Demikianlah, Mbah Cholil adalah
salah satu Kyai kharismatik sekaligus menjadi idola saya setelah ''KH. Dimyati Ro'is
Kaliwungu'' yang memang merupakan guru dimana banyak sekali aku mencecap ilmu
yang Abah Dim ajarkan.
Aku merasa beruntung bisa sempat
mendengar taushiyah Mbah Cholil saat dimana beliau diundang Abah Dim di halaman
Pesantren al-Fadlu Jagalan Kaliwungu dalam rangka Imtihan Akhirussanah, bahkan
sebelum Mbah Cholil wafat beliau selalu mengisi taushiyah tiap tahunnya
di pondok yang diasuh Abah Dim itu. Karena mungkin Mbah Cholil dan Abah Dim mempunyai
hubungan yang erat dimana saat keduanya sama-sama menjabat sebagai DPR RI.
Lebih dari itu, pernah saat Mbah Cholil
menyampaikan taushiyah beliau ''gasaki''
(meledek) Abah Dim: “Kyai kok sandalnya
jepit, kyai itu seperti aku, sandalnya mahal harganya”, lalu
santri-santri tertawa semua. Setelah Abah Dim yang naik podium Mbah Cholil gilirannya
untuk digasaki dengan nada super
guyon.
Melihat kedua kyai tersebut, aku
sempat berdoa bernada memaksa: “Gusti mbok
kulo didasoken kados beliau berdua, umpami mboten lajeng kulo bade dados
nopo...” (Rabbi seyogyanya saya dijadikan seperti beliau berdua. Seumpama
tidak seperti mereka lantas aku mau jadi apa...)..
Malah saya pribadi sempat didawuhi
sendiri sama Abah Dim: “Awakmu kudu wani
rekoso nak kepengen ilmumu barokah...” (Kamu harus berani hidup susah kalau
ingin ilmumu berkah).
Salah satu dawuh beliau kepadaku
yang lain adalah: “Awakmu ojo minder karo
mahasiswa, ojo cilik ati karo wong seng wis nduwe title sarjana, aku wae seng
ora nduwe ijazah SD iso dadi DPR RI 3 periode (15 tahun), aku siji-sijine wong
sak ndunyo seng mlebu DPR tanpo nggowo ijazah.” (Kamu jangan minder dengan
mahasiswa, jangan berkecil hati dengan orang yang memiliki titel sarjana. Aku
saja tidak punya ijazah SD bisa menjadi DPR RI 3 periode/15 tahun. Aku
satu-satunya orang yang ada di dunia ini yang masuk DPR tanpa menggunakan
ijazah).
Begitulah cara Abah Dim memberi
semangat kepadaku waktu aku sowan. Suatu ketika aku sowan kepada beliau bersama
orang banyak dari segala lapisan, beliau dawuh: “Akhir-akhir iki aku kok jarang dikirimi fatihah”, (akhir-akhir ini
kok saya jarang dikirimi al-Fatihah) sambil menatapku tajam dengan tatapan yang
teduh. Memang saat itu sudah sekitar 10 hari aku tidak kirim al-Fatihah kepada
beliau.
Dan masih banyak kisah yang aku
alami bersama Abah Dim secara langsung, mudah-mudahan lain kali bisa
menceritakan apa saja yang berkenaan dengan Abah Dim secara totalitas.
Kembali pada Mbah Cholil, Kyai yang
saat masih muda terbilang ndablek (nakal)
ini ternyata sampai tuanya juga masih MBELING, inilah sekelumit cerita tentang Mbah
Cholil.
Sewaktu mondok di Lirboyo, partner
mbeling terdekat Kyai Cholil adalah Gus Miek (Kyai Chamim Jazuli). Pernah,
ditengah pelajaran Madrasah, Santri Cholil yang tempat duduknya didekat
jendela, disapa Gus Mik dari luar.
“Keluar, Gus!” kata Gus
Mik, setengah berbisik.
“Ada apa?”jawab Mbah
Cholil.
“Nonton bioskop… ada filem bagus!” sahut Gus Miek.
“Masih pelajaran ini…” Mbah Cholil menjawab dengan nada ragu.
“Lompat saja!” timpal Gus
Miek.
Ketika guru menghadap papan tulis,
Santri Cholil melompat keluar dari jendela. Santri-santri lain tak berani
menegur tingkah gus-gus itu.
Jauh di belakang hari, ketika Gus Miek
sudah melejit reputasinya sebagai seorang wali keramat yang khoriqul ‘aadah, di tengah-tengah Konbes
NU di Pondok Pesantren Ihya ‘Ulumiddin, Kesugihan, Cilacap, seorang Kyai Kediri
yang dulunya juga anggota geng santri mbeling di Lirboyo mendatangi Kyai Cholil
di penginapan. “Dapat salam dari Gus Miek,
Gus”.
“Lhah, dia nggak ikut Konbes?” balas Mbah Cholil
“Datang sih…” Kyai itu
melanjutkan.
“Mana orangnya? Kok nggak nemuin aku?” tanya Mbah Cholil penasaran.
“Nggak mau. Sampeyan tukang nggasak (tukang meledek) sih… kalau sampeyan
ledek, bisa-bisa badar (gagal) kewaliannya…” jawab Kyai utusan Gus Miek itu.
***
Suatu kali, Mbah Lim almarhum (Kyai
Muslim Rifa’i Imam Puro, Klaten) yang terkenal wali, datang mengunjungi Gus
Mus. Seorang pendhereknya (santri yang mengikutinya) diutus untuk memberitahu
Kyai Cholil.
“Mbah Lim ada di rumah Gus Mus, Yai”, kata si pendherek kepada Kyai Cholil, “Panjenengan dimohon menemui…”
“Nggak mau! Sama-sama walinya kok!” timpal Mbah Cholil.
Setelah dilapori, Mbah Lim segera
beranjak menemui Kyai Cholil. “Sesama
wali” berangkulan sambil tertawa-tawa.
“Wali anyar… wali anyar…”, kata Mbah Lim, “Bodong
‘ki… Bodong ‘ki…”
***
Konbes NU di Bandarlampung
kebingungan memilih Rais ‘Aam baru. Kyai Achmad Shiddiq telah wafat, Kyai Ali
Yafie mengundurkan diri. Kyai Yusuf Hasyim, calon terkuat, didelegitimasi
keponakannya sendiri.
“Pak Ud itu bukan ulama, tapi zu’ama”, kata Gus Dur, “Beliau
termasuk santri korban revolusi… ngajinya kocar-kacir!”
Konbes pun kehilangan arah. Dikerumuni wartawan, Kyai Cholil
melontarkan statement, “Istikhoroh saja!”
“Bagaimana caranya?” wartawan bertanya penasaran.
“Pilih 40 orang kyai ahli riyadhoh (tirakat). Beri kesempatan mereka
beristikhoroh. Sesudah itu, saling mecocokkan isyaroh yang didapat
masing-masing…” jawab Mbah
Cholil.
“Kalau diantara 40 kyai itu hasil istikhorohnya berbeda-beda bagaimana?” balas wartawan dengan nada tak
puas.
“Ya divoting!” jawab Kyai Cholil
mantap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tolong komentarnya berhubungan dengan artikel yang ada
Komentar yang mengarah ke tindakan spam akan di hapus atau terjaring secara otomatis oleh spam filter.