Rd.Adi Kusuma

Rd.Adi Kusuma

Jumat, 28 Desember 2012

Rahasia Bilangan dalam Shalat


 Assalamu'alaikum Wr.Wb
Para pembaca sekalian tahukan anda bahwa :
Muhammad Ali at-Tirmidzi mengatakan bahwa shalat adalah tiang agama. Shalat merupakan perkara yang pertama kali difardhukan oleh Allah swt. kepada kaum muslimin.
Begitu pentingnya posisi shalat dalam Islam, sehingga pemaknaan atasnya tidak pernah habis. Seperti yang diungkapkan oleh Syaikh Nawawi al-Bantani mengenai rahasia bilangan dalam shalat.
Dalam kitabnya Syarah Sulamul Munajah menjelaskan adanya rahasia dibalik angka-angka dalam shalat. Lima waktu yang diwajibkan oleh Allah swt. kepada muslim menunjukkan rasa syukur atas nikmat yang diberikan-Nya atas lima indera perasa ‘panca indra’ sekaligus merupakan upaya menutup berbagai keburukannya.
Oleh karena itu dua raka'at shalat shubuh merupakan panjatan rasa syukur atas kedua bibir  yang terdapat dalam indera pengecap (mulut). Karena hanya dengan keduanyalah kita bisa merasai segala hal yang bersifat halus maupun kasar.
Sedangkan empat raka'at shalat dhuhur menunjuk pada rasa syukur kita atas indera penciuman (hidung) yang dapat mencium berbagai bau dari empat arah. Dengan demikian empat raka'at dhuhur sekaligus dapat dijadikan sebagai semangat menutup keburukan yang datang dari empat arah itu juga.
Empat raka'at shalat ashar merupakan apresiasi manusia rasa syukur atas indera pendengaran (telinga) yang dapat menerima berbagai jenis suara dari empat arah. Adapun tiga raka’at maghrib menunjukkan rasa syukur manusia atas kemampuan melihat yang datang dari tiga arah; depan, kanan dan kiri. Sedangkan penglihatan kearah belakang tidak mungkin bisa.
Adapun empat raka'at shalat isya’ merujuk pada rasa syukur manusia atas nikmat atas empat macam rasa; dingin, panas, pahit dan manis Demikianlah rahasia angka yang berhubungan dengan rakaat shalat.
wallahu'alam bi showab

Jumat, 30 November 2012

Al Fahm (Pemahaman)


1. Pemahaman tentang alam-makhluk tidak terkait dengan hakikat, dan hakikat tidak juga terkait dengan alam-makhluk. Pemikiran [yang asal-terima] adalah taqlid, dan taqlid-nya alam-makhluk tidak ada keterkaitannya dengan hakikat. Pengertian tentang hakikat itu sulit dicapai, makanya betapa lebih sulit lagi mencapai pengertian tentang hakikatnya-Hakikat (Allah). Apalagi, Allah itu di luar hakikat, dan hakikat tidak dengan sendirinya menyatakan 'ada'-Nya Allah.

2. Sang laron terbang di sekeliling nyala api hingga terbit fajar. Lalu, ia kembali ke teman-temannya, dan menceritakan keadaan (hal) spiritualnya dengan ungkapan yang penuh kesan. Ia berpadu (hulul) dengan geliatnya nyala api dalam hasratnya untuk mencapai Penyatuan (Tawhid) yang sempurna.

3. Cahayanya nyala api adalah Pengetahuan ('llm) hakikat, panasnya adalah Kenyataan ('Ayn) hakikat, dan Penyatuan dengannya adalah Kebenaran (Haqq) hakikat.

4. Ia merasa tidak puas dengan cahayanya ataupun dengan panasnya, sehingga ia melompat ke dalam nyala api langsung. Sementara itu, teman-temannya menantikan kedatangannya, supaya ia menceritakan kepada mereka tentang 'penglihatan' aktualnya, karena ia merasa tidak puas dengan kabar angin saja. Tetapi, ketika itu ia tengah tuntas sirna (fana'), musnah dan buyar ke dalam serpihan-serpihan, yang tersisa tanpa wujud, tanpa jasad ataupun tanda pengenal. Jadi, dalam peringkat (maqam) apa ia dapat kembali ke teman-temannya? Dan, keadaan (hal) spiritual apa yang tengah dicapainya sekarang? Ia yang sampai pada pandangan (bashirah) batin niscaya sanggup terlepas dari pekabaran saja. Juga ia yang sampai pada inti pandangan batin tidak lebih prihatin tentang pandangan batinnya.

5. Pemaknaan (masalah) ini tidak menyangkut manusia yang alpa, tidak juga manusia yang maya, atau manusia yang penuh dosa, ataupun manusia yang menuruti hawa-nafsunya semata.

6. Wahai kau yang ragu-ragu! Jangan persamakan 'aku' (insani) dengan 'Aku' Ilahi -- janganlah sekarang, janganlah di masa depan nanti, janganlah pula di masa lampau dulu. Bahkan, kendatipun 'aku' itu merupakan pencapaian seorang 'Arif, kendatipun ini
merupakan keadaan (hal) spiritual, namun itu bukanlah kesempurnaan. Kendatipun 'aku' adalah milik-Nya, namun 'aku' bukanlah Dia.

7. Bila kau memahami ini, maka pahamilah juga bahwa pemaknaan (masalah) itu bukanlah kebenaran bagi siapa pun kecuali (bagi) Muhammad (shalallahu 'alaihi wasallam), dan "Muhammad bukanlah bapak dari salah seorang kerabatmu" (Q. 33: 40) tapi Rasulullah (Utusan Allah) dan penutup para nabi (khatam an-nabiyyin). Ia mem-fana'-kan dirinya dari manusia dan jin, serta memejamkan matanya ke (arah) 'mana' pun, hingga tidak lagi tersisa kepalsuan hati ataupun kemunafikan.

8. Ada suatu "jarak sepanjang dua busur" lebarnya (Q. 53: 9), atau lebih dekat lagi, saat ia mencapai gurun Pengetahuan hakikat, dan "ia beritahukan hal itu dari hati lahirnya (fu'ad)" (Q. 53: 10). Ketika sampai pada Kebenaran hakikat, ia menanggalkan hasratnya di situ, dan mempersembahkan dirinya naik ke Hadirat Sang Pengasih. Setelah mencapai Kebenaran (Allah), ia pun kembali sambil berkata: "Hati-batinku bersujud kepada-Mu, dan hati-lahirku beriman kepada-Mu." Ketika mencapai Pohon-Batas Penghabisan, ia berkata: "Aku tidak dapat memuji-Mu sebagaimana mestinya Engkau dipuji." Dan, ketika mencapai Kenyataan hakikat, ia berkata: "Hanya Engkau Sendiri yang dapat memuji Diri-Mu." Ia menanggalkan lagi hasratnya, dan menuruti panggilan tugasnya, "hatinya tidak berdusta tentang apa yang dilihatnya" (Q. 53:11) di maqam dekat Pohon-Batas-Terjauh (Sidrat al-Muntaha). (Q. 53:14) Ia tidak berpaling ke kanan, ke arah hakikat sesuatu, tidak juga ke kiri, ke arah Kenyataan hakikat. “Penglihatan (Nabi Muhammad) tidak berkisar daripada menyaksikan Dengan tepat (akan pemandangan Yang indah di situ Yang diizinkan melihatnya), dan tidak pula melampaui batas." (Q. 53: 17)
__________________________________________________

Selasa, 20 November 2012

Mencari Obat Hati dan Agama Kepada Para Waliyullaah dan Orang-orang Sholih


Di dalam kitab “Fathur Rabbani” karya Syeikh Abdul Qadir Jailani halaman 151 cetakan “Dar el-Fikr” diterangkan sebagai berikut:
من تقدم كانوا يطوفون الشرق و الغرب فى طلب الأولياء و الصالحين الذذين هم أطباء القلوب و الدين فاذا حصل لهم واحد منهم طلبوا منه دواء لأديانهم, و أنتم اليوم أبغض اليكم الفقهاء و العلماء و الأولياء الذين هم المؤدبون و المعلمون فلا جرم لا يقع بأيديكم الدواء , أيش ينفع علمي و طبي معك فكل يوم أبني لك أساسا و أنت تنقضه , أصف لك دواء و لا تستعمله , أقول لك لا تأكل هذه اللقمة فيها سم كل هذه ففيها دواء فتخالفني و تأكل التي فيها السم , عن قريب يظهر ذلك فى بنية دينك و ايمانك , انى أنصحك و لا أفزع من سيفك و لا اريد ذهبك , من يكون مع الله عز و جل لا يفزع من أحد فى الجملة لا من جن و لا من انس و لا من حشرات الأرض و سباعها و هوامها و لا من شيئ من المخلوقات بأسرها , لا تجدروا بالشيوخ العمال بالعلم أنتم جهال بالله عز و جل و رسله و الصالحين من عباده ال الواقفين معه الراضين بأفعاله , كل السلامة فى الرضا بالقضاء و قصى الأمل و الزهد فى الدنيا فاذا رأيتم فى أنفسكم ضعفا فدونكم بذكر الموت و قصر الأمل , قال صلى الله عليه و لم حكاية عن الله عز و جل :
ما تقرب المتقربون الي بأفضل من أداءما افترضت عليهم , و لا يزال عبدي يتقرب الي بالنوافل حتى أحبه فاذا أحببته كنت له سمعا و بصرا و يدا و مؤيدا , فبي يسمع و بي ينصر و بي يبطش

Artinya:
“Orang-orang pada zaman dahulu menjelajahi bumi bagian Timur dan Barat 
untuk mencari para waliyullah dan orang-orang shaleh, 
di mana mereka adalah para dokter hati dan agama. 
Ketika mereka menemukan salah satu wali Allah atau orang shaleh, 
mereka akan meminta obat bagi agama mereka. 
Sedangkan kalian, 
saat ini orang yang paling kalian benci adalah para fuqaha (para ahli fiqih), ulama, dan para wali Allah, yang statusnya sebagai para pendidik dan pengajar. 
Maka, tidak heran jika kamu tidak mendapatkan obat bagi agamamu.

Ilmu dan obat apapun yang aku berikan, itu akan memberi manfa’at kepadamu.
 Setiap hari aku membangun pondasi bagimu, tapi malah kamu merusaknya. 
Aku sudah menjelaskan obatnya kepadamu, “Jangan makan makanan itu, 
karena di dalamnya mengandung racun, makan ini saja karena di dalamnya obat.
” Namun, kamu tidak mau menuruti perkataanku dengan memakan makanan yang mengandung racun. Sebentar lagi dampak makanan tersebut akan kelihatan pada bangunan agama dan imanmu. 
 Aku hanya menasehatimu. 

Aku tidak takut pada pedangmu dan tidak menginginkan emasmu. 
Barangsiapa yang senantiasa bersama Allah Subhanahu wa ta’aala, 
maka tidak akan takut pada siapa pun, baik pada jin, manusia, serangga tanah, binatang buas, 
maupun jenis makhluk lainnya.

Janganlah kamu melecehkan para guru yang beramal dengan ilmunya, 
sedang kamu adalah orang yang tidak mengenal Allah Subhanahu wa ta’aala, 
para Rasul-Nya, orang-orang shaleh dari hamba-Nya 
yang senantiasa bersama-Nya dan ridha pasa segala perbuatan-Nya. 
Seluruh keselamatan hanya dapat diperoleh dengan keridhaan pada qadha-Nya,
 memperoleh harapan, dan menjauhi dunia. 
Jika kamu melihat kelemahan dalam dirimu, 
segeralah kamu mengingat mati dan memperpendek harapan. 

Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda,  hikayat dari Allah ‘azza wa jalla, 
“Para mutaqarrib (orang-orang yang mendekatkan diri pada Allah) 
tidak mendekatkan diri kepadaku dengan sesuatu yang lebih utama 
dari apa yang telah Aku wajibkan kepada mereka dan hamba-Ku terus mendekatkan diri kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah sampai Aku mencintainya. 
Jika Aku sudah mencintainya, 
Aku menjadi penglihatan, pendengaran, tangan, dan penolong baginya. 
Dengan diri-Ku ia mendengar, dengan diri-Ku ia melihat, dan dengan diri-Ku ia menyerang dengan penuh kekuatan.”

Wallaahu a’lam.

Senin, 19 November 2012

Pembebasan Al-Quds dan Perjanjian Aelia oleh Umar bin AlKhattab RA

Setelah melakukan pembebasan Al Quds (Aelia) dari tangan Romawi pada tahun 15H / 636M, sayyidina Umar bin Al Khattab RA kemudian menuliskan perjanjian yang menjamin keamanan dan keselamatan seluruh penduduk Aelia, baik jiwa, harta maupun kebebasan beragama mereka.
Perjanjian tersebut kemudian terkenal dengan nama Perjanjian Aelia (ميثاق ايليا) atau Perjanjian Umar (العهدة العمرية) yang ditanda tangani pada tanggal 20 Rabiul Awal 15H (5-2-636 M). Isi perjanjian tersebut sebagai berikut:

بسم الله الرحمن الرحيم
هذا ما أعطى عبد الله عمر أمير المؤمنين أهل إيليا من الأمان. أعطاهم أماناً لأنفسهم وأموالهم ولكنائسهم وصلبانهم وسقيمها وبريئها وسائر ملتها.
أنه لا تسكن كنائسهم ولا تهدم ولا ينتقص منها ولا من حيزها ولا من صليبهم ولا من شئ من أموالهم، ولا يكرهون على دينهم ولا يضار أحد منهم ولا يسكن بإيليا معهم أحد من اليهود.
وعلى أهل إيليا أن يعطوا الجزية كما يعطى أهل المدائن. وعليهم أن يخرجوا منها الروم واللصوت. فمن أخرج منهم فإنه آمن على نفسه وماله حتى يبلغوا مأمنهم، ومن أقام منهم فهو آمن وعليه مثل ما على أهل إيليا من الجزية يبلغوا مأمنهم، ومن أقام منهم فهو أمن وعليه مثل ما على أهل إيليا من الجزية ومن أحب من أهل إيليا أن يسير بنفسه وماله مع الروم يخلى بيعهم وصلبهم حتى بلغوا أمنهم، ومن كان بها من أهل الأرض قبل مقتل فلان فمن شاء منهم قعد وعليه ما على أهل إيليا من الجزية، ومن شاء صار مع الروم، ومن شاء رجع إلى أهله. فإنه لا يؤخذ منهم شئ حتى يحصد حصادهم.
وعلى ما في هذا الكتاب عهد الله وذمة رسوله وذمة الخلفاء وذمة المؤمنين إذا أعطوا الذي عليهم من الجزية.
شهد على ذلك خالد بن الوليد وعمرو بن العاص وعبد الرحمن بن عوف ومعاوية بن أبى سفيان وكتب وحضر سنة خمس عشر

Terjemah:
Dengan Nama Allah Yang Maha Esa Pengasih dan Maha Penyayang.

Inilah jaminan keamanan yang diberikan `Abdullah, Umar, Amir al-Mu`minin kepada penduduk Aelia:
Ia menjamin mereka keamanan untuk jiwa dan harta mereka, dan untuk gereja-gereja dan salib-salib mereka, serta dalam keadaan sakit ataupun sehat, dan untuk agama mereka secara keseluruhan. Gereja-gereja mereka tidak akan diduduki dan tidak pula dirusak, dan tidak akan dikurangi sesuatu apapun dari gereja-gereja itu dan tidak pula dari lingkungannya; serta tidak dari salib mereka, dan tidak sedikitpun dari harta kekayaan mereka (dalam gereja-gereja itu). Mereka tidak akan dipaksa meninggalkan agama mereka, dan tidak dari seorangpun dari mereka boleh diganggu. Dan di Aelia tidak seorang Yahudi pun boleh tinggal bersama mereka.
Atas penduduk Aelia diwajibkan membayar jizyah sebagai jizyah itu dibayar oleh penduduk kota-kota yang lain (di Syria). Mereka berkewajiban mengeluarkan orang-orang Romawi dan kaum al-Lashut dari Aelia. Tetapi jika dari mereka (orang-orang Romawi) ad keluar (meninggalkan Aelia) maka ia (dijamin) aman dalam jiwa dan hartanya sampai tiba di daerah keamanan mereka (Romawi). Dan jika ada yang mau tinggal, maka iapun akan dijamin aman. Dia berkewajiban membayar jizyah seperti kewajiban penduduk Aelia. Dan jika ada dari kalangan penduduk Aelia yang lebih senang untuk menggabungkan diri dan hartanya dengan Romawi, serta meninggalkan gereja-gereja dan salib-salib mereka, maka keamanan mereka dijamin berkenaan dengan jiwa mereka, gereja mereka dan salib-salib mereka, sampai mereka tiba di daerah keamanan mereka sendiri (Romawi). Dan siapa saja yang telah berada di sana (Aelia) dari kalangan penduduk setempat (Syria) sebelum terjadinya perang tertentu (yakni, perang pembebasan Syrya oleh tentara Muslim), maka bagi yang menghendaki ia dibenarkan tetap tinggal, dan ia diwajibkan membayar jizyah seperti kewajiban penduduk Aelia; dan jika ia menghendaki, ia boleh bergabung dengan orang-orang Romawi, atau jika ia menghendaki ia boleh kembali kepada keluarganya sendiri. Sebab tidak ada suatu apapun yang boleh diambil dari mereka (keluarga) itu sampai mereka memetik panenan mereka.
Atas apa yang tercantum dalam lembaran ini ada janji Allah, perlindungan Rasul-Nya, perlindungan para Khalifah dan perlindungan semua kaum beriman, jika mereka (penduduk Aelia) membayar jizyah yang menjadi kewajiban mereka.
Menjadi saksi atas perjanjian ini Khalod Ibn al-Walid, `Amr Ibn al-Ashsh, `Abdurrahman Ibn `Awf, dan Mu`awiyah Ibn Abi Sufyan. Ditulis dan disaksikan tahun lima belas (Hijriah).

Enam Pertanyaan Imam al-Ghazali


Suatu hari, Imam al-Ghazali berkumpul dengan murid-muridnya. Lalu  beliau bertanya beberapa hal. Pertama, "Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?. "

Murid-muridnya ada yang menjawab orang tua, guru, teman, dan kerabatnya. Imam al-Ghazali menjelaskan semua jawaban itu benar. Tetapi yang paling dekat dengan kita adalah "Mati". Sebab itu sudah janji Allah SWT bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati. (QS. Ali Imran 185)

Lalu Imam al-Ghazali meneruskan pertanyaan yang kedua. "Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?".

Murid-muridnya ada yang menjawab negara Cina, bulan, matahari, dan bintang-bintang. Lalu Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa semua jawaban yang mereka berikan adalah benar. Tapi yang paling benar, ujarnya, adalah "MASA LALU."

Bagaimanapun kita, apapun kendaraan kita, tetap kita tidak bisa kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama.

Lalu Imam al-Ghazali meneruskan dengan pertanyaan yang ketiga. "Apa yang paling besar di dunia ini?".

Murid-muridnya ada yang menjawab gunung, bumi, dan matahari. Semua jawaban itu benar kata Imam Ghozali. Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah "Nafsu" (QS. Al- a'araf: 179). Maka kita harus hati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu membawa kita ke neraka.

Pertanyaan keempat adalah, "Apa yang paling berat di dunia ini?".

Ada yang menjawab baja, besi, dan gajah. Semua jawaban sampean benar, kata Imam Ghozali, tapi yang paling berat adalah "memegang AMANAH" (QS. Al Ahzab 72). Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah SWT meminta mereka untuk menjadi kalifah (pemimpin) di dunia ini. Tetapi manusia dengan sombongnya menyanggupi permintaan Allah SWT, sehingga banyak dari manusia masuk ke neraka karena ia tidak bisa memegang amanahnya.

Pertanyaan yang kelima adalah, "Apa yang paling ringan di dunia ini?".

Ada yang menjawab kapas, angin, debu, dan daun-daunan. Semua itu benar kata Imam al-Ghazali. Namun menurut beliau yang paling ringan di dunia ini adalah 'meninggalkan SHALAT'. Gara-gara pekerjaan kita tinggalkan shalat, gara-gara meeting kita juga tinggalkan shalat.

Lantas pertanyaan keenam adalah, "Apakah yang paling tajam di dunia ini?".

Murid-muridnya menjawab dengan serentak, pedang. Benar kata Imam al-Ghazali. Tapi yang paling tajam adalah "lidah MANUSIA". Karena melalui lidah, manusia dengan gampangnya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri.

Minggu, 18 November 2012

Relasi Guru-Murid


Assalamu'alaikum Wr.Wb.
Pembaca sekalian , tahukah anda ...?

Ketika Nabi Musa berjumpa dengan guru yang dicarinya dan memohon kepadanya agar diterima menjadi murid, persyaratan yang diminta gurunya ialah kesabaran untuk menjaga tata krama seorang guru, yakni bersabar menanti tahapan pelajaran tanpa mendesak atau mempertanyakan sesuatu yang belum dibahas, tidak menentang, dan tidak memprotes gurunya.

Dalam Alquran dibahasakan Nabi Musa menaruh harapan besar untuk diterima menjadi murid, Musa berkata kepada Khidir, “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (QS. Al-Kahfi: 66).

Lalu sang guru menjawab, “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku.” (QS. Al-Kahfi: 67).

Musa agak tercengang sejenak sambil berpikir bagaimana mungkin calon guru yang baru dijumpainya mengerti kalau dia tidak sanggup untuk bersabar. Musa kembali menjawab, “Insya Allah, kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.” (QS. Al-Kahfi: 69).

Akhirnya Musa diterima sebagai murid, namun ketentuan pertama yang harus dipenuhi Musa dari gurunya ialah “Jika kamu mengikutiku, janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.” (QS. Al-Kahfi: 70).

Keduanya berangkat ke sebuah tempat yang tidak jelas, dan keduanya tiba di sebuah tempat di pinggir pantai. Di pantai sang guru melakukan sesuatu yang sangat aneh bagi Musa, yaitu melubangi perahu-perahu nelayan miskin di tempat itu. Musa spontan menyatakan keberatannya, “Mengapa kamu melobangi perahu itu, yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.” (QS. Al-Kahfi: 71).

Pertanyaan Musa yang walaupun diyakini secara akal normal tidak ada yang salah, namun sang guru menganggap sikap batin yang mendorong Musa mengeluarkan pertanyaan dan tanggapan belumlah mencerminkan murid yang pantas untuk memperoleh ilmu ladunni (QS. Al-Kahfi: 65), lalu gurunya memberikan teguran, “Bukankah aku telah berkata, ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku.” (QS. Al-Kahfi: 72).

Menyadari kekeliruan dengan kelancangannya mempertanyakan kebijakan sang guru, Musa memohon maaf kepada gurunya, “Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku, dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku.” (QS. Al-Kahfi: 73).

Apa yang dialami Musa mengingatkan kita kepada sikap malaikat yang mempertanyakan kebijakan Tuhan untuk menciptakan pendatang baru yang bernama Adam dari jenis manusia.

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’.” (QS. Al-Baqarah: 30).

Menanggapi tanggapan balik Allah di ujung ayat tersebut, malaikat juga memohon ampun terhadap kelancangannya. “Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah: 32).

Seandainya Musa menyadari dan belajar apa ending dari cerita malaikat ini tentu tidak akan terjadi teguran dari gurunya. Seperti kita ketahui, pada akhirnya malaikat memahami rahasia besar yang terkandung di dalam diri manusia mengapa ia diciptakan.

Permohonan sang murid diterima, dan keduanya kembali melanjutkan perjalanan. Ujian kedua terjadi bagi Musa ketika keduanya menjumpai kerumunan anak-anak kecil sedang bermain dan gurunya tiba-tiba dengan membunuh salah seorang di antaranya.

Alangkah kagetnya Musa dan spontan memprotes dan menyatakan penyesalan perbuatan gurunya dengan mengatakan, “Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar.” (QS. Al-Kahfi: 74).

Gurunya dengan tenang menegur muridnya dengan bahasa yang sama, “Bukankah sudah kukatakan kepadamu bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?” (QS. Al-Kahfi: 75).

Musa berusaha untuk bersabar dan meminta maaf kepada gurunya. Ia meyakinkan gurunya dengan mengatakan, “Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu. Sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku.” (QS. Al-Kahfi: 75). Akhirnya, sang guru mengizinkan Musa mengikutinya.

Perjalanan keduanya dilanjutkan ke suatu arah yang tidak jelas. Musa mulai melihat keraguan di dalam dirinya terhadap keabsahan gurunya. Seolah-olah ia ragu apakah ia tidak salah pilih guru.

Keduanya akhirnya berhenti di sebuah reruntuhan bangunan tua. Sang guru memintanya untuk membangun reruntuhan gedung ini. Musa dengan penuh semangat mengerjakannya dengan harapan mungkin di gedung inilah nanti akan mulai diajar, setelah sekian lama Musa belum pernah merasa diajar dari gurunya.

Alangkah kagetnya Musa setelah bangunan tua ini selesai dipugar lantainya, sang guru memintanya untuk meninggalkan tempat itu. Musa akhirnya bertanya untuk apa kita menghabiskan waktu dan energi membangun bangunan ini setelah selesai lalu ditinggalkan begitu saja.

Mendengarkan pertanyaan yang bernada protes ini, sang guru akan meninggalkan muridnya. Musa pun kelihatannya tidak keberatan karena yang diperoleh selama sekian lama hanyalah berbagai keanehan yang kontroversial.

Namun sebelum keduanya berpisah, sang guru sejenak memberikan penjelasan kepada muridnya. “Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.” (QS. Al-Kahfi: 79).

Sedangkan, pembunuhan anak kecil dijelaskan. “Dan kami menghendaki supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu, dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).” (QS. Al-Kahfi: 81).

Penjelasan terakhir mengenai pemugaran bangunan tua itu. “Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu. Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.” (QS. Al-Kahfi: 82).

Nabi Musa hanya bisa tercengang sesaat setelah gurunya meninggalkannya. Akhirnya Nabi Musa sadar bahwa pelajaran tidak mesti harus di dalam sebuah ruangan yang dilakukan dengan cara-cara pengajaran konvensional.

Belajar kearifan ternyata tidak mesti membutuhkan media yang lengkap. Pelajaran kearifan itu melekat di dalam pengalaman setiap derap langkah dan turun naiknya napas seorang anak manusia. Pengalaman hidup adalah guru kearifan paling sejati. Selamat belajar.

Sebutan ‘Sayyidina Muhammad’


lembaga fatwa resmi Mesir dalam fatwa no. 292, membahas mengenai hukum mengucap “Sayyiduna” kepada Rasulullah Shallallahu Alahi Wasallam. Fatwa ini dikeluarkan untuk merespon permohonan fatwa bernomor 2724, yang diajukan ke Dar Alifta, mengenai masalah tersebut.

Dalam fatwa itu disebutkan bahwa Nabi Shallallahu Alahi Wassalam merupakan “Sayyid” (tuan) bagi seluruh makhluk adalah ijma’ umat Islam. Bahkan beliau sendiri telah bersabda,”Aku adalah sayyid (tuan) anak Adam”, dan diriwayat lain disebutkan,”Aku sayyid (tuan) manusia”, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.

Sedangkan Allah sendiri juga memerintahkan manusia untuk memuliakan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam, yang artinya, ”Sesungguhnya Kami telah mengutusmu sebagai saksi dan pemberi kabar gembira serta pemberi peringatan agar kalian beriman kepada Allah dan rasul-Nya. Dan menolong-Nya, mengagungkan-Nya serta bertasbih kepada-Nya di pagi hari dan petang.” (Al Fath: 8-9)


Sebagian ulama menilai bahwa perintah mengagungkan, kembali kepada Allah dan Rasul-Nya. Menurut Imam Qatadah dan As Suddi, mengagungkan Rasulullah termasuk mensayyidkan beliau.

Sahabat Sebut Nabi dengan “Sayyid”

Dari Sahl bin Hunaif Radhiyallahu anhu, beliau mengatakan, ”Kami melalui tempat air mengalir, maka aku turun dan mandi dengannya, setelah itu aku keluar dalam keadaan demam. Maka hal itu dikabarkan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Alihi Wasallam. Maka beliau bersabda, ”Perintahkan Aba Tsabit untuk meminta perlindungan.” Saya mengatakan,”Wahai Sayyidku (tuanku) apakah ruqyah berfungsi?” Beliau bersabda,”Tidak ada ruqyah kecuali karena nafs (ain), demam atau bisa.” (Al Hakim, beliau menyatakan isnadnya shahih)

Shalawat Ibnu Mas’ud dan Ibnu Umar gunakan “Sayyid”

Ibnu Mas’ud dan Ibnu Umar juga menyebut “Sayyid” untuk Rasulullah dalam shalawat beliau berdua. Ibnu Mas’ud pernah mengajarkan,”Jika kalian bershalawat kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, maka baguskanlah shalawat untuk beliau, sesungguhnya kalian tidak tahu bahwa shalawat itu ditunjukkan kepada beliau.

Maka, mereka mengatakan kapada Abdullah bin Mas’ud,’Ajarilah kami.’ Ibnu Mas;ud menjawab,’Ucapkanlah, Ya Allah jadikanlah shalat-Mu dan rahmat-Mu dan berkah-Mu untuk Sayyid Al Mursalin (tuan para rasul), Imam Al Muttaqin (imam orang-orang yang bertaqwa), Khatam An Nabiyyin (penutup para nabi), Muhammad hamba-Mu dan rasul-Mu, Imam Al Khair (imam kebaikan), Qaid Al Khair (pemimpin kebaikan) dan Rasul Ar Rahmah (utusan pembawa rahmat).’” (Riwayat Ibnu Majah, dihasankan oleh Al Hafidz Al Mundziri)

Atsar serupa juga diriwayatkan dari Ibnu Umar, sebagaimana diriwayatkan Imam Ahmad dalam Al Musnad, dengan sanad hasan pula.

Walhasil, menyebut Rasulullah dengan gelar “Sayyid” adalah perkara yang disyariatkan.*

Abu Nawas Melarang Rukuk dan Sujud dalam Shalat

Khalifah Harun Al-Rasyid marah besar pada sahibnya yang karib dan setia, yaitu Abu Nawas. Ia ingin menghukum mati Abu Nawas setelah menerima laporan bahwa Abu Nawas mengeluarkan fatwa tidak mau rukuk dan sujud dalam salat.

Lebih lagi, Harun Al-Rasyid mendengar Abu Nawas mengatakan bahwa dirinya khalifah yang suka fitnah! Menurut pembantu-pembantunya, Abu Nawas layak dipancung karena melanggar syariat Islam dan menyebar fitnah.

Khalifah mulai terpancing. Tapi untung ada seorang pembantunya yang memberi saran, hendaknya Khalifah melakukan tabayun (konfirmasi). Abu Nawas pun digeret menghadap Khalifah. Kini, ia menjadi pesakitan.

"Hai Abu Nawas, benar kamu berpendapat tidak rukuk dan sujud dalam salat?" tanya Khalifah ketus.

Abu Nawas menjawab dengan tenang, "Benar, Saudaraku."

Khalifah kembali bertanya dengan nada suara yang lebih tinggi, "Benar kamu berkata kepada masyarakat bahwa aku, Harun Al-Rasyid, adalah seorang khalifah yang suka fitnah?"

Abu Nawas menjawab, ”Benar, Saudaraku.”

Khalifah berteriak dengan suara menggelegar, "Kamu memang pantas dihukum mati, karena melanggar syariat Islam dan menebarkan fitnah tentang khalifah!"

Abu Nawas tersenyum seraya berkata, "Saudaraku, memang aku tidak menolak bahwa aku telah mengeluarkan dua pendapat tadi, tapi sepertinya kabar yang sampai padamu tidak lengkap. Kata-kataku dipelintir, dijagal, seolah-olah aku berkata salah."

Khalifah berkata dengan ketus, "Apa maksudmu? Jangan membela diri, kau telah mengaku dan mengatakan kabar itu benar adanya."

Abu Nawas beranjak dari duduknya dan menjelaskan dengan tenang, "Saudaraku, aku memang berkata rukuk dan sujud tidak perlu dalam shalat, tapi dalam salat apa? Waktu itu aku menjelaskan tata cara shalat jenazah yang memang tidak perlu rukuk dan sujud."

"Bagaimana soal aku yang suka fitnah?" tanya Khalifah.

Abu Nawas menjawab dengan senyum, "Kalau itu, aku sedang menjelaskan tafsir ayat 28 surat Al-Anfal, yang berbunyi ketahuilah bahwa kekayaan dan anak-anakmu hanyalah ujian bagimu. Sebagai seorang khalifah dan seorang ayah, anda sangat menyukai kekayaan dan anak-anak, berarti anda suka ’fitnah’ (ujian) itu."

Mendengar penjelasan Abu Nawas yang sekaligus kritikan, Khalifah Harun Al-Rasyid tertunduk malu, menyesal dan sadar. Rupanya, kedekatan Abu Nawas dengan Harun Al-Rasyid menyulut iri dan dengki di antara pembantu-pembantunya. Abu Nawas memanggil Khalifah dengan "ya akhi" (saudaraku). Hubungan di antara mereka bukan antara tuan dan hamba. Pembantu-pembantu khalifah yang hasud ingin memisahkan hubungan akrab tersebut dengan memutarbalikkan berita.

SYUKUR

 Allah Swt. telah berfirman: ”Dan   sedikit sekali dan hamba-hamba-Ku  yang berterima kasih.” (Q.s. Saba’: 13),  “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu.” (Q.s. Ibrahim: 7).
Ketika bertahajjud Rasulullah Saw. menangis, lalu Aisyah r.a. bertanya, “Apa yang menyebabkan Rasulullah menangis, bukankah Allah telah mengampuni dosa-dosa Anda yang terdahulu dan yang akan datang?”
Rasulullah Saw. Menjawab, ”Apakah aku tidak akan menjadi hamba yang bersyukur?”
Rasulullah Saw juga bersabda, ”Pada hari Kiamat diserukan kepada orang-orang yang suka memuja Allah, agar bangun. Maka bangkitlah segolongan manusia, lalu ditegakkan sebuah panji bagi mereka, kemudian mereka masuk surga.” Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah orang-orang yang suka memuji itu?” Beliau menjawab, “Mereka yang selalu bersyukur kepada Allah setiap saat.”
Sabdanya, “Pujian itu merupakan pakaian Yang Maha Pengasih.”

Maqam Syukur
Syukur termasuk maqam yang tinggi. Maqam syukur lebih tinggi dari sabar, khauf, zuhud dan maqam-maqam lainnya yang telah disinyalir sebelumnya. Sebab, maqam-maqam itu tidak diproyeksikan untuk diri sendiri, tapi untuk pihak lain. Sabar misalnya, ditujukan untuk menaklukkan hawa nafsu, khauf merupakan cambuk yang menggiring orang yang takut menuju maqam-maqam yang terpuji, dan zuhud merupakan sikap melepaskan diri dari ikatan-ikatan hubungan yang bisa melupakan Allah Swt. Sedangkan syukur itu dimaksudkan untuk diri sendiri, karenanya, ia tidak terputus di dalam surga. Sedangkan maqam-maqam lainnya, tobat, khauf, sabar dan zuhud tidak ada lagi di surga. Maqam-maqam itu telah terputus dan habis masa berlakunya. Beda dengan syukur, ia abadi di dalam surga. Itulah sebabnya Allah Swt. berfirman:
“Dan penutup doa mereka (penghuni surga) ialah, ‘Alhamdulillahi Rabbil Alaamiin (Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam)’.” (Q.s. Yunus: 10).

Anda akan mengetahui hal tersebut, jika Anda telah mengerti tentang hakikat syukur itu sendiri yang terdiri dari tiga rukun: Ilmu, tingkah laku dan amal.

Rukun pertama: Ilmu
Ilmu dalam konteks ini berarti mengetahui dan mengerti tentang nikmat dari Dzat Pemberi nikmat. Seluruh nikmat berasal dari Allah Swt, Dia-lah Yang Maha Tunggal. Seluruh perantaranya merupakan obyek yang ditundukkan. Pengetahuan dan pengertian semacam ini ada di belakang penyucian dari tauhid. Keduanya masuk dalam kategori syukur; bahkan tahap pertama dalam pengertian atau pengenalan iman adalah penyucian (taqdis).
Jika telah mengenal Dzat Yang Qudus, Anda telah tahu bahwa Yang Qudus itu tiada lain hanyalah Dzat Yang Esa, maka inilah yang disebut tauhid.
Kemudian, jika Anda telah mengerti bahwa seluruh yang ada di alam semesta ini merupakan hal yang diciptakan dan bersumber dari Yang Maha Tunggal itu, dan seluruhnya merupakan nikmat dari-Nya, maka itulah yang disebut pujian (al-hamdu).

Dengan struktur sedemikian rupa, diisyaratkan dalam sabda Rasulullah Saw: “Barangsiapa mengucapkan Subhanallah (Maha Suci Allah), baginya sepuluh kebaikan, dan barangsiapa mengucapkan La Ilaha Illallah (tiada Tuhan selain Allah), baginya duapuluh kebaikan, dan barangsiapa mengucapkan Alhamdulillah (segala puji bagi Allah), maka baginya tigapuluh kebaikan.”
Yang demikian itu, karena penyucian dan pentauhidan, sekaligus masuk dalam lingkup pujian terhadap Allah Swt. Derajat-derajat itu dikriteriakan dengan pengetahuan tentang struktur tersebut. Sementara keutamaan gerak ucapan, bergantung pada titik tolak peluncurannya dan pengetahuan atau bergantung sejauhmana ucapan itu mampu memperbaharui akidah dalam kalbu. Sebab, mulut merupakan sarana untuk menafIkan kelalaian agar pengaruh kealpaan itu bisa musnah.
Jika Anda berkeyakinan, bahwa ada pihak lain selain Allah mempunyai peran dalam nikmat yang tercurah kepada Anda, maka pujian Anda tidak sah dan tidak benar, sehingga ma’rifat dan syukur Anda tidak sempurna.
Anda serupa dengan orang yang memperoleh hadiah dari raja. Orang itu melihat bahwa dalam pemberian hadiah tersebut terdapat campur tangan seorang menteri. Karena turut mempermudah dan mempercepat pemberian hadiah tersebut. Semua itu merupakan dualisme dalam nikmat. Ketika menerima nikmat itu, rasa gembira anda mendua; kepada si perantara dan kepada Sang Maha Pemberi.
Benar, jika Anda misalnya, melihat bahwa anugerah hadiah kepada Anda karena penandatanganan sang raja dengan penanya, maka pena itu jangan sampai mengurangi kadar syukur Anda. Sebab, Anda tahu bahwa pena tersebut tunduk dan ditundukkan oleh-Nya.
Jadi, pena tersebut tidak ikut campur tangan dan melakukan intervensi apa pun dalam nikmat. Sebab itu, janganlah kalbu Anda mendua, mengarahkan rasa gembira pada pena dan mengarahkan rasa syukur kepada sang raja. Karena itu pula, kadang-kadang tidak menoleh kepada bendahara dan wakilnya, yang dia tahu bahwa mereka berdua tunduk dan terpaksa memberi setelah adanya perintah. Keduanya tertundukkan atau tertaklukkan. Namun keduanya tidak berperan serta (turut campur tangan) dalam penganugerahan nikmat atau hadiah.

Begitu pula bila matahati seseorang telah terbuka. Ia tahu bahwa matahari, bulan dan bintang-bintang ditundukkan dengan perintah Allah Swt, seperti halnya pena, kertas dan tinta ketika dibuat penandatanganan. Hati manusia adalah perbendaharaan ilmu Allah, kunci-kuncinya ada di tangan Allah Swt. Lalu Allah membuka perbendaharaan tersebut dengan menundukkan beberapa perantara yang pasti, hingga yakin bahwa kebaikan perbendaharaan itu terdapat dalam penyerahan, misalnya. Ketika demikian, penyerahan itu tidak bisa ditinggalkan. Karena itu, ia terdesak dan perlu memilih faktor-faktor ikhtiar tersebut, sebab tidak seorang pun memberi sesuatu kepada Anda, kecuali untuk tujuan pribadi, yaitu untuk suatu keuntungan tertentu di masa yang akan datang dan untuk mendapatkan pujian pada saat itu pula, atau tujuan-tujuan lainnya. Dan andaikata dia tidak tahu, bahwa keuntungan dirinya tiada bermanfaat bagi diri Anda, dia tidak akan memberi sesuatu kepada Anda. Jadi, dia itu bukanlah pemberi nikmat atau anugerah kepada Anda, sebab dengan pemberian itu ia mempunyai rencana dan usaha tersendiri bagi kepentingan dirinya. Pemberi nikmat yang sebenarnya kepada Anda itu adalah, yang mampu menundukkan seluruh faktor atau sebab kepadanya. Dia juga menyatakan pada dirinya, bahwa tujuannya bergantung pada penunaian dan pemberian nikmat.
Jika Anda telah paham dan mengerti tentang persoalan di atas, Andalah seorang yang bertauhid dan bersyukur, bahkan pemahaman dan pengertian semacam ini merupakan inti syukur.
Nabi Musa as. dalam munajat beliau pernah berkata, “Tuhanku, Engkau menciptakan Adam dengan tangan-Mu sendiri, kemudian Engkau kerjakan, Engkau kerjakan sendiri. Lalu jika demikian, bagaimana mensyukuri-Mu?”
Allah Swt. menjawab, “Dia cukup tahu bahwa hal itu berasal dari Ku, pengertiannya merupakan syukur (kepada-Ku).”

Rukun kedua: Tingkah laku ruhani
Tingkah laku ruhani ini merupakan buah dari pengetahuan di atas. Yaitu, rasa syukur kepada Sang Pemberi nikmat yang disertai dengan ketundukan dan pengagungan.

Orang yang dihadiahi seekor kuda oleh seorang raja, rasa gembira muncul dari tiga hal. Pertama, gembira karena bisa memperoleh manfaat dari kuda tersebut. Kedua, gembira karena hal tersebut merupakan pertanda, bahwa sang raja sangat memperhatikannya. Dia akan diberi hadiah lebih besar lagi dari sekadar seekor kuda. Ketiga, bahwa agar kuda itu menjadi kendaraannya untuk menghadap raja dan mengabdi kepadanya.
Sasaran sikap pertama, bukanlah bentuk syukur. Itu sekadar rasa gembira terhadap nikmat, bukan rasa syukur terhadap sang pemberi nikmat. Sikap kedua, dikategorikan syukur, namun syukur yang lemah jika dibanding dengan sikap ketiga. Sasaran dengan sikap ketiga itu menunjukkan, bahwa syukur yang sempurna adalah, rasa syukur atas karunia atau dibukanya pintu nikmat oleh Allah. Bukan rasa syukur yang berupa kegembiraan terhadap nikmat, dan perspektif nikmat itu sendiri, yang terkadang malah melalaikan Allah swt. Tetapi dari sisi, bahwa nikmat itu merupakan perantara kepada-Nya, sebab dengan nikmat itulah kebaikan-kebaikan menjadi sempurna.
Tanda-tandanya adalah, dia tidak bersuka cita dengan segala macam nikmat yang dapat melupakan dirinya kepada Allah Swt, tapi justru bersedih karenanya. Ia justru bersuka cita karena adanya larangan-larangan Allah yang berupa kesibukan dengan urusan duniawi dan segala bentuk kenikmatannya. Inilah bentuk syukur yang paling sempurna.
Orang yang tidak bisa merealisasikan syukur dengan versi yang sempurna ini ia wajib bersyukur dengan versi kedua.
Sedangkan syukur dengan versi pertama, bukanlah syukur. Itu sekadar rasa gembira terhadap nikmat yangjatuh ke tangannya, bukan rasa syukur kepada Sang Pemberi nikmat.

Rukun ketiga: Amal
Artinya, dengan nikmat tersebut untuk mencintai-Nya, bukan durhaka kepada-Nya. Yang demikian ini, hanya dipahami orang yang mengenal hikmah Allah kepada seluruh makhluk-Nya. Mengapa Dia menciptakan segala sesuatu? Penjelasan tentang hal ini sangat panjang. Uraiannya penulis jelaskan dalam kitab Al-Ihya’. Antara lain, misalnya dia harus tahu, bahwa mata sendiri adalah nikmat dari Allah. Mensyukuri mata adalah menggunakannya untuk menelaah Kitab Allah, untuk mengkaji ilmu pengetahuan, melakukan studi dan riset tentang langit dan bumi, agar dia mampu menyerap pelajaran darinya dan mengagungkan Sang Penciptanya. Dia juga harus menutupi matanya dari segala bentuk aurat kaum Muslimin.
Kemudian menggunakan telinganya untuk menyimak peringatan dan segala hal yang bermanfaat di akhirat nanti, berpaling dari aktivitas mendengarkan kata-kata keji dan berlebihan.
Menggunakan lisan untuk berdzikir dan memuji Allah, sebagai rasa syukur tanpa keluhan. Sebab, orang yang ditanya tentang keadaannya, lalu mengeluh, maka dia itu tergolong pelaku maksiat. Karena dia mengadukan milik Sang Maha Raja kepada seorang budak hina yang tidak dapat berbuat apa pun. Sebaliknya, bila bersyukur, maka dia tergolong orang taat.
Mensyukuri hati, berarti menggunakannya untuk berpikir, bertafakur, dzikir, berma’rifat, merahasiakan kebaikan dari niat yang baik.
Demikian pula dengan tangan, kaki dan seluruh anggota tubuh, seluruh harta-benda dan hal-hal lainnya yang tidak terbatas.

Syukur Sempurna
Yang mampu mencapai syukur sempurna adalah orang yang dilapangkan oleh Allah Swt. untuk menerima Islam, yang berarti juga ia mendapat cahaya dari Tuhannya. Ketika ia memandang segala yang ada, yang dilihat adalah hikmah, rahasia dan cinta kasih Allah kepada makhluk-Nya.
Bagi orang yang belum terbuka atau belum dibukakan rahasia-rahasia itu, harus mengikuti sunnah dan aturan-aturan syariat. Sebab, di balik semua itu terdapat rahasia-rahasia syukur.
Seyogyanya dia pun tahu, jika memandang kepada wanita yang bukan muhrim itu berarti dia tidak mensyukuri nikmat mata dan nikmat matahari. Sebab, seluruh nikmat, tidak bisa dilihat secara sempurna, kecuali dengan mata. Sedangkan melihat itu tidak akan terwujud tanpa mata dan cahaya matahari, sementara matahari hanya bisa sempurna dengan langit. Berarti dia tidak pula bersyukur atas nikmat Allah yang ada di langit dan di bumi.
Analogikan semua bentuk kemaksiatan dengan wacana tersebut. Karena maksiat itu sendiri terwujud, disebabkan adanya penciptaan langit dan bumi.
Ini adalah masalah yang dalam dan sangat luas, kami bahas dalam Bab “Syukur” pada kitab lhya’. Kami cukup memberikan satu contoh di sini: Allah menciptakan dinar dan dirham ibarat sebagai hakim dalam segala hubungan. Seluruh harga ditentukan dengan dinar dan dirham. Kalau tidak karenanya, seluruh hubungan sosial ekonomi terhalang. Bagaimana jadinya, membeli pakaian dengan minyak za’faran, dan binatang ternak dibeli dengan makanan? Dinar dan dirham, tidak memiliki hubungan, kecuali sebagai spirit harta-benda. Perspektif yang mengukur keduanya adalah fungsinya sebagai mata uang kontan. Orang yang menyimpan dirham dan dinar, seperti orang yang menahan seorang hakim Muslim, sehingga seluruh hukum terabaikan.
Orang yang menjadikan salah satu di antara dirham dan dinar sebagai milik pribadi, dia sama saja dengan mempekerjakan salah seorang hakim kaum Muslimin di bidang pertanian dan tekstil, yang bisa dilakukan oleh siapa saja, sehingga hukum menjadi tidak berlaku. Ini lebih parah lagi dibanding penahanan.
Barangsiapa membungakan dirham dan dinar, serta menjadikan sebagai sasaran perdagangannya dengan jalan menukar yang baik dengan yang jelek, itu sama halnya dengan orang yang memberi kesibukan seorang hakim sehingga lalai terhadap hukum. Kemudian ia jadikan sebagai bahan ejekan untuk dirinya, menyuruhnya untuk mengumpulkan kayu bakar, menyapu dan mengusahakan makanan pokok.
Itu semua merupakan tindakan lalim dan rekayasa terhadap hukum Allah Swt. atas makhluk dan hamba-hamba-Nya, serta merupakan tindakan memusuhi kecintaan kepada Allah Swt.
Siapa yang dibukakan cahaya mata hatinya, dia hanya tahu pada syariat verbal tanpa makna sebenarnya. Difirmankan kepadanya:
“Orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka (lalu dikatakan) kepada mereka, ‘lnilah harta-bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu’.” (Q.s. At-Taubah: 34-35).

Ditegaskan pula, “Barangsiapa minum dengan menggunakan bejana dari emas atau perak, maka seakan-akan api neraka jahannam bergolak dalam perutnya.”, Firman-Nya:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (Q.s. Al-Baqarah: 275).

Orang-orang yang saleh hanya terpaku pada aturan-aturan syariat, tapi tidak mengetahui rahasia-rahasianya. Sedangkan orang-orang arifin, bila telah mengetahui sendiri rahasia-rahasia dan telah menyaksikan langsung bukti-bukti syariat, semakin bertambahlah cahayanya. Sementara orang-orang buta yang bodoh, hanya mengerti aturan-aturan syariat belaka, mereka terlepas dari seluruh rahasia. Mereka tidak seperti hamba-hamba yang takwa, dan tidak seperti orang-orang merdeka yang mulia. Merekalah yang oleh Allah difirmankan:
“... akan tetapi telah tetaplah perkataan (ketetapan) dari pada-Ku ...“ (Q.s. As-Sajdah: 13).

Dan Allah Swt. berfirman:
“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa jang diturunkan kepadamu dan Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Sesungguhnya menjadi ingatlah orang-orang yang memiliki lubuk hati.”
(Q.s. Ar-Ra’d: 19).

Allah Swt. juga berfirman:
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia, ‘Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dulunya adalah orang yang melihat?’Allah berfirman, ‘Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan’.” (Q.s. Thaha: 124-126).

Tanda-tanda kebesaran Allah Swt. dan hikmah-Nya terdapat pada makhluk-Nya. Hal ini telah disampaikan kepada manusia melalui lisan para Nabi shalawat dan salam semoga terlimpah kepada mereka— seperti yang dijelaskan dalam globalitas syariat, dari awal sampai akhir. Tidak satu pun dari aturan-aturan syariat, yang tidak mengandung rahasia, keistimewaan dan hikmah, yang bisa dimengerti oleh orang yang mengetahui, namun diingkari oleh orang yang tidak mengenalnya.
Penjelasan tentang masalah ini sangat panjang, silakan Anda membacanya dalam Bab “Syukur” di kitab Ihya’.
Syukur tidak akan sempurna, kecuali orang yang teguh demi Allah saja, mengerjakan apa pun demi Allah, bukan untukyang lain, cintanya hanya kepada Allah Swt. Selanjutnya kami uraikan prinsip ikhlas dan jujur.

Jumat, 16 November 2012

Kekuatan Penyembuhan dari Meditasi Sufi


Berkat kekal kepada Mawlana Syekh Hisyam Kabbani al, Sebelum 5 Tahun yang lalu Meditasi Sufi istilah itu hampir tidak dikenal. Banyak orang Islam atau orang lain yang mengarahkan diri untuk Yoga, Meditasi, Reiki dan banyak filosofi New Age. Percaya tasawuf yang tidak memiliki pilihan ini, banyak kejutan tasawuf mereka adalah kustodian untuk 'realitas kuno hasil dari Syekh Hisyam Kabbani dan Baraka dari kami Sultan al-Awliya dan semua Naqshbandi Mashaykh mendorong konsep baru tentang Meditasi Sufi dan pergi setelah ajaran untuk membawa Terang Mawlana Syaikh kepada orang-orang dan langsung banyak dari mereka dengan realitas Sayedena Muhammad [s] dan Thariqat Naqshbandiyyat-il-`Aliyyah.Banyak dari tulisan-tulisan para empu sufi kuno 'hanya dalam hal bahasa Arab dan digunakan yang rumit dan asing bagi orang-orang Barat. Seperti Taffakur, Tadhakkur, Muraqabah, muhasabah, Insan Kamel oleh master seperti Imam Gazalli, Ibnu Arabi, Sayidina Abdul Qadir Gilani a semua Suci dari Jalan Sufi Naqsybandi. Hal ini tidak dapat diajarkan tanpa Guru seperti Syekh Hisyam Kabbani, yang mulai membuka realitas ini dengan cara yang mudah dicerna untuk penonton Barat. "Nabi [s] mengatakan," The Sun akan Bangkit dari barat "Itu Sun adalah Matahari Sayedena Muhammad [s] dan bimbingan dari The Sultan al-Awliya Muhammad Nazim al-Haqqani [Q] Kehebatan. Dari Mawlana Syaikh adalah bahwa ia menawarkan banyak rasa untuk semua orang dan mengajarkan kita untuk Ajarkan Khair - kebaikan dan cinta Inna Allah la yandhuru ila suwarikum wa Lakin yandhuru ila quloobikum, Sesungguhnya Allah tidak melihat gambar Anda, tetapi Dia melihat hati Anda..Nur Situs Web Muhammad memiliki banyak artikel terutama dari ajaran Mawlana Syekh Nazim al-Haqqani melalui Perwakilan Nya Syekh Hisyam Kabbani artikel-artikel yang dicatat. Artikel lain berasal dari ajaran Syekh Hisyam dimasukkan ke dalam konteks bahasa Inggris dasar bagi pembaca terutama Barat untuk menjadi akrab dengan spiritualitas Islam sangat kompleks dan visual bahasa Inggris dasar dan mudah untuk memperkenalkan pemirsa Barat dengan realitas Sufi.Nabi Muhammad Sayedena [s] telah mengatakan kepada kami, "berbicara kepada orang-orang sesuai dengan tingkat mereka."Ketika Anda berhubungan dengan orang-orang baru realitas Sufi kuno itu harus disajikan dalam konteks yang mereka kenal. Misalnya, orang Barat berbicara tentang Chi, yang sebagai Muslim kita akan definisikan sebagai Qudra atau Nasma, berarti energi tubuh. Mereka menggunakan Chakra kata untuk menggambarkan apa yang kita menyebutnya Lataif, Mereka berbicara tentang Breathing, dan tasawuf didasarkan pada napas Nafas ar-Rahma. Mereka melakukan Yoga yang berarti serangkaian gerakan tubuh mendekati Ilahi. Kita sebagai Muslim mengamati Salat, Doa.Kami menunjukkan kepada mereka persamaan dan kemudian dengan tasawuf Baraka Mawlana pergi lebih dalam dan memberi mereka pemahaman yang lebih lengkap dari apa yang sebelum mereka hanya dalam imajinasi, wahm. Qul ja'a al-haqqa wa al-zahaqqa baatila inna'l-baatila kaana zahooqa. Karena sesungguhnya ketika Kebenaran datang Kebohongan Harus Mati kepalsuan sifatnya semakin merosot.Nur Muhammad situs Web dan Pusat Meditasi Sufi dan Buku Memiliki lebih dari 1000 Pengunjung baru per hari, dan lebih dari 700 pengunjung unik Baru dan 300 Kembali harian. Sejak awal lebih dari 50.000 dari setiap download Kitab Dailal Khairat, 50.000 Naqshbandi Muraqabah, 50.000 Naqshbandi Kitab Devotions (awrad) dan judul banyak lagi semua gratis.
 Gambar yang dimaksudkan untuk membantu pembaca memahami realitas yang sangat kompleks, Orde Ilahi Pertama adalah siapa kita taat?
 
"Taatilah Allah, mematuhi Nabi (s) dan mematuhi mereka yang dituduh dengan otoritas atas Anda." (4:59)gambar Masters Hidup Realitas dan Authorized Master kemudian,
 
"Wahai orang-orang beriman! Melakukan tugas Anda kepada Tuhan,mencari cara pendekatan kepada-Nya "(5:35).
 
"Pegang erat-erat tali Allah dan tidak terpisah." (3:103)"Hai orang-orang yang beriman, harus sadar Allahdan menjaga perusahaan dengan mereka yang benar "(9:119).Pencari harus menemani seorang Guru spiritual dan harus menjaga hatinya untuk hadir dengan gurunya setiap saat baik secara pribadi atau di kejauhan. Yang membangun Allah KesadaranSyaikh menulis tentang Subjek iniبعض العارقين: ادخل الشيخ في قلبك و أسكنه فثه و لا تخرجه حتي تصير عارفا بسببه."Beberapa orang bijak mengatakan ..." dan kemudian Syaikh menulis sini ia mengatakan adkhil ادخل yang dalam bahasa Arab berarti "masuk" sehingga bagian lengkap adalah "membiarkan Syaikh masuk ke dalam hatimu.": "Biarkan Syaikh masuk ke dalam hatimu dan biarkan dia menghuni hati Anda dan jangan biarkan Syaikh meninggalkan hati Anda sampai Anda menjadi orang yang berpengetahuan

Taffakur, Tadhakkur
 "Taatilah Allah, mematuhi Nabi (s) dan mematuhi mereka yang dituduh dengan otoritas atas Anda." (4:59
   
"Pegang erat-erat tali Allah dan tidak terpisah." (3:103


 
"Hai orang-orang yang beriman, takut kepada Allah dan menjaga perusahaan dengan mereka yang benar "(9:119)
    
04:01 O manusia, takut Tuhanmu, yang menciptakan kamu dari satu jiwa dan menciptakan darinya pasangannya dan tersebar dari keduanya banyak pria dan wanita


Rabu, 14 November 2012

KETIADAAN AKU . . .?


   Saya melanjutkan perjalanan tanpa aku
Di sana saya menemukan sukacita tanpa aku
Bulan yang disembunyikan, tidak bisa melihat
Berdampingan dengan saya, tanpa saya
Untuk set tercinta jiwa bebas
Aku terlahir kembali tanpa aku
Tanpa diminum roh kita
Selalu senang tanpa aku
Hapus saya dari memori
Aku ingat, tanpa aku
Tanpa saya dengan sukacita I permohonan
Semoga saya selalu tanpa aku
Menutup semua pintu, aku tidak bisa melarikan diri
Lalu aku masuk tanpa aku
Hatinya membelenggu, di lututnya
Saya juga dirantai tanpa aku.
Dengan cangkir Shams ', mabuk saya
Cangkirnya pernah tinggal tanpa aku.

HAMPA


Aku butuh seorang kekasih dan teman
Semua persahabatan Anda melampaui
Dan saya tetap impoten

Anda Nuh dan Bahtera
Kamu adalah terang dan gelap
Di balik kerudung saya tetap

Anda adalah gairah dan marah
Anda adalah burung dan kandang
Hilang dalam penerbangan saya tetap

Anda adalah anggur dan cangkir
Anda adalah laut dan drop
Sementara mengapung Saya tetap

Aku berkata, "Wahai Jiwa dunia
Putus asa saya telah mengakar! "
"Saya esensi Mu," tanpa memarahi,
"Menghargai saya jauh lebih dari emas."

Anda adalah umpan dan perangkap
Anda adalah jalan dan peta
Sementara dalam pencarian saya tetap

Anda adalah racun dan manis
Anda dikalahkan dan mengalahkan
Pedang di tangan saya tetap

Anda adalah kayu dan gergaji
Anda dimasak, dan baku
Sementara di pot saya tetap

Anda adalah sinar matahari dan kabut
Anda adalah air dan kendi
Sementara haus Saya tetap 



PICTURE GALERY OF RUMI

 
  
 
 
 
TINGGI DIRI
 
 
 
PENCERAHAN

 


Selasa, 13 November 2012

SUFI . . . SUFI . . . SUFI

prince_dervish_tree

mevlevis_in_chilla_gallery

dervish_under_tree_ii_gallery



dervish_gathering_gallery

dervish_gatherings_II_gallery

dervish_gatherings_III_gallery

 intoxicated_dervish_gallery 

 sleeping_dervish_gallery
 sufi_art_tree1

sufi_warming_his_feet_gallery 









Ucapan Selamat Datang Kiyai Khalil

 






Suatu Ketika Habib Jindan bin Salim berselisih pendapat dengan seorang ulama, manakah pendapat yang paling sahih dalam ayat ‘Maliki yaumiddin’, maliki-nya dibaca ‘maaliki’ (dengan memakai alif setelah mim), ataukah ‘maliki’ (tanpa alif).

Setelah berdebat tidak ada titik temu. Akhirnya sepakat untuk sama-sama datang ke Kiyahi Keramat; Kiyahi Khalil bangkalan.

Ketika itu Kiyahi yang jadi maha guru para kiyahi pulau Jawa itu sedang duduk didalam mushola, saat rombongan Habib Jindan sudah dekat ke Mushola sontak saja kiyahi Khalil berteriak. Maaliki yaumiddin ya Habib, Maaliki yaumiddin Habib, teriak Kiyahi Khalil bangkalan menyambut kedatangan Habib Jindan.

Tentu saja dengan ucapan selamat datang yang aneh itu, sang Habib tak perlu bersusah payah menceritakan soal sengketa Maliki yaumiddin ataukah maaliki yaumiddin itu.

 

Demikian cerita Al Habib ketika menjelaskan perbedaan pendapat ulama dalam bacaan ayat itu pada Tafsir Thabari.

 

Sholawat "Cahaya Kiamat"



Artinya:
"Ya Allah limpahkanlah shalawat atas junjunan kami, Muhammad-- samudera cahaya-Mu, tambang ra-hasia-Mu, singgasana kerajaan-Mu, imam hadrat-Mu, bingkai kerajaan-Mu, perbendaharaan rahmat-Mu, dan jalan syariat-Mu,yang mendapat kelezatan dengan tauhid-Mu, insan yang menjadi sebab segala yang maujud, penghulu para makhluk-Mu, yang memperoleh pancaran sinar cahaya-Mu- dengan shalawat yang kekal sekekal diri-Mu, yang tetap sebagaimana tetap-Mu, dan yang tidak ada akhir di balik ilmu-Mu; juga dengan shalawat, yang meridhakan-Mu dan meridhakannya serta meridhakan kami dengannya, duhai Tuhan semesta alam."

Penjelasan :Shalawat ini dinamakan shalawat 'Cahaya Kiamat'. Sha-lawat ini disebut demikian karena banyaknya cahaya yang akan diperoleh oleh orang yang membacanya pada Hari Kiamat kelak."
Sayyid Ahmad Al-Shâwî dan yang lainnya mengatakan, shalawat ini saya dapatkan tertulis di atas sebongkah batu dengan tulisan qudrati.
Di dalam syarah atas kitab Dalâ'il disebutkan, sebagian pemuka para wali mengatakan, bahwa shalawat ini berbanding dengan 14.000 shalawat lainnya.