
Pura. Sultan berharap gurunya dapat mengembangkan syiar agama dari
tanah pemberiannya. Wahab menyetujui dan menamakan kampung itu
Babussalam (pintu keselamatan). Maka pada 15 Syawal 1300 H, ia bersama
ratusan pengikutnya, menetap di sana.
Babussalam berkembang menjadi kampung dengan otonomi khusus. Menjadi
basis pengembangan Thariqat Naqsyahbandiyah di Sumatra Utara, Wahab
membentuk ‘pemerintahan’ sendiri di kampung itu. Perangkatnya antara
lain dengan membuat Lembaga Permusyawaratan Rakyat (Babul Funun).
Hingga kini, kampung itu terjaga sebagai pusat pengembangan Thariqat
Naqsyahbandiyah. Tetap mendapatkan perlakuan khusus dari Pemda setempat,
aktivitas sehari-hari — ditandai dengan kegiatan suluk setiap hari —
dipimpin khalifah. Saat ini khalifah kesepuluh Syekh H. Hasyim yang
memimpin.
Kendati terjalin erat, hubungan Wahab dan Sultan, tak berarti selalu
harmonis. Bahkan antara keduanya sempat renggang, saat Wahab difitnah
membuat uang palsu. Akibatnya, Sultan memerintahkan penggeledahan ke
rumah Wahab. Kendati tak terbukti, bahkan saling memaafkan, Wahab seusai
peristiwa itu pindah ke Malaysia. Kepindahannya ini kabarnya
menyebabkan sumur minyak di Pangkalan Brandan surut penghasilannya.
Begitu pun, suatu kali penjajah Belanda ‘menekan’ Sultan. Dalihnya,
berbekal potret Wahab, ditengarai Tuan Guru Babussalam — demikian
panggilan kehormatannya — turut bertempur membantu pejuang Aceh melawan
Belanda. Padahal, pada saat bersamaan, pengikutnya menegaskan Tuan Guru
berdzikir di kamarnya.
Kembali ke Babussalam, setelah terharu menyaksikan kampung yang
dibangunnya menyepi, Tuan Guru menetap di Babussalam. Bersama
pengikutnya, ia kembali membangun Babussalam. Tak sekadar berkembang
pesat, Tuan Guru bersama Babussalam tumbuh disegani. Tak ayal, Belanda
berusaha menjinakkannya.
Maka pada 1 Jumadil Akhir 1241 H, Asisten Residen Van Aken,
menyematkan bintang kehormatan kepadanya. Kendati demikian, tak berarti
Tuan Guru, terpedaya. Bahkan, di saat prosesi penyematan, Tuan Guru
dalam sambutan meminta Van Aken menyampaikan kepada Raja Belanda untuk
masuk Islam. Menilai pemberian bintang itu sindiran, ia meminta
pengikutnya lebih giat. Bintang kehormatan itu pun kemudian diserahkan
kepada Sultan Langkat.
Kendati dikenal sebagai pemuka agama, tak berarti Tuan Guru tak
memiliki kepedulian pada politik. Ia mengutus anaknya untuk menemui HOS
Cokroaminoto pada 1913. Tujuannya untuk membicarakan pembukaan cabang
Sarekat Islam di Babussalam. Tak lama kemudian, SI pun berdiri di
kampung yang dipimpinnya.
Tuan Guru wafat di usia 115, pada 21 Jumadil Awal 1345 H (27 Desember
1926), meninggalkan 4 istri, 26 anak, dan puluhan cucu. Hingga kini,
setiap peringatan hari wafat (haul), dirayakan besar-besaran. Ratusan
pengikutnya yang memegang Thariqat Naqsyahbandiah dari berbagai kota di
Sumatra hingga Malaysia, dan Thailand hadir.
Silaturahmi di Negeri Seribuk Suluk
Para zurriyat, khalifah dan jama'ah Babussalam terserak di dalam
maupun luar negeri. Akibatnya silaturahmi menjadi longgar. Demi mengikat
silahturahmi Ikatan Keluarga Babussalam Langkat menyelenggarakan
silaturrahmi nasional (silatnas).
Berlangsung mulai 18 hingga 20 Oktober mendatang,
silatnas diadakan di kampung kelahiran Syekh Abd Wahab Rokan, di Rantau
Binuang Sakti yang dijuluki ‘Negeri Seribu Suluk’. Acaranya selain
tabliqh akbar, haflah Alquran, juga istighasah Tareqat Naqsyabandiyah.
Di hari terakhir (20/10), silatnas ditutup dengan ziarah ke makam ibu
dan Syekh Abd Wahad dan ke makan Syekh Zainuddin. Kemudian diikuti ramah
tamah sekitar seribu peserta silatnas.
============================================================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tolong komentarnya berhubungan dengan artikel yang ada
Komentar yang mengarah ke tindakan spam akan di hapus atau terjaring secara otomatis oleh spam filter.