Ma’ruf Al-Kharqi, Sufi yang Bertamu di Arasy
Ia mabuk cinta akan Dzat Ilahi.
Konon, Allah mengAkuinya sebagai manusia yang mabuk cinta kepada-Nya.
Kebesarannya diakui berbagai golongan
Nama sufi ini tidak terlalu populer,
meski sama-sama berasal dari Irak, namanya tak sepopuleh Syekh Abdul
Qadir Jailani, Manshur Al-Hallaj, atau Junaid Al-Baghdadi. Dialah Ma’ruf
Al-Kharqi, salah seorang sufi penggagas paham cinta dalam dunia Tasawuf
yang jiwanya selalu diselimuti rasa rindu yang luar biasa kepada sang
Khalik. Tak salah jika ia menjadi panutan generasi sufi sesudahnya.
Banyak sufi besar seperti Sarry Al-Saqaty, yang terpengaruh
gagasan-gagasannya. Ia juga diangap sebagai salah seorang sufi penerus
Rabi’ah Al-Adawiyah sang pelopor mazhab Cinta.
Nama lengkapnya Abu Mahfudz Ma’ruf bin
Firus Al-Karkhi. Meski lama menetap di Baghdad, Irak, ia sesungguhnya
berasal dari Persia, Iran. Hidup di zaman kejayaan Khalifah Harun
Al-Rasyid dinasti Abbasiyah. tak seorangpun menemukan tanggal lahirnya.
Perhatikan komentar Sarry As-Saqaty, salah seorang muridnya. “Aku pernah
bermimpi melihat Al-Kharqi bertamu di Arasy, waktu itu Allah bertanya
kepada Malaikat, siapakah dia? Malaikat menjawab, “Engkau lebih
mengetahui wahai Allah,” maka Allah SWT berfirman, dia adalah Ma’ruf
Al-Kharqi, yang sedang mabuk cinta kepadaku.”
Menurut Fariduddin Aththar, salah seorang
sufi, dalam kitab Tadzkirul Awliya, orang tua Ma’ruf adalah seorang
penganut Nasrani. Suatu hari guru sekolahnya berkata, “Tuhan adalah yang
ketiga dan yang bertiga,” tapi, Ma’ruf membantah, “Tidak! Tuhan itu
Allah, yang Esa.
Mendengar jawaban itu, sang guru
memukulnya, tapi Ma’ruf tetap dengan pendiriannya. Ketika dipukuli
habis-habisan oleh gurunya, Ma’ruf melarikan diri.
Karena tak seorang pun mengetahui kemana
ia pergi, orang tua Ma’ruf berkata, “Asalkan ia mau pulang, agama apapun
yang dianutnya akan kami anut pula.” Ternyata Ma’ruf menghadap Ali bin
Musa bin Reza, seorang ulama yang membimbingnya dalam Islam.
Tak beberapa lama, Ma’ruf pun pulang. Ia
mengetuk pintu. “Siapakah itu” tanya orang tuanya. “Ma’ruf,” jawabnya.
“agama apa yang engkau anut?” tanya orang tuanya. “Agama Muhammad,
Rasulullah,” jawab Ma’ruf. Mendengar jawaban itu, orang tuanya pun
memeluk Islam.
Cinta Ilahiah
Salah seorang gurunya yang terkenal
adalah Daud A-Tsani, ia membimbing dengan disiplin kesufian yang keras,
sehingga mampu menjalankan ajaran agama dengan semangat luar biasa. Ia
dipandang sebagai salah seorang yang berjasa dalam meletakkan
dasar-dasar ilmu tasawuf dan mengembangkan paham cinta Ilahiah.
Menurut Ma’ruf, rasa cinta kepada Allah
SWT tidak dapat timbul melalui belajar, melainkan semata-mata karena
karunia Allah SWT. Jika sebelumnya ajaran taawuf bertujuan membebaskan
diri dari siksa akhirat, bagi Ma’ruf merupakan sarana untuk memperoleh
makrifat (pengenalan) akan Allah SWT. Tak salah jika menurut Sufi
Taftazani, adalah Ma’ruf Al-Kharqi yang pertama kali memperkenalkan
makrifat dalam ajaran tasawuf, bahkan dialah yang mendifinisikan
pengertian tasawuf. Menurutnya, Tasawuf ialah sikap zuhud, tapi tetap
berdasarkan Syariat.
Masih menurut Ma’ruf, seorang Sufi adalah
tamu Tuhan di dunia. Ia berhak mendapatkan sesuatu yang layak
didapatkan oleh seorang tamu, tapi sekali-kali tidak berhak mengemukakan
kehendak yang didambakannya. Cinta itu pemberian Tuhan, sementara
ajaran sufi berusaha mengetahui yang benar dan menolak yang salah.
Maksudnya, seorang sufi berhak menerima pemberian Tuhan, seperti
Karomah, namun tidak berhak meminta. Sebab hal itu datang dari Tuhan –
yang lazimnya sesuai dengan tingkat ketaqwaan seseorang kepada Allah
SWT.
Gambaran tentang Ma’ruf diungkapkan oleh
seorang sahabatnya sesama sufi, Muhammad Manshur Al-Thusi, katanya,
“Kulihat ada goresan bekas luka di wajahnya. Aku bertanya: kemarin aku
bersamamu tapi tidak terlihat olehku bekas luka. Bekas apakah ini?”
Ma’ruf pun menjawab, “Jangan hiraukan segala sesuatu yang bukan
urusanmu. Tanyakan hal-hal yang berfaedah bagimu.”
Tapi Manshur terus mendesak. “Demi Allah,
jelaskan kepadaku,” maka Ma’ruf pun menjawab. “Kemarin malam aku berdoa
semoga aku dapat ke Mekah dan bertawaf mengelilingi Ka’bah. Doaku itu
terkabul, ketika hendak minum air di sumur Zamzam, aku tergelincir, dan
mukaku terbentur sehingga wajahku lukan.”
Pada suatu hari Ma’ruf berjalan
bersama-sama muridnya, dan bertemu dengan serombongan anak muda yang
sedang menuju ke Sungai Tigris. Disepanjang perjalanan anak muda itu
bernyanyi sambil mabuk. Para murid Ma’ruf mendesak agar gurunya berdoa
kepada Allah sehingga anak-anak muda mendapat balasan setimpal. Maka
Ma’ruf pun menyuruh murid-muridnya menengadahkan tangan lalu ia berdoa,
“Ya Allah, sebagaimana engkau telah memberikan kepada mereka kebahagiaan
di dunia, berikan pula kepada mereka kebahagiaan di akherat nanti.”
Tentu saja murid-muridnya tidak mengerti. “Tunggulah sebentar, kalian
akan mengetahui rahasianya,” ujar Ma’ruf.
Beberapa saat kemudian, ketika para
pemuda itu melihat ke arah Syekh Ma’ruf, mereka segera memecahkan
botol-botol anggur yang sedang mereka minum, dengan gemetar mereka
menjatuhkan diri di depan Ma’ruf dan bertobat. Lalu kata Syekh Ma’ruf
kepada muridnya, “Kalian saksikan, betapa doa kalian dikabulkan tanpa
membenamkan dan mencelakakan seorang pun pun juga.”
Ma’ruf mempunyai seorang paman yang
menjadi Gubernur. Suatu hari sang Gubernur melihat Ma’ruf sedang makan
Roti, bergantian dengan seekor Anjing. Menyaksikan itu pamannya berseru,
“Tidakkah engkau malu makan roti bersama seekor Anjing?” maka sahut
sang kemenakan, “Justru karena punya rasa malulah aku memberikan
sepotong roti kepada yang miskin.” Kemudian ia menengadahkan kepala dan
memanggil seekor burung, beberapa saat kemudian, seekor burung menukik
dan hinggap di tangan Ma’ruf. Lalu katanya kepada sang paman, “Jika
seseorang malu kepada Allah SWT, segala sesuatu akan malu pada
dirinya.” Mendengar itu, pamannya terdiam, tak dapat berkata apa-apa.
Suatu hari beberapa orang syiah
mendombrak pintu rumah gurunya, Ali bin Musa bin Reza, dan menyerang
Ma’ruf hingga tulang rusuknya patah. Ma’ruf tergelatak dengan luka cukup
parah, melihat itu, muridnya, Sarry al-Saqati berujar, “Sampaikan
wasiatmu yang terakhir,” maka Ma’ruf pun berwasiat. “Apabila aku mati,
lepaskanlah pakaianku, dan sedekahkanlah, aku ingin mneinggalkan dunia
ini dalam keadaan telanjang seperti ketika dilahirkan dari rahim ibuku.”
Sarri as-Saqathi meriwayatkan kisah: Pada suatu hari perayaan aku melihat ma’ruf tengah memunguti biji-biji kurma.
“Apa yang sedang engkau lakukan?” tanyaku.
Ia menjawab, “Aku melihat seorang anak
menangis. Aku bertanya, “Mengapa engkau menangis?” ia menjawab. “Aku
adalah seorang anak yatim piatu. Aku tidak memiliki ayah dan ibu.
Anak-anak yang lain memdapat baju-baju baru, sedangkan aku tidak. Mereka
juga dapat kacang, sedangkan aku tidak,” lalu akupun memunguti
biji-biji kurma ini. Aku akan menjualnya, hasilnya akan aku belikan
kacang untuk anak itu, agar ia dapat kembali riang dan bermain bersama
anak-anak lain.”
“Biarkan aku yang mengurusnya,” kataku.
Akupun membawa anak itu, membelikannya
kacang dan pakaian. Ia terlihat sangat gembira. Tiba-tiba aku merasakan
seberkas sinar menerangi hatiku. Dan sejak saat itu, akupun berubah.
Suatu hari Ma’ruf batal wudu. Ia pun segera bertayammum.
Orang-orang yang melihatnya bertanya, “Itu sungai Tigris, mengapa engkau bertayammum?”
Ma’ruf menjawab, “Aku takut keburu mati sebelum sempat mencapai sungai itu.”
Ketika Ma’ruf wafat, banyak orang dari
berbagai golongan datang bertakziyah, Islam, Nasrani, Yahudi. Dan ketika
jenazahnya akan diangkat, para sahabatnya membaca wasiat almarhum:
“Jika ada kaum yang dapat mengangkat peti matiku, aku adalah salah
seorang diantara mereka.” Kemudian orang Nasrani dan Yahudi maju, namun
mereka tak kuasa mengangkatnya. Ketika tiba giliran orang-orang muslim,
mereka berhasil, lalu mereka menyalatkan dan menguburkan jenazahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tolong komentarnya berhubungan dengan artikel yang ada
Komentar yang mengarah ke tindakan spam akan di hapus atau terjaring secara otomatis oleh spam filter.