Ketika bertahajjud Rasulullah Saw. menangis, lalu Aisyah r.a.
bertanya, “Apa yang menyebabkan Rasulullah menangis, bukankah Allah
telah mengampuni dosa-dosa Anda yang terdahulu dan yang akan datang?”
Rasulullah Saw. Menjawab, ”Apakah aku tidak akan menjadi hamba yang bersyukur?”
Rasulullah Saw juga bersabda, ”Pada hari Kiamat diserukan kepada orang-orang yang suka memuja Allah, agar bangun. Maka bangkitlah segolongan manusia, lalu ditegakkan sebuah panji bagi mereka, kemudian mereka masuk surga.” Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah orang-orang yang suka memuji itu?” Beliau menjawab, “Mereka yang selalu bersyukur kepada Allah setiap saat.”
Sabdanya, “Pujian itu merupakan pakaian Yang Maha Pengasih.”
Maqam Syukur
Syukur termasuk maqam yang tinggi. Maqam syukur lebih tinggi dari sabar, khauf, zuhud dan maqam-maqam lainnya yang telah disinyalir sebelumnya. Sebab, maqam-maqam itu tidak diproyeksikan untuk diri sendiri, tapi untuk pihak lain. Sabar misalnya, ditujukan untuk menaklukkan hawa nafsu, khauf merupakan cambuk yang menggiring orang yang takut menuju maqam-maqam yang terpuji, dan zuhud merupakan sikap melepaskan diri dari ikatan-ikatan hubungan yang bisa melupakan Allah Swt. Sedangkan syukur itu dimaksudkan untuk diri sendiri, karenanya, ia tidak terputus di dalam surga. Sedangkan maqam-maqam lainnya, tobat, khauf, sabar dan zuhud tidak ada lagi di surga. Maqam-maqam itu telah terputus dan habis masa berlakunya. Beda dengan syukur, ia abadi di dalam surga. Itulah sebabnya Allah Swt. berfirman:
“Dan penutup doa mereka (penghuni surga) ialah, ‘Alhamdulillahi Rabbil Alaamiin (Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam)’.” (Q.s. Yunus: 10).
Anda akan mengetahui hal tersebut, jika Anda telah mengerti tentang hakikat syukur itu sendiri yang terdiri dari tiga rukun: Ilmu, tingkah laku dan amal.
Rukun pertama: Ilmu
Ilmu dalam konteks ini berarti mengetahui dan mengerti tentang nikmat dari Dzat Pemberi nikmat. Seluruh nikmat berasal dari Allah Swt, Dia-lah Yang Maha Tunggal. Seluruh perantaranya merupakan obyek yang ditundukkan. Pengetahuan dan pengertian semacam ini ada di belakang penyucian dari tauhid. Keduanya masuk dalam kategori syukur; bahkan tahap pertama dalam pengertian atau pengenalan iman adalah penyucian (taqdis).
Jika telah mengenal Dzat Yang Qudus, Anda telah tahu bahwa Yang Qudus itu tiada lain hanyalah Dzat Yang Esa, maka inilah yang disebut tauhid.
Kemudian, jika Anda telah mengerti bahwa seluruh yang ada di alam semesta ini merupakan hal yang diciptakan dan bersumber dari Yang Maha Tunggal itu, dan seluruhnya merupakan nikmat dari-Nya, maka itulah yang disebut pujian (al-hamdu).
Dengan struktur sedemikian rupa, diisyaratkan dalam sabda Rasulullah Saw: “Barangsiapa mengucapkan Subhanallah (Maha Suci Allah), baginya sepuluh kebaikan, dan barangsiapa mengucapkan La Ilaha Illallah (tiada Tuhan selain Allah), baginya duapuluh kebaikan, dan barangsiapa mengucapkan Alhamdulillah (segala puji bagi Allah), maka baginya tigapuluh kebaikan.”
Yang demikian itu, karena penyucian dan pentauhidan, sekaligus masuk dalam lingkup pujian terhadap Allah Swt. Derajat-derajat itu dikriteriakan dengan pengetahuan tentang struktur tersebut. Sementara keutamaan gerak ucapan, bergantung pada titik tolak peluncurannya dan pengetahuan atau bergantung sejauhmana ucapan itu mampu memperbaharui akidah dalam kalbu. Sebab, mulut merupakan sarana untuk menafIkan kelalaian agar pengaruh kealpaan itu bisa musnah.
Jika Anda berkeyakinan, bahwa ada pihak lain selain Allah mempunyai peran dalam nikmat yang tercurah kepada Anda, maka pujian Anda tidak sah dan tidak benar, sehingga ma’rifat dan syukur Anda tidak sempurna.
Anda serupa dengan orang yang memperoleh hadiah dari raja. Orang itu melihat bahwa dalam pemberian hadiah tersebut terdapat campur tangan seorang menteri. Karena turut mempermudah dan mempercepat pemberian hadiah tersebut. Semua itu merupakan dualisme dalam nikmat. Ketika menerima nikmat itu, rasa gembira anda mendua; kepada si perantara dan kepada Sang Maha Pemberi.
Benar, jika Anda misalnya, melihat bahwa anugerah hadiah kepada Anda karena penandatanganan sang raja dengan penanya, maka pena itu jangan sampai mengurangi kadar syukur Anda. Sebab, Anda tahu bahwa pena tersebut tunduk dan ditundukkan oleh-Nya.
Jadi, pena tersebut tidak ikut campur tangan dan melakukan intervensi apa pun dalam nikmat. Sebab itu, janganlah kalbu Anda mendua, mengarahkan rasa gembira pada pena dan mengarahkan rasa syukur kepada sang raja. Karena itu pula, kadang-kadang tidak menoleh kepada bendahara dan wakilnya, yang dia tahu bahwa mereka berdua tunduk dan terpaksa memberi setelah adanya perintah. Keduanya tertundukkan atau tertaklukkan. Namun keduanya tidak berperan serta (turut campur tangan) dalam penganugerahan nikmat atau hadiah.
Begitu pula bila matahati seseorang telah terbuka. Ia tahu bahwa matahari, bulan dan bintang-bintang ditundukkan dengan perintah Allah Swt, seperti halnya pena, kertas dan tinta ketika dibuat penandatanganan. Hati manusia adalah perbendaharaan ilmu Allah, kunci-kuncinya ada di tangan Allah Swt. Lalu Allah membuka perbendaharaan tersebut dengan menundukkan beberapa perantara yang pasti, hingga yakin bahwa kebaikan perbendaharaan itu terdapat dalam penyerahan, misalnya. Ketika demikian, penyerahan itu tidak bisa ditinggalkan. Karena itu, ia terdesak dan perlu memilih faktor-faktor ikhtiar tersebut, sebab tidak seorang pun memberi sesuatu kepada Anda, kecuali untuk tujuan pribadi, yaitu untuk suatu keuntungan tertentu di masa yang akan datang dan untuk mendapatkan pujian pada saat itu pula, atau tujuan-tujuan lainnya. Dan andaikata dia tidak tahu, bahwa keuntungan dirinya tiada bermanfaat bagi diri Anda, dia tidak akan memberi sesuatu kepada Anda. Jadi, dia itu bukanlah pemberi nikmat atau anugerah kepada Anda, sebab dengan pemberian itu ia mempunyai rencana dan usaha tersendiri bagi kepentingan dirinya. Pemberi nikmat yang sebenarnya kepada Anda itu adalah, yang mampu menundukkan seluruh faktor atau sebab kepadanya. Dia juga menyatakan pada dirinya, bahwa tujuannya bergantung pada penunaian dan pemberian nikmat.
Jika Anda telah paham dan mengerti tentang persoalan di atas, Andalah seorang yang bertauhid dan bersyukur, bahkan pemahaman dan pengertian semacam ini merupakan inti syukur.
Nabi Musa as. dalam munajat beliau pernah berkata, “Tuhanku, Engkau menciptakan Adam dengan tangan-Mu sendiri, kemudian Engkau kerjakan, Engkau kerjakan sendiri. Lalu jika demikian, bagaimana mensyukuri-Mu?”
Allah Swt. menjawab, “Dia cukup tahu bahwa hal itu berasal dari Ku, pengertiannya merupakan syukur (kepada-Ku).”
Rukun kedua: Tingkah laku ruhani
Tingkah laku ruhani ini merupakan buah dari pengetahuan di atas. Yaitu, rasa syukur kepada Sang Pemberi nikmat yang disertai dengan ketundukan dan pengagungan.
Orang yang dihadiahi seekor kuda oleh seorang raja, rasa gembira muncul dari tiga hal. Pertama, gembira karena bisa memperoleh manfaat dari kuda tersebut. Kedua, gembira karena hal tersebut merupakan pertanda, bahwa sang raja sangat memperhatikannya. Dia akan diberi hadiah lebih besar lagi dari sekadar seekor kuda. Ketiga, bahwa agar kuda itu menjadi kendaraannya untuk menghadap raja dan mengabdi kepadanya.
Sasaran sikap pertama, bukanlah bentuk syukur. Itu sekadar rasa gembira terhadap nikmat, bukan rasa syukur terhadap sang pemberi nikmat. Sikap kedua, dikategorikan syukur, namun syukur yang lemah jika dibanding dengan sikap ketiga. Sasaran dengan sikap ketiga itu menunjukkan, bahwa syukur yang sempurna adalah, rasa syukur atas karunia atau dibukanya pintu nikmat oleh Allah. Bukan rasa syukur yang berupa kegembiraan terhadap nikmat, dan perspektif nikmat itu sendiri, yang terkadang malah melalaikan Allah swt. Tetapi dari sisi, bahwa nikmat itu merupakan perantara kepada-Nya, sebab dengan nikmat itulah kebaikan-kebaikan menjadi sempurna.
Tanda-tandanya adalah, dia tidak bersuka cita dengan segala macam nikmat yang dapat melupakan dirinya kepada Allah Swt, tapi justru bersedih karenanya. Ia justru bersuka cita karena adanya larangan-larangan Allah yang berupa kesibukan dengan urusan duniawi dan segala bentuk kenikmatannya. Inilah bentuk syukur yang paling sempurna.
Orang yang tidak bisa merealisasikan syukur dengan versi yang sempurna ini ia wajib bersyukur dengan versi kedua.
Sedangkan syukur dengan versi pertama, bukanlah syukur. Itu sekadar rasa gembira terhadap nikmat yangjatuh ke tangannya, bukan rasa syukur kepada Sang Pemberi nikmat.
Rukun ketiga: Amal
Artinya, dengan nikmat tersebut untuk mencintai-Nya, bukan durhaka kepada-Nya. Yang demikian ini, hanya dipahami orang yang mengenal hikmah Allah kepada seluruh makhluk-Nya. Mengapa Dia menciptakan segala sesuatu? Penjelasan tentang hal ini sangat panjang. Uraiannya penulis jelaskan dalam kitab Al-Ihya’. Antara lain, misalnya dia harus tahu, bahwa mata sendiri adalah nikmat dari Allah. Mensyukuri mata adalah menggunakannya untuk menelaah Kitab Allah, untuk mengkaji ilmu pengetahuan, melakukan studi dan riset tentang langit dan bumi, agar dia mampu menyerap pelajaran darinya dan mengagungkan Sang Penciptanya. Dia juga harus menutupi matanya dari segala bentuk aurat kaum Muslimin.
Kemudian menggunakan telinganya untuk menyimak peringatan dan segala hal yang bermanfaat di akhirat nanti, berpaling dari aktivitas mendengarkan kata-kata keji dan berlebihan.
Menggunakan lisan untuk berdzikir dan memuji Allah, sebagai rasa syukur tanpa keluhan. Sebab, orang yang ditanya tentang keadaannya, lalu mengeluh, maka dia itu tergolong pelaku maksiat. Karena dia mengadukan milik Sang Maha Raja kepada seorang budak hina yang tidak dapat berbuat apa pun. Sebaliknya, bila bersyukur, maka dia tergolong orang taat.
Mensyukuri hati, berarti menggunakannya untuk berpikir, bertafakur, dzikir, berma’rifat, merahasiakan kebaikan dari niat yang baik.
Demikian pula dengan tangan, kaki dan seluruh anggota tubuh, seluruh harta-benda dan hal-hal lainnya yang tidak terbatas.
Syukur Sempurna
Yang mampu mencapai syukur sempurna adalah orang yang dilapangkan oleh Allah Swt. untuk menerima Islam, yang berarti juga ia mendapat cahaya dari Tuhannya. Ketika ia memandang segala yang ada, yang dilihat adalah hikmah, rahasia dan cinta kasih Allah kepada makhluk-Nya.
Bagi orang yang belum terbuka atau belum dibukakan rahasia-rahasia itu, harus mengikuti sunnah dan aturan-aturan syariat. Sebab, di balik semua itu terdapat rahasia-rahasia syukur.
Seyogyanya dia pun tahu, jika memandang kepada wanita yang bukan muhrim itu berarti dia tidak mensyukuri nikmat mata dan nikmat matahari. Sebab, seluruh nikmat, tidak bisa dilihat secara sempurna, kecuali dengan mata. Sedangkan melihat itu tidak akan terwujud tanpa mata dan cahaya matahari, sementara matahari hanya bisa sempurna dengan langit. Berarti dia tidak pula bersyukur atas nikmat Allah yang ada di langit dan di bumi.
Analogikan semua bentuk kemaksiatan dengan wacana tersebut. Karena maksiat itu sendiri terwujud, disebabkan adanya penciptaan langit dan bumi.
Ini adalah masalah yang dalam dan sangat luas, kami bahas dalam Bab “Syukur” pada kitab lhya’. Kami cukup memberikan satu contoh di sini: Allah menciptakan dinar dan dirham ibarat sebagai hakim dalam segala hubungan. Seluruh harga ditentukan dengan dinar dan dirham. Kalau tidak karenanya, seluruh hubungan sosial ekonomi terhalang. Bagaimana jadinya, membeli pakaian dengan minyak za’faran, dan binatang ternak dibeli dengan makanan? Dinar dan dirham, tidak memiliki hubungan, kecuali sebagai spirit harta-benda. Perspektif yang mengukur keduanya adalah fungsinya sebagai mata uang kontan. Orang yang menyimpan dirham dan dinar, seperti orang yang menahan seorang hakim Muslim, sehingga seluruh hukum terabaikan.
Orang yang menjadikan salah satu di antara dirham dan dinar sebagai milik pribadi, dia sama saja dengan mempekerjakan salah seorang hakim kaum Muslimin di bidang pertanian dan tekstil, yang bisa dilakukan oleh siapa saja, sehingga hukum menjadi tidak berlaku. Ini lebih parah lagi dibanding penahanan.
Barangsiapa membungakan dirham dan dinar, serta menjadikan sebagai sasaran perdagangannya dengan jalan menukar yang baik dengan yang jelek, itu sama halnya dengan orang yang memberi kesibukan seorang hakim sehingga lalai terhadap hukum. Kemudian ia jadikan sebagai bahan ejekan untuk dirinya, menyuruhnya untuk mengumpulkan kayu bakar, menyapu dan mengusahakan makanan pokok.
Itu semua merupakan tindakan lalim dan rekayasa terhadap hukum Allah Swt. atas makhluk dan hamba-hamba-Nya, serta merupakan tindakan memusuhi kecintaan kepada Allah Swt.
Siapa yang dibukakan cahaya mata hatinya, dia hanya tahu pada syariat verbal tanpa makna sebenarnya. Difirmankan kepadanya:
“Orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka (lalu dikatakan) kepada mereka, ‘lnilah harta-bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu’.” (Q.s. At-Taubah: 34-35).
Ditegaskan pula, “Barangsiapa minum dengan menggunakan bejana dari emas atau perak, maka seakan-akan api neraka jahannam bergolak dalam perutnya.”, Firman-Nya:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (Q.s. Al-Baqarah: 275).
Orang-orang yang saleh hanya terpaku pada aturan-aturan syariat, tapi tidak mengetahui rahasia-rahasianya. Sedangkan orang-orang arifin, bila telah mengetahui sendiri rahasia-rahasia dan telah menyaksikan langsung bukti-bukti syariat, semakin bertambahlah cahayanya. Sementara orang-orang buta yang bodoh, hanya mengerti aturan-aturan syariat belaka, mereka terlepas dari seluruh rahasia. Mereka tidak seperti hamba-hamba yang takwa, dan tidak seperti orang-orang merdeka yang mulia. Merekalah yang oleh Allah difirmankan:
“... akan tetapi telah tetaplah perkataan (ketetapan) dari pada-Ku ...“ (Q.s. As-Sajdah: 13).
Dan Allah Swt. berfirman:
“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa jang diturunkan kepadamu dan Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Sesungguhnya menjadi ingatlah orang-orang yang memiliki lubuk hati.”
(Q.s. Ar-Ra’d: 19).
Allah Swt. juga berfirman:
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia, ‘Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dulunya adalah orang yang melihat?’Allah berfirman, ‘Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan’.” (Q.s. Thaha: 124-126).
Tanda-tanda kebesaran Allah Swt. dan hikmah-Nya terdapat pada makhluk-Nya. Hal ini telah disampaikan kepada manusia melalui lisan para Nabi shalawat dan salam semoga terlimpah kepada mereka— seperti yang dijelaskan dalam globalitas syariat, dari awal sampai akhir. Tidak satu pun dari aturan-aturan syariat, yang tidak mengandung rahasia, keistimewaan dan hikmah, yang bisa dimengerti oleh orang yang mengetahui, namun diingkari oleh orang yang tidak mengenalnya.
Penjelasan tentang masalah ini sangat panjang, silakan Anda membacanya dalam Bab “Syukur” di kitab Ihya’.
Syukur tidak akan sempurna, kecuali orang yang teguh demi Allah saja, mengerjakan apa pun demi Allah, bukan untukyang lain, cintanya hanya kepada Allah Swt. Selanjutnya kami uraikan prinsip ikhlas dan jujur.
Rasulullah Saw. Menjawab, ”Apakah aku tidak akan menjadi hamba yang bersyukur?”
Rasulullah Saw juga bersabda, ”Pada hari Kiamat diserukan kepada orang-orang yang suka memuja Allah, agar bangun. Maka bangkitlah segolongan manusia, lalu ditegakkan sebuah panji bagi mereka, kemudian mereka masuk surga.” Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah orang-orang yang suka memuji itu?” Beliau menjawab, “Mereka yang selalu bersyukur kepada Allah setiap saat.”
Sabdanya, “Pujian itu merupakan pakaian Yang Maha Pengasih.”
Maqam Syukur
Syukur termasuk maqam yang tinggi. Maqam syukur lebih tinggi dari sabar, khauf, zuhud dan maqam-maqam lainnya yang telah disinyalir sebelumnya. Sebab, maqam-maqam itu tidak diproyeksikan untuk diri sendiri, tapi untuk pihak lain. Sabar misalnya, ditujukan untuk menaklukkan hawa nafsu, khauf merupakan cambuk yang menggiring orang yang takut menuju maqam-maqam yang terpuji, dan zuhud merupakan sikap melepaskan diri dari ikatan-ikatan hubungan yang bisa melupakan Allah Swt. Sedangkan syukur itu dimaksudkan untuk diri sendiri, karenanya, ia tidak terputus di dalam surga. Sedangkan maqam-maqam lainnya, tobat, khauf, sabar dan zuhud tidak ada lagi di surga. Maqam-maqam itu telah terputus dan habis masa berlakunya. Beda dengan syukur, ia abadi di dalam surga. Itulah sebabnya Allah Swt. berfirman:
“Dan penutup doa mereka (penghuni surga) ialah, ‘Alhamdulillahi Rabbil Alaamiin (Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam)’.” (Q.s. Yunus: 10).
Anda akan mengetahui hal tersebut, jika Anda telah mengerti tentang hakikat syukur itu sendiri yang terdiri dari tiga rukun: Ilmu, tingkah laku dan amal.
Rukun pertama: Ilmu
Ilmu dalam konteks ini berarti mengetahui dan mengerti tentang nikmat dari Dzat Pemberi nikmat. Seluruh nikmat berasal dari Allah Swt, Dia-lah Yang Maha Tunggal. Seluruh perantaranya merupakan obyek yang ditundukkan. Pengetahuan dan pengertian semacam ini ada di belakang penyucian dari tauhid. Keduanya masuk dalam kategori syukur; bahkan tahap pertama dalam pengertian atau pengenalan iman adalah penyucian (taqdis).
Jika telah mengenal Dzat Yang Qudus, Anda telah tahu bahwa Yang Qudus itu tiada lain hanyalah Dzat Yang Esa, maka inilah yang disebut tauhid.
Kemudian, jika Anda telah mengerti bahwa seluruh yang ada di alam semesta ini merupakan hal yang diciptakan dan bersumber dari Yang Maha Tunggal itu, dan seluruhnya merupakan nikmat dari-Nya, maka itulah yang disebut pujian (al-hamdu).
Dengan struktur sedemikian rupa, diisyaratkan dalam sabda Rasulullah Saw: “Barangsiapa mengucapkan Subhanallah (Maha Suci Allah), baginya sepuluh kebaikan, dan barangsiapa mengucapkan La Ilaha Illallah (tiada Tuhan selain Allah), baginya duapuluh kebaikan, dan barangsiapa mengucapkan Alhamdulillah (segala puji bagi Allah), maka baginya tigapuluh kebaikan.”
Yang demikian itu, karena penyucian dan pentauhidan, sekaligus masuk dalam lingkup pujian terhadap Allah Swt. Derajat-derajat itu dikriteriakan dengan pengetahuan tentang struktur tersebut. Sementara keutamaan gerak ucapan, bergantung pada titik tolak peluncurannya dan pengetahuan atau bergantung sejauhmana ucapan itu mampu memperbaharui akidah dalam kalbu. Sebab, mulut merupakan sarana untuk menafIkan kelalaian agar pengaruh kealpaan itu bisa musnah.
Jika Anda berkeyakinan, bahwa ada pihak lain selain Allah mempunyai peran dalam nikmat yang tercurah kepada Anda, maka pujian Anda tidak sah dan tidak benar, sehingga ma’rifat dan syukur Anda tidak sempurna.
Anda serupa dengan orang yang memperoleh hadiah dari raja. Orang itu melihat bahwa dalam pemberian hadiah tersebut terdapat campur tangan seorang menteri. Karena turut mempermudah dan mempercepat pemberian hadiah tersebut. Semua itu merupakan dualisme dalam nikmat. Ketika menerima nikmat itu, rasa gembira anda mendua; kepada si perantara dan kepada Sang Maha Pemberi.
Benar, jika Anda misalnya, melihat bahwa anugerah hadiah kepada Anda karena penandatanganan sang raja dengan penanya, maka pena itu jangan sampai mengurangi kadar syukur Anda. Sebab, Anda tahu bahwa pena tersebut tunduk dan ditundukkan oleh-Nya.
Jadi, pena tersebut tidak ikut campur tangan dan melakukan intervensi apa pun dalam nikmat. Sebab itu, janganlah kalbu Anda mendua, mengarahkan rasa gembira pada pena dan mengarahkan rasa syukur kepada sang raja. Karena itu pula, kadang-kadang tidak menoleh kepada bendahara dan wakilnya, yang dia tahu bahwa mereka berdua tunduk dan terpaksa memberi setelah adanya perintah. Keduanya tertundukkan atau tertaklukkan. Namun keduanya tidak berperan serta (turut campur tangan) dalam penganugerahan nikmat atau hadiah.
Begitu pula bila matahati seseorang telah terbuka. Ia tahu bahwa matahari, bulan dan bintang-bintang ditundukkan dengan perintah Allah Swt, seperti halnya pena, kertas dan tinta ketika dibuat penandatanganan. Hati manusia adalah perbendaharaan ilmu Allah, kunci-kuncinya ada di tangan Allah Swt. Lalu Allah membuka perbendaharaan tersebut dengan menundukkan beberapa perantara yang pasti, hingga yakin bahwa kebaikan perbendaharaan itu terdapat dalam penyerahan, misalnya. Ketika demikian, penyerahan itu tidak bisa ditinggalkan. Karena itu, ia terdesak dan perlu memilih faktor-faktor ikhtiar tersebut, sebab tidak seorang pun memberi sesuatu kepada Anda, kecuali untuk tujuan pribadi, yaitu untuk suatu keuntungan tertentu di masa yang akan datang dan untuk mendapatkan pujian pada saat itu pula, atau tujuan-tujuan lainnya. Dan andaikata dia tidak tahu, bahwa keuntungan dirinya tiada bermanfaat bagi diri Anda, dia tidak akan memberi sesuatu kepada Anda. Jadi, dia itu bukanlah pemberi nikmat atau anugerah kepada Anda, sebab dengan pemberian itu ia mempunyai rencana dan usaha tersendiri bagi kepentingan dirinya. Pemberi nikmat yang sebenarnya kepada Anda itu adalah, yang mampu menundukkan seluruh faktor atau sebab kepadanya. Dia juga menyatakan pada dirinya, bahwa tujuannya bergantung pada penunaian dan pemberian nikmat.
Jika Anda telah paham dan mengerti tentang persoalan di atas, Andalah seorang yang bertauhid dan bersyukur, bahkan pemahaman dan pengertian semacam ini merupakan inti syukur.
Nabi Musa as. dalam munajat beliau pernah berkata, “Tuhanku, Engkau menciptakan Adam dengan tangan-Mu sendiri, kemudian Engkau kerjakan, Engkau kerjakan sendiri. Lalu jika demikian, bagaimana mensyukuri-Mu?”
Allah Swt. menjawab, “Dia cukup tahu bahwa hal itu berasal dari Ku, pengertiannya merupakan syukur (kepada-Ku).”
Rukun kedua: Tingkah laku ruhani
Tingkah laku ruhani ini merupakan buah dari pengetahuan di atas. Yaitu, rasa syukur kepada Sang Pemberi nikmat yang disertai dengan ketundukan dan pengagungan.
Orang yang dihadiahi seekor kuda oleh seorang raja, rasa gembira muncul dari tiga hal. Pertama, gembira karena bisa memperoleh manfaat dari kuda tersebut. Kedua, gembira karena hal tersebut merupakan pertanda, bahwa sang raja sangat memperhatikannya. Dia akan diberi hadiah lebih besar lagi dari sekadar seekor kuda. Ketiga, bahwa agar kuda itu menjadi kendaraannya untuk menghadap raja dan mengabdi kepadanya.
Sasaran sikap pertama, bukanlah bentuk syukur. Itu sekadar rasa gembira terhadap nikmat, bukan rasa syukur terhadap sang pemberi nikmat. Sikap kedua, dikategorikan syukur, namun syukur yang lemah jika dibanding dengan sikap ketiga. Sasaran dengan sikap ketiga itu menunjukkan, bahwa syukur yang sempurna adalah, rasa syukur atas karunia atau dibukanya pintu nikmat oleh Allah. Bukan rasa syukur yang berupa kegembiraan terhadap nikmat, dan perspektif nikmat itu sendiri, yang terkadang malah melalaikan Allah swt. Tetapi dari sisi, bahwa nikmat itu merupakan perantara kepada-Nya, sebab dengan nikmat itulah kebaikan-kebaikan menjadi sempurna.
Tanda-tandanya adalah, dia tidak bersuka cita dengan segala macam nikmat yang dapat melupakan dirinya kepada Allah Swt, tapi justru bersedih karenanya. Ia justru bersuka cita karena adanya larangan-larangan Allah yang berupa kesibukan dengan urusan duniawi dan segala bentuk kenikmatannya. Inilah bentuk syukur yang paling sempurna.
Orang yang tidak bisa merealisasikan syukur dengan versi yang sempurna ini ia wajib bersyukur dengan versi kedua.
Sedangkan syukur dengan versi pertama, bukanlah syukur. Itu sekadar rasa gembira terhadap nikmat yangjatuh ke tangannya, bukan rasa syukur kepada Sang Pemberi nikmat.
Rukun ketiga: Amal
Artinya, dengan nikmat tersebut untuk mencintai-Nya, bukan durhaka kepada-Nya. Yang demikian ini, hanya dipahami orang yang mengenal hikmah Allah kepada seluruh makhluk-Nya. Mengapa Dia menciptakan segala sesuatu? Penjelasan tentang hal ini sangat panjang. Uraiannya penulis jelaskan dalam kitab Al-Ihya’. Antara lain, misalnya dia harus tahu, bahwa mata sendiri adalah nikmat dari Allah. Mensyukuri mata adalah menggunakannya untuk menelaah Kitab Allah, untuk mengkaji ilmu pengetahuan, melakukan studi dan riset tentang langit dan bumi, agar dia mampu menyerap pelajaran darinya dan mengagungkan Sang Penciptanya. Dia juga harus menutupi matanya dari segala bentuk aurat kaum Muslimin.
Kemudian menggunakan telinganya untuk menyimak peringatan dan segala hal yang bermanfaat di akhirat nanti, berpaling dari aktivitas mendengarkan kata-kata keji dan berlebihan.
Menggunakan lisan untuk berdzikir dan memuji Allah, sebagai rasa syukur tanpa keluhan. Sebab, orang yang ditanya tentang keadaannya, lalu mengeluh, maka dia itu tergolong pelaku maksiat. Karena dia mengadukan milik Sang Maha Raja kepada seorang budak hina yang tidak dapat berbuat apa pun. Sebaliknya, bila bersyukur, maka dia tergolong orang taat.
Mensyukuri hati, berarti menggunakannya untuk berpikir, bertafakur, dzikir, berma’rifat, merahasiakan kebaikan dari niat yang baik.
Demikian pula dengan tangan, kaki dan seluruh anggota tubuh, seluruh harta-benda dan hal-hal lainnya yang tidak terbatas.
Syukur Sempurna
Yang mampu mencapai syukur sempurna adalah orang yang dilapangkan oleh Allah Swt. untuk menerima Islam, yang berarti juga ia mendapat cahaya dari Tuhannya. Ketika ia memandang segala yang ada, yang dilihat adalah hikmah, rahasia dan cinta kasih Allah kepada makhluk-Nya.
Bagi orang yang belum terbuka atau belum dibukakan rahasia-rahasia itu, harus mengikuti sunnah dan aturan-aturan syariat. Sebab, di balik semua itu terdapat rahasia-rahasia syukur.
Seyogyanya dia pun tahu, jika memandang kepada wanita yang bukan muhrim itu berarti dia tidak mensyukuri nikmat mata dan nikmat matahari. Sebab, seluruh nikmat, tidak bisa dilihat secara sempurna, kecuali dengan mata. Sedangkan melihat itu tidak akan terwujud tanpa mata dan cahaya matahari, sementara matahari hanya bisa sempurna dengan langit. Berarti dia tidak pula bersyukur atas nikmat Allah yang ada di langit dan di bumi.
Analogikan semua bentuk kemaksiatan dengan wacana tersebut. Karena maksiat itu sendiri terwujud, disebabkan adanya penciptaan langit dan bumi.
Ini adalah masalah yang dalam dan sangat luas, kami bahas dalam Bab “Syukur” pada kitab lhya’. Kami cukup memberikan satu contoh di sini: Allah menciptakan dinar dan dirham ibarat sebagai hakim dalam segala hubungan. Seluruh harga ditentukan dengan dinar dan dirham. Kalau tidak karenanya, seluruh hubungan sosial ekonomi terhalang. Bagaimana jadinya, membeli pakaian dengan minyak za’faran, dan binatang ternak dibeli dengan makanan? Dinar dan dirham, tidak memiliki hubungan, kecuali sebagai spirit harta-benda. Perspektif yang mengukur keduanya adalah fungsinya sebagai mata uang kontan. Orang yang menyimpan dirham dan dinar, seperti orang yang menahan seorang hakim Muslim, sehingga seluruh hukum terabaikan.
Orang yang menjadikan salah satu di antara dirham dan dinar sebagai milik pribadi, dia sama saja dengan mempekerjakan salah seorang hakim kaum Muslimin di bidang pertanian dan tekstil, yang bisa dilakukan oleh siapa saja, sehingga hukum menjadi tidak berlaku. Ini lebih parah lagi dibanding penahanan.
Barangsiapa membungakan dirham dan dinar, serta menjadikan sebagai sasaran perdagangannya dengan jalan menukar yang baik dengan yang jelek, itu sama halnya dengan orang yang memberi kesibukan seorang hakim sehingga lalai terhadap hukum. Kemudian ia jadikan sebagai bahan ejekan untuk dirinya, menyuruhnya untuk mengumpulkan kayu bakar, menyapu dan mengusahakan makanan pokok.
Itu semua merupakan tindakan lalim dan rekayasa terhadap hukum Allah Swt. atas makhluk dan hamba-hamba-Nya, serta merupakan tindakan memusuhi kecintaan kepada Allah Swt.
Siapa yang dibukakan cahaya mata hatinya, dia hanya tahu pada syariat verbal tanpa makna sebenarnya. Difirmankan kepadanya:
“Orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka (lalu dikatakan) kepada mereka, ‘lnilah harta-bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu’.” (Q.s. At-Taubah: 34-35).
Ditegaskan pula, “Barangsiapa minum dengan menggunakan bejana dari emas atau perak, maka seakan-akan api neraka jahannam bergolak dalam perutnya.”, Firman-Nya:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (Q.s. Al-Baqarah: 275).
Orang-orang yang saleh hanya terpaku pada aturan-aturan syariat, tapi tidak mengetahui rahasia-rahasianya. Sedangkan orang-orang arifin, bila telah mengetahui sendiri rahasia-rahasia dan telah menyaksikan langsung bukti-bukti syariat, semakin bertambahlah cahayanya. Sementara orang-orang buta yang bodoh, hanya mengerti aturan-aturan syariat belaka, mereka terlepas dari seluruh rahasia. Mereka tidak seperti hamba-hamba yang takwa, dan tidak seperti orang-orang merdeka yang mulia. Merekalah yang oleh Allah difirmankan:
“... akan tetapi telah tetaplah perkataan (ketetapan) dari pada-Ku ...“ (Q.s. As-Sajdah: 13).
Dan Allah Swt. berfirman:
“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa jang diturunkan kepadamu dan Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Sesungguhnya menjadi ingatlah orang-orang yang memiliki lubuk hati.”
(Q.s. Ar-Ra’d: 19).
Allah Swt. juga berfirman:
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia, ‘Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dulunya adalah orang yang melihat?’Allah berfirman, ‘Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan’.” (Q.s. Thaha: 124-126).
Tanda-tanda kebesaran Allah Swt. dan hikmah-Nya terdapat pada makhluk-Nya. Hal ini telah disampaikan kepada manusia melalui lisan para Nabi shalawat dan salam semoga terlimpah kepada mereka— seperti yang dijelaskan dalam globalitas syariat, dari awal sampai akhir. Tidak satu pun dari aturan-aturan syariat, yang tidak mengandung rahasia, keistimewaan dan hikmah, yang bisa dimengerti oleh orang yang mengetahui, namun diingkari oleh orang yang tidak mengenalnya.
Penjelasan tentang masalah ini sangat panjang, silakan Anda membacanya dalam Bab “Syukur” di kitab Ihya’.
Syukur tidak akan sempurna, kecuali orang yang teguh demi Allah saja, mengerjakan apa pun demi Allah, bukan untukyang lain, cintanya hanya kepada Allah Swt. Selanjutnya kami uraikan prinsip ikhlas dan jujur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tolong komentarnya berhubungan dengan artikel yang ada
Komentar yang mengarah ke tindakan spam akan di hapus atau terjaring secara otomatis oleh spam filter.