Rd.Adi Kusuma

Rd.Adi Kusuma

Selasa, 02 April 2013

Do'a Yang sering diamalkan Gus Dur



Doa Pertobatan 1

مَوْلاَىَ صَلِّ وَسَلِّمْ دَائِمًا اَبَدًا

عَلَى حَبِيْبِكَ خَيْرَ الْخَلْقِ كُلِّهِمِ

 يَا رَبِّ بِالْمُصْطَفَى بَلِّغْ مَقَاصِدَنَا

 وَاغْفِرْ لَنَا مَا مَضَى يَا وَاسِعَ اْلكَرَمِ

 هُوَ الْحَبِيْبُ الَّذِى تُرْجَى شَفَاعَتْهُ

لِكُلِّ هَوْلٍ مِنَ الْاَهْوَالِ مُقْتَحِمِ

 Wahai Tuhanku,


Anugerahi kedamaian dan keselamatan
Selama-lamanya
Pada sang kekasih-Mu : Ahmad
Ciptaan-Mu yang  terbaik dari semuanya
Berkat al Musthafa, sampaikan maksud-maksudku
Ampunilah dosa-dosa yang lewat
Wahai Yang Maha Mulia
Al-Musthafa, dialah sang kekasih
Pertolongannya diharap-harap
Bagi setiap kegelisahan yang memuncak




Do’a Pertobatan 2



إِلَهِى لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلاً
وَلَا أَقْوَى عَلَى نَارِ الْجَحِيْمِ

فَهَبْ لِى تَوْبَةً وَاغْفِرْ ذُنُوْبِى

فَإِنَّكَ غَافِرُ الذَّنْبِ اْلعَظِيْمِ
ذُنُوْبِى مِثْلُ عْدَادِ الرَّمَالِ
فَهَبْ لِى تَوْبَةً يَا ذَالْجَلاَ لِ
وَعُمْرِى نَاقِصٌ فِى كُلِّ يَوْمٍ
وَذَنْبِى زَائِدٌ كَيْفَ احْتِمَالِى
إِلَهِى عَبْدُ كَ اْلعَاصِىِى أَتَاكَ
مُقِرًّا بِالذُّنُوْبِ وَقَدْ دَعَا كَ
وَاِنْ تَغْفِرْ فَأَ نْتَ لِذَاكَ أَهْلٌ
وَاِنْ تَطْرُدْ فَمَنْ نَرْجُو سِوَاكَ








Wahai Tuhanku
Aku bukan orang yang pantas tinggal di surga-Mu
Tetapi aku juga tak sanggup di neraka-Mu
Anugerahi aku kemampuan kembali pada-Mu
Dan ampuni dosa-dosaku
Karena hanya Engkaulah
Satu-satunya yang bisa memberi ampun
dosa-dosa besar

Dosa-dosaku bak jumlah butir pasir di bumi
Anugerahi aku kemampuan kembali pada-Mu
Wahai Yang Maha Agung

Umurku berkurang setiap hari
Tetapi dosaku bertambah-tambah saja
Bagaimana aku sanggup menanggungnya

Wahai Tuhanku,
Hamba-Mu yang berdosa
Telah datang, telah datang
Mengakui begitu banyak dosa
Dan ia telah sungguh-sungguh meminta-Mu

Bila Engkau mengampuniku
Karena hanya Engkaulah yang bisa mengampuni
Tetapi bila Engkau menolakku
Kepada siapa lagi aku bisa berharap




Do’a (3)





Pertobatan, Amal saleh dan Ilmu Yang bermanfaat


أَسْتَغْفِرُ اللهْ رَبَّ الْبَرَايَا


أَسْتَغْفِرُ اللهْ مِنَ الْخَطَايَا
 رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا نَافِعَا  


وَوَفِّقْنِي عَمَلاً صَالِحَا

Aku mohon ampunan Tuhan
Dari segala kesalahan
Aku mohon ampunan Tuhan
Tuhan seluruh ciptaan-Nya
Tunjuki aku kerja yang baik
Tuhanku,
Tambahi aku pengetahuan yang berguna


Dalam berbagai kesempatan bersama Gus Dur, manakala diminta berdoa, beliau seringkali berdoa ini :

رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ

“Wahai Tuhan kami! Anugerahilah kami rahmat dari sisi-Mu dan tuntunlah kami pada jalan keselamatan.” (Q.S. al-Kahfi, [18]:10) dan diakhiri dengan do’a paling popular:

رَبَّنَا آتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“Wahai Tuhan, anugerahi kami kebaikan hidup di dunia dan kebaikan hidup di akhirat, dan lindungi kami dari siksa neraka”.(Q.S. Al-Baqarah, [2]:201).



Kisah Mbah Cholil Rembang dan Abah Dimyati Ro'is Kaliwungu










Oleh: KH. Usman Arrumy
Assalamu'alaikum Wr.Wb

            Demikianlah, Mbah Cholil adalah salah satu Kyai kharismatik sekaligus menjadi idola saya setelah ''KH. Dimyati Ro'is Kaliwungu'' yang memang merupakan guru dimana banyak sekali aku mencecap ilmu yang Abah Dim ajarkan.

            Aku merasa beruntung bisa sempat mendengar taushiyah Mbah Cholil saat dimana beliau diundang Abah Dim di halaman Pesantren al-Fadlu Jagalan Kaliwungu dalam rangka Imtihan Akhirussanah, bahkan sebelum Mbah Cholil wafat beliau selalu mengisi  taushiyah tiap tahunnya di pondok yang diasuh Abah Dim itu. Karena mungkin Mbah Cholil dan Abah Dim mempunyai hubungan yang erat dimana saat keduanya sama-sama menjabat sebagai DPR RI.

            Lebih dari itu, pernah saat Mbah Cholil menyampaikan taushiyah beliau ''gasaki'' (meledek) Abah Dim: “Kyai kok sandalnya jepit, kyai  itu seperti aku, sandalnya mahal harganya”, lalu santri-santri tertawa semua. Setelah Abah Dim yang naik podium Mbah Cholil gilirannya untuk digasaki dengan nada super guyon.

            Melihat kedua kyai tersebut, aku sempat berdoa bernada memaksa: “Gusti mbok kulo didasoken kados beliau berdua, umpami mboten lajeng kulo bade dados nopo...” (Rabbi seyogyanya saya dijadikan seperti beliau berdua. Seumpama tidak seperti mereka lantas aku mau jadi apa...)..

            Malah saya pribadi sempat didawuhi sendiri sama Abah Dim: “Awakmu kudu wani rekoso nak kepengen ilmumu barokah...” (Kamu harus berani hidup susah kalau ingin ilmumu berkah).

            Salah satu dawuh beliau kepadaku yang lain adalah: “Awakmu ojo minder karo mahasiswa, ojo cilik ati karo wong seng wis nduwe title sarjana, aku wae seng ora nduwe ijazah SD iso dadi DPR RI 3 periode (15 tahun), aku siji-sijine wong sak ndunyo seng mlebu DPR tanpo nggowo ijazah.” (Kamu jangan minder dengan mahasiswa, jangan berkecil hati dengan orang yang memiliki titel sarjana. Aku saja tidak punya ijazah SD bisa menjadi DPR RI 3 periode/15 tahun. Aku satu-satunya orang yang ada di dunia ini yang masuk DPR tanpa menggunakan ijazah).

            Begitulah cara Abah Dim memberi semangat kepadaku waktu aku sowan. Suatu ketika aku sowan kepada beliau bersama orang banyak dari segala lapisan, beliau dawuh: “Akhir-akhir iki aku kok jarang dikirimi fatihah”, (akhir-akhir ini kok saya jarang dikirimi al-Fatihah) sambil menatapku tajam dengan tatapan yang teduh. Memang saat itu sudah sekitar 10 hari aku tidak kirim al-Fatihah kepada beliau.

            Dan masih banyak kisah yang aku alami bersama Abah Dim secara langsung, mudah-mudahan lain kali bisa menceritakan apa saja yang berkenaan dengan Abah Dim secara totalitas.

            Kembali pada Mbah Cholil, Kyai yang saat masih muda terbilang ndablek (nakal) ini ternyata sampai tuanya juga masih MBELING, inilah sekelumit cerita tentang Mbah Cholil.

            Sewaktu mondok di Lirboyo, partner mbeling terdekat Kyai Cholil adalah Gus Miek (Kyai Chamim Jazuli). Pernah, ditengah pelajaran Madrasah, Santri Cholil yang tempat duduknya didekat jendela, disapa Gus Mik dari luar.



“Keluar, Gus!” kata Gus Mik, setengah berbisik.

“Ada apa?”jawab Mbah Cholil.

“Nonton bioskop… ada filem bagus!” sahut Gus Miek.

“Masih pelajaran ini…” Mbah Cholil menjawab dengan nada ragu.

“Lompat saja!” timpal Gus Miek.



              Ketika guru menghadap papan tulis, Santri Cholil melompat keluar dari jendela. Santri-santri lain tak berani menegur tingkah gus-gus itu.

              Jauh di belakang hari, ketika Gus Miek sudah melejit reputasinya sebagai seorang wali keramat yang khoriqul ‘aadah, di tengah-tengah Konbes NU di Pondok Pesantren Ihya ‘Ulumiddin, Kesugihan, Cilacap, seorang Kyai Kediri yang dulunya juga anggota geng santri mbeling di Lirboyo mendatangi Kyai Cholil di penginapan. “Dapat salam dari Gus Miek, Gus”.



“Lhah, dia nggak ikut Konbes?” balas Mbah Cholil

“Datang sih…” Kyai itu melanjutkan.

“Mana orangnya? Kok nggak nemuin aku?” tanya Mbah Cholil penasaran.

“Nggak mau. Sampeyan tukang nggasak (tukang meledek) sih… kalau sampeyan ledek, bisa-bisa badar (gagal) kewaliannya…” jawab Kyai utusan Gus Miek itu.



***



                Suatu kali, Mbah Lim almarhum (Kyai Muslim Rifa’i Imam Puro, Klaten) yang terkenal wali, datang mengunjungi Gus Mus. Seorang pendhereknya (santri yang mengikutinya) diutus untuk memberitahu Kyai Cholil.



“Mbah Lim ada di rumah Gus Mus, Yai”, kata si pendherek kepada Kyai Cholil, “Panjenengan dimohon menemui…”

“Nggak mau! Sama-sama walinya kok!” timpal Mbah Cholil.



               Setelah dilapori, Mbah Lim segera beranjak menemui Kyai Cholil. “Sesama wali” berangkulan sambil tertawa-tawa.



“Wali anyar… wali anyar…”, kata Mbah Lim, “Bodong ‘ki… Bodong ‘ki…”



***

               Konbes NU di Bandarlampung kebingungan memilih Rais ‘Aam baru. Kyai Achmad Shiddiq telah wafat, Kyai Ali Yafie mengundurkan diri. Kyai Yusuf Hasyim, calon terkuat, didelegitimasi keponakannya sendiri.



“Pak Ud itu bukan ulama, tapi zu’ama”, kata Gus Dur, “Beliau termasuk santri korban revolusi… ngajinya kocar-kacir!”



               Konbes pun kehilangan arah. Dikerumuni wartawan, Kyai Cholil melontarkan statement, “Istikhoroh saja!”

“Bagaimana caranya?” wartawan bertanya penasaran.

“Pilih 40 orang kyai ahli riyadhoh (tirakat). Beri kesempatan mereka beristikhoroh. Sesudah itu, saling mecocokkan isyaroh yang didapat masing-masing…” jawab Mbah Cholil.



“Kalau diantara 40 kyai itu hasil istikhorohnya berbeda-beda bagaimana?” balas wartawan dengan nada tak puas.



“Ya divoting!” jawab Kyai Cholil mantap.

MATAHARI TELAH PULANG Merenungkan Sufisme Gus Dur

Assalamu'alaikum Wr.Wb

BACALAH DENGAN HATI, BUKAN BENCI

MATAHARI TELAH PULANG
Merenungkan Sufisme Gus Dur

Oleh : KH. Husein Muhammad



(Tulisan ini pernah dimuat di sejumlah media. Ringkasannya menjadi bagian dari buku “Gus Dur: Bertahta di Sanubari”, editor Anita Wahid, diterbitkan oleh The Wahid Institute, Pebruari 2010. Republikasi ini memenuhi permintaan keluarga, santri, sahabat, dan Gusdurian di desa, agar tulisan ini diterbitkan di FB, untuk mengenang Gus Dur).


1.      Langit Desember yang Murung

Jam 19.00, satu hari menjelang tahun 2009 berganti, HP berdering mengganggu makan malam gratis saya di rumah makan “Jepun”, milik N, sahabat saya. Jay, wartawan Koran Sindo mengkonfimasi kabar mengejutkan. “Bagaimana Gus Dur, aku dengar beliau wafat”, katanya tegang. Dengan dada berdegup, saya segera menghubungi A.W. Maryanto, teman yang selalu mendampingi Gus Dur di Rumah Sakit. Jawabannya tak meyakinkan. Katanya: “Aku baru saja istirahat dan sekarang sedang makan. Jam 17.00 tadi, 18 orang dokter khusus telah memeriksa kesehatan Bapak dan beliau sudah baik”.

Tetapi saya penasaran. Yenni, putri kedua Gus Dur, saya kontak. “Bapak meninggal, mbak Yenni di dalam”, suara Innayah, putri bungsunya, lirih bergetar, tersekat. Dan saya terkulai lemas. Langit 30 Desember 2009 tiba-tiba menjadi muram, murung.

Saya segera sms Ibu Shinta, isteri tercinta Gus Dur: “Ibu, saya sangat menyesal tidak berada di samping bapak, seperti sebelumnya, mohon maaf”. Ya seperti sebelumnya ketika Gus Dur beberapa kali berada di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, saya menjenguknya sekaligus mendo’akan kesembuhannya dengan segera. Dan saya merasa mendapat kehormatan, ketika beliau meminta saya berdo’a bagi kesehatannya. Dengan tetap berbaring di tempatnya, didampingi ibu Nur, isterinya yang setia dan orang-orang yang hadir, Gus Dur dan mereka mengamininya.

“Kita harus berangkat ke Jakarta sekarang juga”, kata saya kepada isteri. Sepanjang jalan dari Cirebon ke Ciganjur, sms dari teman-teman dari segala macam identitas diri; Kiyai, Santri, Abangan, Pendeta, Romo, Bhiku, penganut Konghuchu dan Ahmadiyah, terus berhamburan masuk ke HP saya. Mereka menyatakan duka nestapa teramat dalam dan rasa kehilangan atas kepergian orang yang dicintainya.

Saya tak mengerti mengapa mereka mengirim sms, selain ingin mengabari saya tentang wafatnya Gus Dur dan mendo’akan bagi orang yang mereka kagumi dan keluarga yang ditinggalkannya. Saya  membalasnya singkat: “Dia yang selalu membagi kegembiraan, cinta dan harapan pada bangsa, Negara dan mereka yang tak berdaya, telah kembali kepada kekasihnya, dalam damai abadi”.  

Dini hari yang sejuk, jam 03.00, ketika saya tiba, jalan Warung Sila sampai rumah duka, karangan bunga berwarna-warni, tanda duka cita, berjejer tak berjarak, berserak dan bertumpuk, bagi “Presiden ke 4”, bukan “Mantan Presiden”. Saya tak bisa menghitung jumlahnya. Beberapa jam sebelumnya jalan ini macet total. Ratusan kendaraan dan pejalan kaki seakan tak bergerak. Stagnan. Semuanya sengaja datang ke Ciganjur, ke rumah Gus Dur, menyambut kedatangannya dan menyampaikan ta’ziyah kepada keluarganya.

Ketika saya tiba, ribuan orang masih berjaga di ruang-ruang di sekitar rumah. Masjid al-Munawwaroh, tempat Gus Dur mengaji kitab “al-Hikam”, karya Ibnu Athaillah, seorang sufi besar, dan kitab-kitab yang lain, masih gemuruh dengan bacaan ayat-ayat suci al-Qur’an. Saya segera masuk rumah. Jenazah sudah dibaringkan. Wajah Gus Dur yang tertutup kelambu putih yang tipis, terlihat jelas, seakan-akan sengaja dibiarkan  demikian agar para pelayat bisa melihatnya. Saya segera mendapat giliran entah untuk yang ke berapa puluh kali, memimpin shalat janazah, tahlil dan berdo’a.

Di hadapan tubuh yang masih utuh itu, saya teringat kata-kata dalam sebuah buku tasawuf : “Ketika jiwa pergi dalam keadaan bersih, tanpa membawa serta bersamanya hasrat-hasrat rendah duniawi yang menciptakan ketergantungan, yang selama hidupnya selalu dihindari dan tak pernah dibiarkan menguasi diri; menjadi diri sendiri dan menempatkan perpisahan jiwa dari badan sebagai tujuan dan bahan permenungan… maka jiwa itu telah siap untuk memasuki wilayah kasat mata (‘Alam al-Musyahadah) dimana para bijak-bestari tinggal”.

Ya, itulah jiwa yang telah matang. Ia yang hatinya telah menjadi hati orang-orang yang ditinggalkannya, yang dicintainya. Ia yang telah membagi cinta kepada mereka yang hatinya remuk-redam, tak berdaya dan tanpa gantungan. Ia yang bicara begitu bebas, tanpa beban, polos, karena tak punya hasrat rendah apapun dan tak tergantung pada siapapun, kecuali kepada Tuhan. Ia yang tak pernah peduli dengan gelar-gelar kehormatan yang dianugerahkan dunia kepadanya. Ia yang pikirannya mampu menjangkau masa depan dan melampaui zaman, tetapi yang tetap bisa bertahan dengan kokoh menjalani tradisinya. Ia yang tak pernah gentar untuk melawan setiap tangan tiranik dan korup. Ia yang tak mau kompromi terhadapnya dan tak peduli pada cibiran orang kepadanya.

Begitu usai, saya masuk ke bagian dalam rumah yang kamar-kamarnya sudah lama saya hapal. Mencari ibu Shinta. Ibu sudah di dalam kamarnya yang tampak remang, didampingi tiga putriya, tentu dalam rinai tangis yang mengiris. Saya tak bisa menemui beliau untuk ta’ziyah, membesarkan hatinya dengan kesabaran dan ketulusan. Begitu cara berta’ziyah yang saya terima dari persantren. Saya hanya bertemu Lissa, putri pertamanya dan menyampaikan ta’ziyah itu. Matanya masih tampak lebam dengan wajah sendu, tak bergairah, meski tetap bisa senyum. Saya diminta mengantarnya untuk melihat ayahnya, membuka tirai yang menutup wajahnya, lalu membaca tahlil dan berdoa.

Lissa tertunduk dan terisak-isak lirih. Kami melihat dengan jelas wajah Gus Dur, sungguh, tampak ceria, tenang dan teduh. “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan tulus dan diridhai-Nya. Amin”. Ayat suci ini saya baca berulang.

Masih dalam posisi berdiri sambil menunduk, saya segera teringat kembali syair yang acapkali ditembangkan Gus Dur:

وَلَدَتْكَ اُمُّكَ يَا ابْنَ آدَمَ بَاكِيًا        وَالنَّاسُ حَوْلَكَ يَضْحَكُوْنَ سُرُوراً
فَاجْهَدْ لِنَفْسِكَ اَنْ تَكُونَ إِذَا بَكَوْا   فِى يَوْمِ مَوْتِكَ ضَاحِكًا مَسْرُورًا


Ketika ibu melahirkanmu, Wahai anak cucu Adam
Engkau menangis, sedang orang-orang di sekitarmu
Menyambutmu dengan riang
Maka, bekerjalah sungguh-sungguh untukmu sendiri
ketika engkau tak lagi bersama mereka selamanya,
mereka menangis tersedu-sedu
Sedang engkau pulang sendiri sambil tersenyum manis

Seperti bunyi syair di atas, ribuan orang di seluruh negeri, malam itu, berduka dan menangis tersedu-sedu. Sebagian histeris. Sementara Gus Dur memang pulang sendirian dengan riang. Beliau akan segera memasuki gerbang rumah abadi yang damai.

Usai shalat Shubuh dan ketika matahari beranjak naik, jenazah dibawa dan diantar dengan kehormatan kenegaraan, menuju Bandara Halim Perdana Kusuma dan terus ke rumah asal Gus Dur di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Di sana jenazah akan diistirahkan selama-lamanya di samping ayah; K.H. Wahid Hasyim dan kakeknya; Hadratusyeikh KH. Hasyim Asy’ari.

Para santri biasa menyebut Gus Dur, ayah dan kakeknya yang amat dihormati dengan “al-Karim ibn al-Karim ibn al-Karim” (orang yang mulia putra orang yang mulia putra orang yang mulia). Kaum bangsawan Jawa mungkin menyebutnya: “Gus Dur adalah seorang darah biru putra seorang darah biru putra seorang darah biru”. Langit biru bening dilapis awan putih berarak, bergerak pelan-pelan mengantar pesawat yang membawa jasad Gus Dur.

Di tempat peristirahatannya yang terakhir itu, sebelum tubuhnya diturunkan ke bumi, Gus Dur mungkin masih membagi kegembiraan dan pesan kepada para pengantarnya untuk tidak menangisi kepulangannya, seperti pesan Maulana Jalaluddin Rumi ini:

Jangan menangis: “Aduhai kenapa pergi!”
Dalam pemakamanku
Bagiku, inilah bahagia!
Jangan katakan, “Selamat tinggal”
Ketika aku dimasukkan ke liang lahat
Itu adalah tirai rahmat yang abadi! (D911)

Bila datang ke makamku
Untuk mengunjungiku
Jangan datang ke makamku tanpa genderang
Karena pada perjamuan Tuhan,
Orang berduka tidak diberi tempat