Rd.Adi Kusuma

Rd.Adi Kusuma

Jumat, 30 November 2012

Al Fahm (Pemahaman)


1. Pemahaman tentang alam-makhluk tidak terkait dengan hakikat, dan hakikat tidak juga terkait dengan alam-makhluk. Pemikiran [yang asal-terima] adalah taqlid, dan taqlid-nya alam-makhluk tidak ada keterkaitannya dengan hakikat. Pengertian tentang hakikat itu sulit dicapai, makanya betapa lebih sulit lagi mencapai pengertian tentang hakikatnya-Hakikat (Allah). Apalagi, Allah itu di luar hakikat, dan hakikat tidak dengan sendirinya menyatakan 'ada'-Nya Allah.

2. Sang laron terbang di sekeliling nyala api hingga terbit fajar. Lalu, ia kembali ke teman-temannya, dan menceritakan keadaan (hal) spiritualnya dengan ungkapan yang penuh kesan. Ia berpadu (hulul) dengan geliatnya nyala api dalam hasratnya untuk mencapai Penyatuan (Tawhid) yang sempurna.

3. Cahayanya nyala api adalah Pengetahuan ('llm) hakikat, panasnya adalah Kenyataan ('Ayn) hakikat, dan Penyatuan dengannya adalah Kebenaran (Haqq) hakikat.

4. Ia merasa tidak puas dengan cahayanya ataupun dengan panasnya, sehingga ia melompat ke dalam nyala api langsung. Sementara itu, teman-temannya menantikan kedatangannya, supaya ia menceritakan kepada mereka tentang 'penglihatan' aktualnya, karena ia merasa tidak puas dengan kabar angin saja. Tetapi, ketika itu ia tengah tuntas sirna (fana'), musnah dan buyar ke dalam serpihan-serpihan, yang tersisa tanpa wujud, tanpa jasad ataupun tanda pengenal. Jadi, dalam peringkat (maqam) apa ia dapat kembali ke teman-temannya? Dan, keadaan (hal) spiritual apa yang tengah dicapainya sekarang? Ia yang sampai pada pandangan (bashirah) batin niscaya sanggup terlepas dari pekabaran saja. Juga ia yang sampai pada inti pandangan batin tidak lebih prihatin tentang pandangan batinnya.

5. Pemaknaan (masalah) ini tidak menyangkut manusia yang alpa, tidak juga manusia yang maya, atau manusia yang penuh dosa, ataupun manusia yang menuruti hawa-nafsunya semata.

6. Wahai kau yang ragu-ragu! Jangan persamakan 'aku' (insani) dengan 'Aku' Ilahi -- janganlah sekarang, janganlah di masa depan nanti, janganlah pula di masa lampau dulu. Bahkan, kendatipun 'aku' itu merupakan pencapaian seorang 'Arif, kendatipun ini
merupakan keadaan (hal) spiritual, namun itu bukanlah kesempurnaan. Kendatipun 'aku' adalah milik-Nya, namun 'aku' bukanlah Dia.

7. Bila kau memahami ini, maka pahamilah juga bahwa pemaknaan (masalah) itu bukanlah kebenaran bagi siapa pun kecuali (bagi) Muhammad (shalallahu 'alaihi wasallam), dan "Muhammad bukanlah bapak dari salah seorang kerabatmu" (Q. 33: 40) tapi Rasulullah (Utusan Allah) dan penutup para nabi (khatam an-nabiyyin). Ia mem-fana'-kan dirinya dari manusia dan jin, serta memejamkan matanya ke (arah) 'mana' pun, hingga tidak lagi tersisa kepalsuan hati ataupun kemunafikan.

8. Ada suatu "jarak sepanjang dua busur" lebarnya (Q. 53: 9), atau lebih dekat lagi, saat ia mencapai gurun Pengetahuan hakikat, dan "ia beritahukan hal itu dari hati lahirnya (fu'ad)" (Q. 53: 10). Ketika sampai pada Kebenaran hakikat, ia menanggalkan hasratnya di situ, dan mempersembahkan dirinya naik ke Hadirat Sang Pengasih. Setelah mencapai Kebenaran (Allah), ia pun kembali sambil berkata: "Hati-batinku bersujud kepada-Mu, dan hati-lahirku beriman kepada-Mu." Ketika mencapai Pohon-Batas Penghabisan, ia berkata: "Aku tidak dapat memuji-Mu sebagaimana mestinya Engkau dipuji." Dan, ketika mencapai Kenyataan hakikat, ia berkata: "Hanya Engkau Sendiri yang dapat memuji Diri-Mu." Ia menanggalkan lagi hasratnya, dan menuruti panggilan tugasnya, "hatinya tidak berdusta tentang apa yang dilihatnya" (Q. 53:11) di maqam dekat Pohon-Batas-Terjauh (Sidrat al-Muntaha). (Q. 53:14) Ia tidak berpaling ke kanan, ke arah hakikat sesuatu, tidak juga ke kiri, ke arah Kenyataan hakikat. “Penglihatan (Nabi Muhammad) tidak berkisar daripada menyaksikan Dengan tepat (akan pemandangan Yang indah di situ Yang diizinkan melihatnya), dan tidak pula melampaui batas." (Q. 53: 17)
__________________________________________________