POSTED BY.YUDHA MANGGALA
Tamu
agung itu sebentar lagi akan tiba, sudah siapkah kita untuk
menyambutnya? Bisa jadi inilah Ramadhan terakhir kita sebelum menghadap
kepada Yang Maha Kuasa. Betapa banyak orang-orang yang pada tahun
kemarin masih berpuasa bersama kita, melakukan shalat tarawih dan idul
fitri di samping kita, namun ternyata sudah mendahului kita dan
sekarang mereka telah berbaring di ‘peristirahatan umum’ ditemani
hewan-hewan tanah. Kapankah datang giliran kita?
Dalam dua buah hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan kondisi dua golongan yang saling bertolak belakang kondisi mereka dalam berpuasa dan melewati bulan Ramadhan:
Golongan pertama digambarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
من صام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
“Barang
siapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharapkan
pahala, maka akan dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Golongan kedua digambarkan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
رب صائم حظه من صيامه الجوع والعطش
“Betapa banyak orang berpuasa yang hanya memetik lapar dan dahaga.” (HR. Ibnu Majah), al-Hakim dan dia menshahihkannya. Al-Albani berkata: “Hasan Shahih.”
Akan termasuk golongan manakah kita? Hal itu tergantung dengan usaha kita dan taufik dari Allah ta’ala.
Bulan
Ramadhan merupakan momentum agung dari ladang-ladang yang sarat
dengan keistimewaan, satu masa yang menjadi media kompetisi bagi para
pelaku kebaikan dan orang-orang mulia.
Oleh
sebab itu, para ulama telah menggariskan beberapa kiat dalam
menyongsong musim-musim limpahan kebaikan semacam ini, supaya kita turut
merasakan nikmatnya bulan suci ini. Di antara kiat-kiat tersebut
(Agar Ramadhan Kita Bermakna Indah, nasihat yang disampaikan oleh
Syaikh kami Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili pada malam Jum’at 27
Sya’ban 1423 H di Masjid Dzun Nurain Madinah. Plus
penjelasan-penjelasan lain dari penyusun):
Kiat Pertama: Bertawakal kepada Allah Ta’ala
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Dalam
menyambut kedatangan musim-musim ibadah, seorang hamba sangat
membutuhkan bimbingan, bantuan dan taufik dari Allah ta’ala. Cara
meraih itu semua adalah dengan bertawakal kepada-Nya.”
Oleh
karena itu, salah satu teladan dari ulama salaf -sebagaimana yang
dikisahkan Mu’alla bin al-Fadhl- bahwa mereka berdoa kepada Allah dan
memohon pada-Nya sejak enam bulan sebelum Ramadhan tiba agar dapat
menjumpai bulan mulia ini dan memudahkan mereka untuk beribadah di
dalamnya. Sikap ini merupakan salah satu perwujudan tawakal kepada Allah.
Ibnu
Taimiyah menambahkan, bahwa seseorang yang ingin melakukan suatu
amalan, dia berkepentingan dengan beberapa hal yang bersangkutan dengan
sebelum beramal, ketika beramal dan setelah beramal:
a.
Adapun perkara yang dibutuhkan sebelum beramal adalah menunjukkan
sikap tawakal kepada Allah dan semata-mata berharap kepada-Nya agar
menolong dan meluruskan amalannya. Ibnul Qayyim memaparkan bahwa para
ulama telah bersepakat bahwa salah satu indikasi taufik Allah kepada
hamba-Nya adalah pertolongan-Nya kepada hamba-Nya. Sebaliknya, salah
satu ciri kenistaan seorang hamba adalah kebergantungannya kepada
kemampuan diri sendiri.
Menghadirkan
rasa tawakal kepada Allah adalah merupakan suatu hal yang paling
penting untuk menyongsong musim-musim ibadah semacam ini; untuk
menumbuhkan rasa lemah, tidak berdaya dan tidak akan mampu menunaikan
ibadah dengan sempurna, melainkan semata dengan taufik dari Allah.
Selanjutnya kita juga harus berdoa kepada Allah agar dipertemukan
dengan bulan Ramadhan dan supaya Allah membantu kita dalam beramal di
dalamnya. Ini semua merupakan amalan yang paling agung yang dapat
mendatangkan taufik Allah dalam menjalani bulan Ramadhan.
Kita
amat perlu untuk senantiasa memohon pertolongan Allah ketika akan
beramal karena kita adalah manusia yang disifati oleh Allah ta’ala
sebagai makhluk yang lemah:
وخلق الإنسان ضعيفا
“Dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS. An-Nisa: 28)
Jika kita bertawakal kepada Allah dan memohon kepada-Nya, niscaya Dia akan memberi taufik-Nya pada kita.
b.
Di saat mengerjakan amalan ibadah, poin yang perlu diperhatikan
seorang hamba adalah: ikhlas dan mengikuti petunjuk Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dua hal inilah yang merupakan dua syarat
diterimanya suatu amalan di sisi Allah. Banyak ayat dan hadits yang
menegaskan hal ini. Di antaranya: Firman Allah ta’ala,
وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين
“Padahal mereka tidaklah diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
“Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan itu akan tertolak.” (HR. Muslim)
c.
Usai beramal, seorang hamba membutuhkan untuk memperbanyak istigfar
atas kurang sempurnanya ia dalam beramal, dan juga butuh untuk
memperbanyak hamdalah (pujian) kepada Allah Yang telah memberinya taufik
sehingga bisa beramal. Apabila seorang hamba bisa mengombinasikan
antara hamdalah dan istigfar, maka dengan izin Allah ta’ala, amalan
tersebut akan diterima oleh-Nya.
Hal
ini perlu diperhatikan betul-betul, karena setan senantiasa mengintai
manusia sampai detik akhir setelah selesai amal sekalipun! Makhluk
ini mulai menghias-hiasi amalannya sambil membisikkan, “Hai fulan,
kau telah berbuat begini dan begitu… Kau telah berpuasa Ramadhan… Kau
telah shalat malam di bulan suci… Kau telah menunaikan amalan ini dan
itu dengan sempurna…” Dan terus menghias-hiasinya terhadap seluruh
amalan yang telah dilakukan sehingga tumbuhlah rasa ‘ujub (sombong
dan takjub kepada diri sendiri) yang menghantarkannya ke dalam lembah
kehinaan. Juga akan berakibat terkikisnya rasa rendah diri dan rasa
tunduk kepada Allah ta’ala.
Seharusnya
kita tidak terjebak dalam perangkap ‘ujub; pasalnya, orang yang
merasa silau dengan dirinya sendiri (bisa begini dan begitu) serta
silau dengan amalannya berarti dia telah menunjukkan kenistaan,
kehinaan dan kekurangan diri serta amalannya.
Hati-hati dengan tipu daya setan yang telah bersumpah:
فبما أغويتني لأقعدن لهم صراطك المستقيم. ثم لآتينهم من بين أيديهم ومن خلفهم وعن أيمانهم وعن شمائلهم
“Karena
Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan
(menghalang-halangi) mereka (para manusia) dari jalan-Mu yang lurus.
Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang
mereka, dari kanan dan dari kiri mereka.” (QS. Al-A’raf: 16-17)
Kiat Kedua: Bertaubat Sebelum Ramadhan Tiba
Banyak sekali dalil yang memerintahkan seorang hamba untuk bertaubat, di antaranya: firman Allah ta’ala:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحاً
عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ
جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ
“Hai
orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat
yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kamu akan menghapuskan
kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir
di bawahnya sungai-sungai.” (QS. At Tahrim: 8)
Kita diperintahkan untuk senantiasa bertaubat, karena tidak ada seorang pun di antara kita yang terbebas dari dosa-dosa. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,
كل بنى آدم خطاء وخير الخطائين التوابون
“Setiap keturunan Adam itu banyak melakukan dosa dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah yang bertaubat.” (HR. Tirmidzi dan dihasankan isnadnya oleh Syaikh Salim Al Hilal)
Dosa
hanya akan mengasingkan seorang hamba dari taufik Allah, sehingga dia
tidak kuasa untuk beramal saleh, ini semua hanya merupakan sebagian
kecil dari segudang dampak buruk dosa dan maksiat (lihat Dampak-Dampak dari Maksiat dalam kitab Ad-Daa’ Wa Ad-Dawaa’ karya Ibnul Qayyim, dan Adz-Dzunub Wa Qubhu Aatsaariha ‘Ala Al-Afrad Wa Asy-Syu’ub
karya Muhammad bin Ahmad Sayyid Ahmad hal: 42-48). Apabila ternyata
hamba mau bertaubat kepada Allah ta’ala, maka prahara itu akan sirna
dan Allah akan menganugerahi taufik kepadanya kembali.
Taubat
nasuha atau taubat yang sebenar-benarnya hakikatnya adalah: bertaubat
kepada Allah dari seluruh jenis dosa. Imam Nawawi menjabarkan: Taubat
yang sempurna adalah taubat yang memenuhi empat syarat:
- Meninggalkan maksiat.
- Menyesali kemaksiatan yang telah ia perbuat.
- Bertekad bulat untuk tidak mengulangi maksiat itu selama-lamanya.
- Seandainya maksiat itu berkaitan dengan hak orang lain, maka dia harus mengembalikan hak itu kepadanya, atau memohon maaf darinya (Lihat: Riyaadhush Shaalihiin, karya Imam an-Nawawi hal: 37-38)
Ada
suatu kesalahan yang harus diwaspadai: sebagian orang terkadang
betul-betul ingin bertaubat dan bertekad bulat untuk tidak berbuat
maksiat, namun hanya di bulan Ramadhan saja, setelah bulan suci ini
berlalu dia kembali berbuat maksiat. Sebagaimana taubatnya para artis
yang ramai-ramai berjilbab di bulan Ramadhan, namun setelah itu kembali
‘pamer aurat’ sehabis idul fitri.
Ini
merupakan suatu bentuk kejahilan. Seharusnya, tekad bulat untuk tidak
mengulangi perbuatan dosa dan berlepas diri dari maksiat, harus tetap
menyala baik di dalam Ramadhan maupun di bulan-bulan sesudahnya.
Kiat Ketiga: Membentengi Puasa Kita dari Faktor-Faktor yang Mengurangi Keutuhan Pahalanya
Sisi
lain yang harus mendapatkan porsi perhatian spesial, bagaimana kita
berusaha membentengi puasa kita dari faktor-faktor yang mengurangi
keutuhan pahalanya. Seperti menggunjing dan berdusta. Dua penyakit ini
berkategori bahaya tinggi, dan sedikit sekali orang yang selamat dari
ancamannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan:
من لم يدع قول الزور والعمل به فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه
“Barang
siapa yang tidak meninggalkan kata-kata dusta dan perbuatannya, maka
niscaya Allah tidak akan membutuhkan penahanan dirinya dari makanan
dan minuman (tidak membutuhkan puasanya).” (HR. Bukhari)
Jabir bin Abdullah menyampaikan petuahnya:
إذا
صمت فليصم سمعك وبصرك ولسانك عن الكذب والمحارم ودع أذى الجار, وليكن
عليك وقار وسكينة يوم صومك, ولا تجعل يوم صومك ويوم فطرك سواء
“Seandainya
kamu berpuasa maka hendaknya pendengaranmu, penglihatanmu dan lisanmu
turut berpuasa dari dusta dan hal-hal haram dan janganlah kamu
menyakiti tetangga. Bersikap tenang dan berwibawalah di hari puasamu.
Janganlah kamu jadikan hari puasamu dan hari tidak berpuasamu sama.” (Lathaa’if al-Ma’arif, karya Ibnu Rajab al-Hambali, hal: 292)
Orang
yang menahan lisannya dari ghibah dan matanya dari memandang hal-hal
yang haram ketika berpuasa Ramadhan tanpa mengiringinya dengan
amalan-amalan sunnah, lebih baik daripada orang yang berpuasa plus
menghidupkan amalan-amalan sunnah, namun dia tidak berhenti dari dua
budaya buruk tadi! Inilah realita mayoritas masyarakat; ketaatan yang
bercampur dengan kemaksiatan.
Umar bin Abdul ‘Aziz pernah ditanya tentang arti takwa, “Takwa adalah menjalankan kewajiban dan meninggalkan perbuatan haram”, jawab beliau. Para ulama menegaskan, “Inilah
ketakwaan yang sejati. Adapun mencampur adukkan antara ketaatan dan
kemaksiatan, maka ini tidak masuk dalam bingkai takwa, meski dibarengi
dengan amalan-amalan sunnah.”
Oleh
sebab itu para ulama merasa heran terhadap sosok yang menahan diri
(berpuasa) dari hal-hal yang mubah, tapi masih tetap gemar terhadap
dosa. Ibnu Rajab al-Hambali bertutur, “Kewajiban orang yang berpuasa
adalah menahan diri dari hal-hal mubah dan hal-hal yang terlarang.
Mengekang diri dari makanan, minuman dan jima’ (hubungan suami istri),
ini sebenarnya hanya sekedar menahan diri dari hal-hal mubah yang
diperbolehkan. Sementara itu ada hal-hal terlarang yang tidak boleh
kita langgar baik di bulan Ramadhan maupun di bulan lainnya. Di bulan
suci ini tentunya larangan tersebut menjadi lebih tegas. Maka sungguh
sangat mengherankan kondisi orang yang berpuasa (menahan diri) dari
hal-hal yang pada dasarnya diperbolehkan seperti makan dan minum,
kemudian dia tidak berpuasa (menahan diri) dan tidak berpaling dari
perbuatan-perbuatan yang diharamkan di sepanjang zaman seperti ghibah,
mengadu domba, mencaci, mencela, mengumpat dan lain-lain. Semua ini
merontokkan ganjaran puasa.”
Kiat Keempat: Memprioritaskan Amalan yang Wajib
Hendaknya
orang yang berpuasa itu memprioritaskan amalan yang wajib. Karena
amalan yang paling dicintai oleh Allah ta’ala adalah amalan-amalan yang
wajib. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dalam suatu hadits qudsi, bahwa Allah ta’ala berfirman:
وما تقرب إلي عبدي بشيء أحب إلي مما افترضت عليه
“Dan
tidaklah seseorang mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu amalan
yang lebih Aku cintai daripada amalan-amalan yang Ku-wajibkan.” (HR. Bukhari)
Di
antara aktivitas yang paling wajib dilaksanakan pada bulan Ramadhan
adalah: mendirikan shalat berjamaah lima waktu di masjid (bagi kaum
pria), berusaha sekuat tenaga untuk tidak ketinggalan takbiratul ihram.
Telah diuraikan dalam sebuah hadits:
من صلى لله أربعين يوما في جماعة يدرك التكبيرة الأولى كتب له براءتان: براءة من النار وبراءة من النفاق
“Barang
siapa yang shalat karena Allah selama empat puluh hari dengan
berjama’ah dan selalu mendapatkan takbiratul ihram imam, akan
dituliskan baginya dua ‘jaminan surat kebebasan’ bebas dari api neraka
dan dari nifaq.” (HR. Tirmidzi dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani)
Seandainya
kita termasuk orang-orang yang amalan sunnahnya tidak banyak pada
bulan puasa, maka setidaknya kita berusaha untuk memelihara shalat lima
waktu dengan baik, dikerjakan secara berjamaah di masjid, serta
berusaha sesegera mungkin berangkat ke masjid sebelum tiba waktunya.
Sesungguhnya menjaga amalan-amalan yang wajib di bulan Ramadhan adalah
suatu bentuk ibadah dan taqarrub yang paling agung kepada Allah.
Sungguh
sangat memprihatinkan, tatkala kita dapati orang yang melaksanakan
shalat tarawih dengan penuh semangat, bahkan hampir-hampir tidak pernah
absen, namun yang disayangkan, ternyata dia tidak menjaga shalat lima
waktu dengan berjamaah. Terkadang bahkan tidur, melewatkan shalat
wajib dengan dalih sebagai persiapan diri untuk shalat tarawih!!? Ini
jelas-jelas merupakan suatu kejahilan dan bentuk peremehan terhadap
kewajiban! Sungguh hanya mendirikan shalat lima waktu berjamaah tanpa
diiringi dengan shalat tarawih satu malam, lebih baik daripada
mengerjakan shalat tarawih atau shalat malam, namun berdampak
menyia-nyiakan shalat lima waktu. Bukan berarti kita memandang sebelah
mata terhadap shalat tarawih, akan tetapi seharusnya seorang muslim
menggabungkan kedua-duanya; memberikan perhatian khusus terhadap
amalan-amalan yang wajib seperti shalat lima waktu, lalu baru melangkah
menuju amalan-amalan yang sunnah seperti shalat tarawih.
Kiat Kelima: Berusaha untuk Mendapatkan Lailatul Qadar
Setiap
muslim di bulan berkah ini berusaha untuk bisa meraih lailatul qadar.
Dialah malam diturunkannya Al-Qur’an (QS. Al-Qadar: 1, dan QS.
Ad-Dukhan: 3), dialah malam turunnya para malaikat dengan membawa rahmat
(QS. Al-Qadar: 4), dialah malam yang berbarakah (QS. Ad-Dukhan: 3),
dialah malam yang lebih utama daripada ibadah seribu bulan! (83 tahun
plus 4 bulan) (QS. Al-Qadar: 3). Barang siapa yang beribadah pada
malam ini dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah
maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni oleh-Nya (HR. Bukhari
dan Muslim).
Mendengar
segunung keutamaan yang dimiliki malam mulia ini, seyogyanya seorang
muslim memanfaatkan kesempatan emas ini untuk meraihnya.
Di malam ke berapakah lailatul qadar akan jatuh?
Malam lailatul qadar akan jatuh pada malam-malam sepuluh akhir bulan Ramadhan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan:
تحروا ليلة القدر في العشر الأواخر من رمضان
“Carilah lailatul qadar pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tepatnya pada malam-malam yang ganjil di antara malam-malam yang sepuluh tersebut, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
تحروا ليلة القدر في الوتر من العشر الأواخر من رمضان
“Carilah lailatul qadar pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari)
Tapi
di malam manakah di antara malam-malam yang ganjil? Apakah di malam
21, malam 23, malam 25, malam 27 atau malam 29? Pernah di suatu tahun
pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lailatul qadar
jatuh pada malam 21, sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Sa’id
al-Khudri bahwa di pagi hari tanggal 21 Ramadhan tahun itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إني أريت ليلة القدر
“Sesungguhnya aku diperlihatkan lailatul qadar (malam tadi).” (HR.Bukhari dan Muslim)
Pernah pula di suatu tahun lailatul qadar jatuh pada malam 27. Ubai bin Ka’ab berkata:
والله إني لأعلمها وأكثر علمي هي الليلة التي أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم بقيامها هي ليلة سبع وعشرين
“Demi
Allah aku mengetahuinya (lailatul qadar), perkiraan saya yang paling
kuat dia jatuh pada malam yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan kami untuk bangun malam di dalamnya, yaitu malam
dua puluh tujuh.” (HR. Muslim)
Pada tahun yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para sahabatnya untuk mencari lailatul qadar pada tujuh malam terakhir dari bulan Ramadhan:
فمن كان متحريها فليتحرها في السبع الأواخر
“Barang siapa yang ingin mencarinya (lailatul qadar) hendaklah ia mencarinya pada tujuh malam terakhir (dari bulan Ramadhan).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Cara memadukan antara hadits-hadits
tersebut di atas: dengan mengatakan bahwa lailatul qadar setiap
tahunnya selalu berpindah-pindah dari satu malam yang ganjil ke malam
ganjil lainnya, akan tetapi tidak keluar dari sepuluh malam terakhir
dari bulan Ramadhan (Lihat Fathul Baari karya Ibnu Hajar, dan Asy-Syarh al-Mumti’ karya Syaikh al-Utsaimin (6/493-495))
Di antara hikmah dirahasiakannya waktu lailatul qadar adalah:
- Agar amal ibadah kita lebih banyak. Sebab dengan dirahasiakannya kapan waktu lailatul qadar, kita akan terus memperbanyak shalat, dzikir, doa dan membaca Al-Qur’an di sepanjang malam-malam sepuluh terakhir Ramadhan terutama malam yang ganjil.
- Sebagai ujian dari Allah ta’ala, untuk mengetahui siapa di antara para hamba-Nya yang bersungguh-sungguh dalam mencari lailatul qadar dan siapa yang bermalas-malasan serta meremehkannya (Majaalisu Syahri Ramadhaan, karya Syaikh al-’Utsaimin hal: 163)
Maka
seharusnya kita berusaha maksimal pada sepuluh hari itu; menyibukkan
diri dengan beramal dan beribadah di seluruh malam-malam itu agar kita
bisa menggapai pahala yang agung itu. Mungkin saja ada orang yang
tidak berusaha mencari lailatul qadar melainkan pada satu malam
tertentu saja dalam setiap Ramadhan dengan asumsi bahwa lailatul qadar
jatuh pada tanggal ini atau itu, walaupun dia berpuasa Ramadhan selama
40 tahun, barangkali dia tidak akan pernah sama sekali mendapatkan
momen emas itu. Selanjutnya penyesalan saja yang ada…
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan teladan:
(كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا دخل العشر شد مئزره وأحيا ليله وأيقظ أهله)
متفق عليه
متفق عليه
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam jika memasuki sepuluh (terakhir
Ramadhan) beliau mengencangkan ‘ikat pinggangnya’, menghidupkan
malamnya dan membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kiat
Keenam: Jadikan Ramadhan Sebagai Madrasah untuk Melatih Diri Beramal
Saleh, yang Terus Dibudayakan Setelah Berlalunya Bulan Suci Ini
Bulan
Ramadhan ibarat madrasah keimanan, di dalamnya kita belajar mendidik
diri untuk rajin beribadah, dengan harapan setelah kita tamat dari
madrasah itu, kebiasaan rajin beribadah akan terus membekas dalam diri
kita hingga kita menghadap kepada Yang Maha Kuasa.
Allah ta’ala memerintahkan:
واعبد ربك حتى يأتيك اليقين
“Dan sembahlah Rabbmu sampai ajal datang kepadamu.” (QS. Al-Hijr: 99)
Tatkala al-Hasan al-Bashri membaca ayat ini beliau menjelaskan,
إن الله لم يجعل لعمل المؤمن أجلا دون الموت
“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan batas akhir bagi amal seorang Mukmin melainkan ajalnya.”
Maka
jangan sampai amal ibadah kita turut berakhir dengan berakhirnya
bulan Ramadhan. Kebiasaan kita untuk berpuasa, shalat lima waktu
berjamaah di masjid, shalat
malam, memperbanyak membaca Al-Qur’an, doa dan zikir, rajin
menghadiri majelis taklim dan gemar bersedekah di bulan Ramadhan, mari
terus kita budayakan di luar Ramadhan.
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أجود الناس, وكان أجود ما يكون في رمضان
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan orang yang paling dermawan,
dan beliau lebih dermawan sekali di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ulama salaf
pernah ditanya tentang sebagian orang yang rajin beribadah di bulan
Ramadhan, namun jika bulan suci itu berlalu mereka pun meninggalkan
ibadah-ibadah tersebut? Dia pun menjawab:
بئس القوم لا يعرفون الله إلا في رمضان
“Alangkah buruknya tingkah mereka, mereka tidak mengenal Allah melainkan hanya di bulan Ramadhan!”
Merupakan ciri utama diterimanya puasa kita di bulan Ramadhan dan tanda terbesar akan keberhasilan kita meraih lailatul qadar adalah: berubahnya diri kita menjadi lebih baik daripada kondisi kita sebelum Ramadhan.
Wallahu ta’ala a’lam wa shallallahu ‘ala nabiyyina muhammadin wa ‘ala alihi wa shabihi ajma’in.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tolong komentarnya berhubungan dengan artikel yang ada
Komentar yang mengarah ke tindakan spam akan di hapus atau terjaring secara otomatis oleh spam filter.