KH. Abbas Buntet (1879 – 1946)
SAYA DISURUH MEMBAWA BAKIAK KIAI ABBAS
(Pengakuan Abdul Wachid Salah Satu Pengawal Kiai Abbas Buntet Waktu Perang 10 November 1945 di Surabaya)
oleh : Drs.Munib Rowandi Amsal Hadi
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia
merdeka setelah penjajah Jepang tidak berdaya. Pada tanggal 29 September
1945 tentara sekutu (Inggris) yang bertugas sebagai Polisi Keamanan
mendarat di berbagai kota besar di Jawa dan Sumatra, di antaranya adalah
di kota Surabaya. Mereka bermaksud untuk melucuti persenjataan tentara
Jepang. Ternyata, Belanda membonceng tentara Inggris dan melakukan
tindakan-tindakan anarkis.
Tentu rakyat Indonesia yang telah
merdeka tidak ingin kedaulatannya dikoyak-koyak kembali oleh Belanda.
Maka meletuslah perang dahsyat yang terkenal dengan “Perang 10
November”. Namun rakyat Surabaya tidak dapat berbuat banyak, bahkan
telah mundur ke luar kota Surabaya. Selain itu, mereka juga menunggu
kiai dari Cirebon. Karena menurut khadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari
perlawanan akan dimualai nanti kalau sudah datang ulama dari Cirebon.
Dan ulama yang dimaksud adalah KH. Abbas.1
Bagaimana perjalan Kiai Abbas ke
Surabaya? Berikut ini penuturan Abdul Wachid, satu-satunya pengawal Kiai
Abbas yang memberikan kesaksian secara tertulis melalui H. Samsu pada
tahun 1998.
Pada hari itu, kalau tidak salah,
tanggal 6 November 1945 saya dengan tiga orang yaitu Usman, Abdullah dan
Sya,rani mendapat tugas dari Detasemen Hizbullah Resimen XII/SGD untuk
mengawal Kiai Abbas ke front Surabaya.
Pada jam 06.30 rombongan kami, dengan
diiringi pasukan Hizbullah Resimen XII Divisi I Syarif Hidayat
meninggalkan Markas Detasemen menuju stasiun Prujakan Cirebon. Rombongan
kami, selain tiga pengawal serta Kiai Abbas, juga ikut Kiai H. Achmad
Tamin dari Losari sebagai pendamping Kiai Abbas. Selanjutnya kami naik
Kereta Api Express.
Pada waktu itu, Kiai Abbas mengenakan
jas buka abu-abu, kain sarung plekat bersorban dan beralas kaki trumpah
(sandal japit kulit). Kiai Abbas menyerahkan sebuah kantong pada saya.
Setelah saya raba-raba, ternyata isinya bakyak. Saya sempat heran bahkan
tertawa sendiri, untuk apa bakyak ini? Bukankah Kiai sudah memakai
trumpah? Atau senjata perang? Masa senjata kok bakyak?
Pada sekitar jam 17.00, kereta api yang
kami tumpangi telah masuk di stasiun Rembang Jawa Tengah. Ternyata
sudah banyak orang yang menunggu. Lalu kami diantar ke Pondok Pesantren
Kiai Bisri di Rembang.
Pada malam harinya, ba’da salat isya,
para ulama yang jumlahnya diperkirakan lebih dari 15 orang, mengadakan
musyawarah untuk menentukan komando/pemimpin pertempuran di Surabaya.
Hasil musyawarah memutuskan bahwa komado pertempuran dipercayakan kepada
Kiai Abbas.
Ba’da salat subuh, pondok pesantren
Rembang sudah ramai. Para santri sudah siap berangkat ke Surabaya, dan
banyak pula yang berseragam Hizbuillah. Di halam masjid sudah ada dua
mobil sedan kuna yang berkapasitas empat orang penumpang. Bapak Kiai
Abbas memanggil saya dan rekan-rekan pengawal dari Cirebon. Beliau
meminta bingkisan (bakyak) yang dititipkannya pada saya. Beliau juga
menyuruh kepada kami, pengawal dari Cirebon, untuk tidak ke mana-mana
sampai beliau kembali dari Surabaya.
Setelah itu, Kiai Abbas naik salah satu
mobil dengan Kiai Bisri di jok belakang sementara H. Achmad Tamin duduk
di depan dengan sopir. Sedang sedan yang satunya lagi berpenumpang
empat orang kiai yang saya sendiri tidak tahu namanya. Dengan diiringi
pekik takbir “ALLAHU AKBAR!!!”, dan pekik MERDEKA !!! yang saling
bersahutan, rombongan kiai itu perlahan-lahan bergerak meninggalkan
pondok pesantren Rembang.
Sudah hampir sepekan kami berada di
Pondok pesantren Rembang. Tiada kabar berita apa-apa. Ini membuat kami
gelisah. Ingin rasanya menyusul ke Surabaya kalau saja tidak ada pesan
dari Kiai untuk tidak boleh ke mana-mana.
Baru pada tanggal 13 November 1945, ada
beberapa laskar Hizbullah (santri pokdok pesantren Rembang) yang datang.
Kedatangannya disambut oleh santri-santri termasuk kami dan langsung
dibrondong pertanyaan-pertanyaan tentang situasi peperangan Kota
Surabaya.
Menurut cerita santri Rembang yang baru
datang tersebut, begitu rombongan para kiai datang, langsung disambut
dengan gemuruh takbir dan pekik merdeka. Lalu para kiai tersebut masuk
ke masjid dan melakukan salat sunnah. kemudian Kiai dari Cirebon (Kiai
Abbas-red) memerintahkan kepada pendamping beliau (Kiai H. Achmad
Tamin-red) untuk berdoa di tepi kolam masjid. Dan kepada Kiai Bisri dari
Rembang beliau (Kiai Abbas-red) memohon agar memerintahkan para laskar /
pemuda-pemuda yang akan berjuang untuk mengambil air wudlu dan meminum
air yang telah diberi doa. Segera saja para laskar / pemuda-pemuda itu
berebutan, bahkan ada yang merasa kurang dengan hanya berwudlu dan
menerjunkan diri masuk ke dalam kolam.
Kemudian, bagaikan lebah keluar dari
sarangnya, pemuda-pemuda dari segala lapisan Badan Perjuangan AREK-AREK
SUROBOYO menyerbu Belanda dengan diringi takbir dan pekik merdeka yang
bergemuruh di seluruh penjuru kota Surabaya yang didisambut dengan
rentetan tembakan gencar dari serdadu Belanda. Korban dari kedua belah
pihak pun tak terelakkan berjatuhan, terutama dari pihak kita yang hanya
bersenjata bambu runcing, pentungan atau golok seadanya yang disongsong
dengan semburan peluru dari berbagai senjata otomatis modern. Sungguh
tragis dan mengerikan.
“Kami dengan para kiai berda di tempat
yang agak tinggi, jadi jelas sekali dapat melihat keadaan di bawah
sana”, jelas santri Rembang yang ternyata pengawal Kiai Bisri Rembang.
Saat itu, lanjut cerita santri Rembang, Kiai Cirebon (Kiai Abbas-Red)
mengenakan alas kaki bakiak berdiri tegak di halaman masjid. Kemudian
beliau membaca doa dengan menengadahkan kedua tangannya ke langit.
Kiranya doa beliau terkabulkan. Saya melihat dengan mata kepala sendiri
keajaiban yang luiar biasa. Beribu-ribu alu (penumbuk padi) dan lesung
(tempat padi saat ditumbuk) dari rumah-rumah rakyat berhamburan terbang
menerjang serdadu – serdadu Belanda. Suaranya bergemuruh bagaikan air
bah sehingga Belanda kewalahan dan merekapun mundur ke kapal induk
mereka.
Tidak lama kemudian, pihak sekutu
mengirim pesawat Bomber Hercules. Akan tetapi pesawat itu tiba-tiba
meledak di udara sebelum bereaksi. Kemudian beberapa pesawat sekutu
berturut-turut datang lagi yang maksudnya akan akan menjatuhkan bom-bom
untuk menghancurkan Kota Surabaya, namun beberapa pesawat itupun
mengalami nasib yang sama, meledak di udara sebelum bereaksi. “disitulah
kehebatan Kiai Cirebon (Kiai Abbas-Red) yang dapat saya saksikan
sendiri”, tandas santri Rembang meyakinkan para santri.
Keesokan harinya, lanjut cerita santri
Rembang, pihak musuhpun datang lagi berbondong-bondong berupa kompi
tang-tang / mobil baja dan truk-truk menyerang kubu-kubu pertahanan
tentara / laskar kita yang didiringi oleh dentuman kanon dan mortir
serta rentetan tembakan tembakan 12,7 dari pesawat udara yang cukup
banyak jumlahnya sehingga tentara dan laskar kita banyak yang gugur dan
terpaksa mundur di pinggir kota Surabaya.
Menjelang malam hari tiba, pertempuran baru agak mereda. Hanya beberapa tembakan kecil saja yang masih terdengar di sana sini.
Kemudian kami diperintah pulang oleh
Pak Kiai (Kiai Bisri-red) untuk menyampaikan berita keadaan di front
Surabaya kepada keluarga dan warga Pondok Pesantren bahwa pak kiai dan
para alim ulama lainnya dalam keadaan selamat sehat wal afia, dan
dianjurkan kepada semua warga pondok dan masyarakat Rembang untuk berdoa
memohon kepada Allah SWT atas perlindungan, keselamatan dan kemenangan
bagi para pejuang kita yang dalam pertempuran melawan dan mengusir
penjajah Belanda dari bumi Indonesia.
Tiga hari kemudian, menjelang pagi,
Kiai Abbas dengan pendampingnya Kiai H. Achmad Tamin dan Kiai Bisri
Rembang serta beberapa kiai lainnya datang. Kami tidak banyak memperoleh
informasi dari beliau-beliau tentang kejadian Surabaya. Setelah subuh,
kami para pengawal dari Cirebon diperintahkan berkemas-kemas untuk
pulang kembali ke Cirebon.
Dengan menumpang Kereta Api Express jam
06.00, kami bertolak meninggalkan Rembang dan tiba di Cirebon dengan
selamat pada jam 17.30. sepanjang perjalanan dari Rembang ke Cirebon,
tidak banyak yang kami bicarakan, karena Kiai Abbas dalam kelelahan dan
kantuk yang amat sangat karena selama di Surabaya beliau kurang
istirahat dan kurang tidur.
Demikianlah yang bisa saya sampaikan. Dan mohon maaf atas segala kelupaan.