Rd.Adi Kusuma

Rd.Adi Kusuma

Selasa, 02 April 2013

Syekh Ihsan Dahlan al-Jampesi (Kediri)




Manaqib Singkat Syekh Ihsan Dahlan al-Jampesi (Kediri)
Salah satu ulama yang paling berpengaruh dalam penyebaran ajaran Islam di wilayah Nusantara pada abad ke-19 (awal abad ke-20) adalah Syekh Ihsan Muhammad Dahlan al-Jampesi. Namun, namanya lebih dikenal sebagai pengasuh Pondok Pesantren Jampes (kini Al-Ihsan Jampes) di Dusun Jampes, Desa Putih, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Namanya makin terkenal setelah kitab karangannya Siraj ath-Thalibin menjadi bidang ilmu yang dipelajari hingga perguruan tinggi, seperti Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir. Dan, dari karyanya ini pula, ia dikenal sebagai seorang ulama sufi yang sangat hebat.
Semasa hidupnya, Kyai dari Dusun Jampes ini tidak hanya dikenal sebagai ulama sufi, tetapi ia juga dikenal sebagai seorang yang ahli dalam bidang ilmu-ilmu falak, fikih, hadis, dan beberapa bidang ilmu agama lainnya. Karena itu, karya-karya tulisannya tak sebatas pada bidang ilmu tasawuf dan akhlak semata, tetapi hingga pada persoalan fikih.
Dilahirkan sekitar tahun 1901, Syekh Ihsan al-Jampesi adalah putra dari seorang ulama yang sejak kecil tinggal di lingkungan pesantren. Ayahnya KH. Dahlan bin Saleh dan ibunya Istianah adalah pendiri Pondok Pesantren (Ponpes) Jampes. Kakeknya adalah Kiai Saleh, seorang ulama asal Bogor, Jawa Barat, yang masa muda hingga akhir hayatnya dihabiskan untuk menimba ilmu dan memimpin pesantren di Jatim.
Kiai Saleh sendiri, dalam catatan sejarahnya, masih keturunan dari seorang sultan di daerah Kuningan (Jawa Barat) yang berjalur keturunan dari Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon, salah seorang dari sembilan wali penyebar agama Islam di Tanah Air.
Sedangkan, ibunya adalah anak dari seorang Kyai Mesir, tokoh ulama di Pacitan yang masih keturunan Panembahan Senapati yang berjuluk Sultan Agung, pendiri Kerajaan Mataram pada akhir abad ke-16.
Keturunan Syekh Ihsan al-Jampesi mengenal sosok ulama yang suka menggeluti dunia tasawuf itu sebagai seorang yang pendiam. Meski memiliki karya kitab yang berbobot, namun ia tak suka publikasi. Hal tersebut diungkap KH. Abdul Latief, pengasuh Ponpes Jampes sekaligus cucu dari Syekh Ihsan al-Jampesi.
Membaca dan Menulis
Semenjak muda, Syekh Ihsan al-Jampesi terkenal suka membaca. Ia memiliki motto (semboyan hidup), “Tiada hari tanpa membaca”. Buku-buku yang dibaca beraneka ragam, mulai dari ilmu agama hingga yang lainnya, dari yang berbahasa Arab hingga bahasa Indonesia.
Seiring kesukaannya menyantap aneka bacaan, tumbuh pula hobi menulis dalam dirinya. Di waktu senggang, jika tidak dimanfaatkan untuk membaca, diisi dengan menulis atau mengarang. Naskah yang ia tulis adalah naskah-naskah yang berisi ilmu-ilmu agama atau yang bersangkutan dengan kedudukannya sebagai pengasuh pondok pesantren.
Pada tahun 1930, Syekh Ihsan al-Jampesi menulis sebuah kitab di bidang ilmu falak (astronomi) yang berjudul  Tashrih al-Ibarat , penjabaran dari kitab  Natijat al-Miqat karangan KH. Ahmad Dahlan, Semarang. Selanjutnya, pada 1932, ulama yang dikala masih remaja menyukai pula ilmu pedalangan ini juga berhasil mengarang sebuah kitab tasawuf berjudul  Siraj ath-Thalibin. Kitab  Siraj ath-Thalibin ini di kemudian hari mengharumkan nama Ponpes Jampes dan juga bangsa Indonesia.
Tahun 1944, beliau mengarang sebuah kitab yang diberi judul  Manahij al-Amdad, penjabaran dari kitab  Irsyad al-Ibad ila Sabil ar-Rasyad karya Syekh Zainuddin al-Malibari (w. 982 H), ulama asal Malabar, India. Kitab setebal 1.036 halaman itu sayangnya hingga sekarang belum sempat diterbitkan secara resmi.
Selain  Manahij al-Amdad, masih ada lagi karya-karya pengasuh Ponpes Jampes ini, diantaranya adalah kitab  Irsyad al-Ikhwan fi Syurbat al-Qahwat wa ad-Dukhan, sebuah kitab yang khusus membicarakan minum kopi dan merokok dari segi hukum Islam.
Kitab yang berjudul  Irsyad al-Ikhwan fi Syurbat al-Qahwat wa ad-Dukhan (kitab yang membahas kopi dan rokok) ini tampaknya ada kaitannya dengan pengalaman hidupnya saat masih remaja.
Dikisahkan, sewaktu muda, Syekh Ihsan terkenal bandel. Orang memanggilnya Bakri. Kegemarannya waktu itu adalah menonton wayang sambil ditemani segelas kopi dan rokok. Kebiasannya ini membuat khawatir pihak keluarga karena Bakri akan terlibat permainan judi. Kekhawatiran ini ternyata terbukti. Bakri sangat gemar bermain judi, bahkan terkenal sangat hebat. Sudah dinasihati berkali-kali, Bakri tak juga mau menghentikan kebiasan buruknya itu.
Hingga suatu hari, ayahnya mengajak dia berziarah ke makam seorang ulama bernama KH. Yahuda yang juga masih ada hubungan kerabat dengan ayahnya. Di makam tersebut, ayahnya berdoa dan memohon kepada Allah agar puteranya diberikan hidayah dan insaf. Jika dirinya masih saja melakukan perbuatan judi tersebut, lebih baik ia diberi umur pendek agar tidak membawa mudharat bagi umat dan masyarakat.
Selepas berziarah itu, suatu malam Syekh Ihsan (Bakri) bermimpi didatangi seseorang yang berwujud seperti kakeknya sedang membawa sebuah batu besar dan siap dilemparkan ke kepalanya. “Hai cucuku, kalau engkau tidak menghentikan kebiasaan burukmu yang suka berjudi, aku akan lemparkan batu besar ini ke kepalamu,” kata kakek tersebut.
Ia bertanya dalam hati, “Apa hubungannya kakek denganku? Mau berhenti atau terus, itu bukan urusan kakek,” timpal Syekh Ihsan.
Tiba-tiba, sang kakek tersebut melempar batu besar tersebut ke kepala Syekh Ihsan hingga kepalanya pecah. Ia langsung terbangun dan mengucapkan istighfar. “Ya Allah, apa yang sedang terjadi. Ya Allah, ampunilah dosaku.”
Sejak saat itu, Syekh Ihsan menghentikan kebiasaannya bermain judi dan mulai gemar menimba ilmu dari satu pesantren ke pesantren lainnya di Pulau Jawa. Mengambil berkah dan restu dari para ulama di Jawa, seperti KH. Saleh Darat (Semarang), KH. Hasyim Asyari (Jombang), dan KH. Muhammad Kholil (Bangkalan, Madura).
Tawaran Raja Mesir
Diantara kitab-kitab karyanya, yang paling populer dan mampu mengangkat nama hingga ke mancanegara adalah  Siraj ath-Thalibin. Bahkan, Raja Faruk yang sedang berkuasa di Mesir pada 1934 silam pernah mengirim utusan ke Dusun Jampes hanya untuk menyampaikan keinginannya agar Syekh Ihsan al-Jampesi bersedia diperbantukan mengajar di Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir.
Namun, beliau menolak dengan halus permintaan Raja Faruk lewat utusannya tadi dengan alasan ingin mengabdikan hidupnya kepada warga pedesaan di Tanah Air melalui pendidikan Islam.
Dan, keinginan Syekh Ihsan al-Jampesi tersebut terwujud dengan berdirinya sebuah madrasah dalam lingkungan Ponpes Jampes di tahun 1942. Madrasah yang didirikan pada zaman pendudukan Jepang itu diberi nama Mufatihul Huda yang lebih dikenal dengan sebutan MMH (Madrasah Mufatihul Huda).
Di bawah kepemimpinannya, Ponpes Jampes terus didatangi para santri dari berbagai penjuru Tanah Air untuk menimba ilmu. Kemudian, dalam perkembangannya, pesantren ini pun berkembang dengan didirikannya bangunan-bangunan sekolah setingkat tsanawiyah dan aliyah. Dedikasinya terhadap pendidikan Islam di Tanah Air terus ia lakukan hingga akhir hayatnya pada 15 September 1952.
Siraj ath-Thalibin, Kitab yang Sarat dengan Ilmu Tasawuf
Umat Muslim yang pernah menuntut ilmu agama di pesantren tentu pernah mendengar atau bahkan memiliki sebuah buku berbahasa Arab berjudul  Siraj ath-Thalibin karya Syekh Ihsan Dahlan al-Jampesi. Kitab tersebut merupakan syarah  Minhaj al-Abidin karya Imam al-Ghazali, seorang ulama dan filsuf besar di masa abad pertengahan.
Kitab  Siraj ath-Thalibin disusun pada tahun 1933 dan diterbitkan pertama kali pada tahun 1936 oleh penerbitan dan percetakan an-Nabhaniyah milik Salim bersaudara (Syekh Salim bin Sa'ad dan saudaranya Achmad) di Surabaya yang bekerja sama dengan sebuah percetakan di Kairo, Mesir, Mustafa al-Baby Halabi. Yang terakhir adalah percetakan besar yang terkenal banyak menerbitkan buku-buku ilmu agama Islam karya ulama besar abad pertengahan.
Siraj ath-Thalibin terdiri atas dua juz (jilid). Juz pertama berisi 419 halaman dan juz kedua 400 halaman. Dalam periode berikutnya, kitab tersebut dicetak oleh Dar al-Fikr, sebuah percetakan dan penerbit di Beirut, Lebanon. Dalam cetakan Lebanon, setiap juz dibuat satu jilid. Jilid pertama berisi 544 halaman dan jilid kedua 554 halaman.
Kitab tersebut tak hanya beredar di Indonesia dan negara-negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam, tetapi juga di negara-negara non-Islam, seperti Amerika Serikat (AS), Kanada, dan Australia, dimana terdapat jurusan filsafat, teosofi, dan Islamologi dalam perguruan tinggi tertentu. Sehingga, kitab  Siraj ath-Thalibin ini menjadi referensi di mancanegara.
Tidak hanya itu, kitab ini juga mendapatkan pujian luas dari kalangan ulama di Timur Tengah. Karena itu, tak mengherankan jika kitab ini dijadikan buku wajib untuk kajian pascasarjana Universitas al-Azhar Kairo, Mesir, sebuah lembaga perguruan tinggi tertua di dunia.
Kitab ini dipelajari beberapa perguruan tinggi lain dan digunakan oleh hampir seluruh pondok pesantren di Tanah Air dengan kajian mendalam tentang tasawuf dan akhlak. Menurut Ketua Umum PBNU, KH. Said Aqil Siradj, seperti dikutip dari situs  NU Online, kitab ini juga dikaji di beberapa majelis taklim kaum Muslim di Afrika dan Amerika.
Karya fenomenal ulama dari Dusun Jampes, Kediri ini belakangan menjadi pembicaraan hangat di Tanah Air. Ini setelah sebuah penerbitan terbesar di Beirut, Lebanon, kedapatan melakukan pembajakan terhadap karya Syekh Ihsan Muhammad Dahlan al-Jampesi. Perusahaan penerbitan dengan nama Darul Kutub al-Ilmiyah ini diketahui mengganti nama pengarang kitab  Siraj ath-Thalibin dengan Syekh Ahmad Zaini Dahlan. Bahkan, kitab versi baru ini sudah beredar luas di Indonesia.
Dalam halaman pengantar kitab  Siraj ath-Thalibin versi penerbit Darul Kutub al-Ilmiyah, nama Syekh Ihsan al-Jampesi di paragraf kedua juga diganti dan penerbit menambahkan tiga halaman berisi biografi Syekh Ahmad Zaini Dahlan yang wafat pada tahun 1941, masih satu generasi dengan Syeh Ihsan al-Jampesi yang wafat pada tahun 1952. Sementara itu, keseluruhan isi dalam pengantar itu bahkan keseluruhan isi kitab dua jilid itu sama persis dengan kitab asal. Penerbit juga membuang  taqaridh atau semacam pengantar dari Hadhratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari (Jombang), Syekh KH. Abdurrahman bin Abdul Karim (Kediri), dan Syekh KH. Muhammad Yunus Abdullah (Kediri).
Kitab tersebut menawarkan konsep tasawuf di zaman modern ini. Misalnya, pengertian tentang  uzlah yang secara umum bermakna pengasingan diri dari kesibukan duniawi. Menurut Syekh Ihsan, maksud dari  uzlah di era sekarang adalah bukan lagi menyepi, tapi membaur dalam masyarakat majemuk, namun tetap menjaga diri dari hal-hal keduniawian.
Manuskrip dari kitab Siraj ath-Thalibin awalnya disimpan di perpustakaan Kairo, namun pada akhirnya diminta kembali oleh pihak keluarga dan diterbitkan oleh salah seorang murid beliau yang tinggal di semarang
Pada tanggal  15 September 1952 Syekh Ihsan Dahlan al-Jampesi dipanggil ke Hadirat Allah Swt. dengan meninggalkan karya karya tulis dan kitab yang saat ini menjadi rujukan para ulama ulama baik nusantara maupun internasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tolong komentarnya berhubungan dengan artikel yang ada
Komentar yang mengarah ke tindakan spam akan di hapus atau terjaring secara otomatis oleh spam filter.